Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Duduk Perkara Penyitaan Aset First Travel Versi Mahkamah Agung

Baca di App
Lihat Foto
Indrianto Eko Suwarso
Terdakwa Direktur Utama First Travel Andika Surachman (kedua kanan), Direktur Anniesa Hasibuan (kanan), dan Direktur Keuangan Siti Nuraida Hasibuan (kedua kiri) menjalani sidang kasus dugaan penipuan dan pencucian uang biro perjalanan umrah First Travel dengan agenda pembacaan amar putusan di Pengadilan Negeri Kota Depok, Jawa Barat, Rabu (30/5). Majelis hakim memvonis terdakwa Andika Surachman 20 tahun penjara dan denda Rp10 miliar subsider 8 bulan, Anniesa Hasibuan 18 tahun penjara dan denda Rp10 miliar subsider 8 bulan, sementara Siti Nuraida alias Kiki Hasibuan 15 tahun dan denda Rp5 miliar subsider 8 bulan kurungan.
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Kabar penyitaan aset milik First Travel oleh negara meresahkan sebagian besar jemaah tour and travel tersebut. Pasalnya, pihak yang paling dirugikan dari kasus penipuan berbasis travel umrah tersebut adalah para jemaah.

Namun, sebenarnya bagaimana duduk perkara penyitaan aset First Travel ini oleh negara?

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah mengatakan, tidak seluruhnya aset First Travel diambil oleh negara.

"Tidak seluruhnya dirampas negara, seperti ada beberapa barang bukti yang dikembalikan pada agen," kata Abdullah kepada Kompas.com, Sabtu (16/11/2019).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut Abdullah, persoalan First Travel tidak hanya melibatkan satu orang, tapi puluhan ribu.

Jika yang menjadi korban hanya satu dan terbukti pemiliknya yang bersangkutan di persidangan, maka menurut Abdullah bisa dikembalikan ke orang itu.

"Sementara First Travel kan tidak ada yang dihadirkan di persidangan, ribuan itu uangku berapa, daftar lewat siapa, buktinya mana, ada tidak yang menunjukkan itu. Saksinya apa didatangkan semua, ribuan itu," ujar Abdullah.

Baca juga: Pakar Hukum Pidana: Penyitaan Aset First Travel Membingungkan

"Nah, sekarang seandainya diserahkan, diserahkan ke siapa, jamaah yang mana, gimana cara membaginya, siapa yang berani mengatasnamakan kelompok itu kira-kira?" lanjutnya.

Abdullah mengatakan, dari pengadilan tingkat pertama perwakilan korban sudah ditanyai apakah mereka siap untuk membagi itu, tapi mereka menolak.

Sebab, pembagiannya rumit dan berpotensi untuk menimbulkan masalah baru.

"Bagi wong sak mono akehe opo yo gak klenger (membagikan kepada orang segitu banyaknya apa ya tidak pusing). Kalau dibagi itu kira-kira cukup tidak, kalau tidak cukup bagaimana?" kata Abdullah.

Karenanya, menurut Abdullah negara berhak mengambil aset yang tidak jelas kepemilikannya itu.

Hal itu sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 39 yang berbunyi:

Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.

Lebih lanjut mengenai pasal tersebut, Abdullah menjelaskan bahwa dirampas itu bisa dimusnahkan atau diambil untuk negara.

"Sekarang lebih mudharat mana diamankan untuk negara atau diserahkan kepada mereka? kalau negara kan jelas, yang mengamankan jelas, jumlahnya jelas, kementeriannya masih jelas," paparnya.

"Sekarang kalau diserahkan ke jemaah, jemaah mana kira-kira. Karena kan cabangnya tidak karuan," tambahnya.

Abdullah juga menyebutkan bahwa perkara First Travel adalah perkara pidana, bukan perkara perdata.

Jadi, semua barang benda yang terkait tindak pidana itu pasti akan dirampas.

Baca juga: Nelangsanya Korban Umrah First Travel, Uang Hasil Lelang Aset Diambil Negara

"Jadi KUHP yang ngomong gitu, bukan pengadilan, publik harus tau," pungkasnya.

Seperti diketahui, pengadilan telah memutuskan bahwa aset First Travel diambil oleh negara.

Putusan tersebut tertuang dalam putusan kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 dan diketok oleh oleh Majelis Andi Samsan Nganro dengan anggora Eddy Army dan Margono pada 31 Januari 2019.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi