Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Kasus First Travel, Antara Hak Korban dan Pembagian Aset

Baca di App
Lihat Foto
Indrianto Eko Suwarso
Terdakwa Direktur Utama First Travel Andika Surachman (kedua kanan), Direktur Anniesa Hasibuan (kanan), dan Direktur Keuangan Siti Nuraida Hasibuan (kedua kiri) menjalani sidang kasus dugaan penipuan dan pencucian uang biro perjalanan umrah First Travel dengan agenda pembacaan amar putusan di Pengadilan Negeri Kota Depok, Jawa Barat, Rabu (30/5). Majelis hakim memvonis terdakwa Andika Surachman 20 tahun penjara dan denda Rp10 miliar subsider 8 bulan, Anniesa Hasibuan 18 tahun penjara dan denda Rp10 miliar subsider 8 bulan, sementara Siti Nuraida alias Kiki Hasibuan 15 tahun dan denda Rp5 miliar subsider 8 bulan kurungan.
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Kasus pencucian uang yang dilakukan oleh First Travel kembali ramai diperbincangkan.

Pasalnya, eksekusi pengambilan barang bukti yang berupa aset First Travel oleh negara mulai dilakukan.

Hal itu didasari atas putusan kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 yang diketok oleh oleh Majelis Andi Samsan Nganro dengan anggora Eddy Army dan Margono pada 31 Januari 2019.

Dalam putusan tersebut, diketahui hakim berlandaskan pada Pasal 39 KUHP junco dan Pasal 46 KUHAP.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekecewaan Korban

Pengacara korban First Travel, Luthfi Yazid telah meminta kompensasi atas penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh First Travel pada 2018.

Hal itu dilakukan usai hakim menjatuhkan vonis bersalah kepada tiga bos First Travel sekaligus memutuskan agar aset First Travel diambil oleh negara.

Kepala Kejari Depok Yudi Triadi beralasan bahwa uang hasil lelang tersebut berpotensi menimbulkan keributan dan konflik di masyarakat.

Baca juga: Pasca-Vonis Hakim, Korban Minta Kompensasi Penipuan First Travel

Menurut Luthfi, uang dan aset yang disita dari ketiga bos First Travel berasal dari uang jamaah, bukan hasil korupsi.

"Bagi para jemaah yang mereka pahami ialah, mereka menyetor penuh ke perusahaan First Travel dan mereka tahunya harus berangkat umroh," kata Luthfi, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (4/6/2018).

Namun, usaha mereka untuk memperjuangkan hak para jamaah melalui pengajuan kasasi di Mahkamah Agung pun ditolak.

Penolakan tersebut membuat Luthfi bertanya-tanya. Pasalnya UUD 1945 menjelaskan bahwa negara wajib menjamin warganya dalam melaksanakan aktivitas keagamaannya, termasuk melaksanakan umrah.

Baca juga: Pengacara: Belum Ada Solusi untuk 63.000 Jemaah Korban First Travel

Ia menambahkan jika Menteri Agama telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Np 589 Tahun 2017 yang salah satu isinya adalah mengembalikan seluruh uang jamaah dan atau memberangkatkan jamaah untuk umrah tanpa dipungut atau tambahan biaya apa pun.

"Jika negara sikapnya masih seperti ini, tidak ada reformasi total, baik secara regulasi, institusi, maupun operasional, maka bukan mustahil kejadian serupa masih akan terulang kembali," ujar Luthfi dikutip dari pemberitaan Kompas.com (12/2/2019).

Menggugat Negara

Atas putusan itu, beberapa korban jamaah First Travel menggugat negara atas tuduhan melawam hukum ke Pengadilan Negeri Depok pada Maret 2019 lalu.

Gugatan tersebut diajukan agar negara tidak merampas aset bos First Travel.

Menurut Kuasa Hukum korban, Risqie Rahmadiansyah. gugatan itu merupakan upaya hukum setelah putusan kasasi MA ditolak.

Baca juga: Korban First Travel Gugat Negara ke PN Depok

Pihaknya meminta agar semua aset yang awalnya sebagai sita negara menjadi sita umum agar bisa dilelang atau dijual sebagai bentuk ganti rugi korban.

Menurut Risqie, pengadilan dapat memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menunda putusan itu.

Ia mengatakan bahwa sita negara harus memperhatikan faktor kepentingan banyak pihak.

Putusan yang Membingungkan

Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih merasa bingung dengan putusan hakim terkait pengambilan aset First Travel oleh negara.

Menurutnya, yang paling berhak atas aset tersebut adalah nasabah, dalam hal ini korban.

"Uang itu uang siapa? Uang negara atau uang swasta atau masyarakat atau perorangan. Kalau uang negara kembali ke negara, kalau bukan uang negara yang harus ke pemilik awalnya," kata Yenti, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (16/11/2019).

Meski demikian, Yenti menganggap bahwa putusan tersebut dilematis mengingat jumlah korban yang begitu banyak.

Baca juga: Pakar Hukum Pidana: Penyitaan Aset First Travel Membingungkan

Pembagiannya Rumit

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkama Agung Abdullah mengatakan, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkama Agung Abdullah mengatakan, persoalan First Travel tidak hanya melibatkan satu orang, tapi puluhan ribu.

Jika yang menjadi korban hanya satu dan terbukti pemiliknya yang bersangkutan di persidangan, maka menurut Abdullah bisa dikembalikan ke orang itu.

"Sementara First Travel kan tidak ada yang dihadirkan di persidangan, ribuan itu uangku berapa, daftar lewat siapa, buktinya mana, ada tidak yang menunjukkan itu. Saksinya apa didatangkan semua, ribuan itu," ujar Abdullah, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (16/11/2019).

"Nah, sekarang seandainya diserahkan, diserahkan ke siapa, jamaah yang mana, gimana cara membaginya, siapa yang berani mengatasnamakan kelompok itu kira-kira?" lanjutnya.

Baca juga: Duduk Perkara Penyitaan Aset First Travel Versi Mahkamah Agung

Abdullah mengatakan, dari pengadilan tingkat pertama perwakilan korban sudah ditanyai apakah mereka siap untuk membagi itu, tapi mereka menolak. Sebab, pembagiannya rumit dan berpotensi untuk menimbulkan masalah baru.

Karenanya, menurut Abdullah negara berhak mengambil aset yang tidak jelas kepemilikannya itu. Hal itu sesuai dengan Pasal 39 KUHP.

Ia juga menegaskan bahwa tidak seluruhnya aset First Travel diambil oleh negara. Beberapa barang bukti ada yang dikembalikan kepada agen.

Sumber: Kompas.com (Cynthia Lova/Ambaranie Nadia Kemala Movanita/Akhdi Martin Pratama | Editor: Kurnia Sari Aziza/Kurniasih Budi/Sakina Rakhma Diah Setiawan)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi