Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang R Soeprapto, Bapak Kejaksaan yang Berani Menolak Perintah Bung Karno

Baca di App
Lihat Foto
Wikipedia
Jaksa Agung R Soeprapto
|
Editor: Sari Hardiyanto

 

KOMPAS.com - Hari ini 55 tahun lalu, R Soeprapto, Bapak Kejaksaan Republik Indonesia meninggal dunia pada 2 Desember 1964.

R Soeprapto menjabat sebagai Jaksa Agung selama sembilan tahun sejak 2 Desember 1950 hingga 4 Juli 1959.

Hingga saat ini, R Soeprapto menjadi satu-satunya Jaksa Agung yang menjabat selama sembilan tahun.

Karier

Dilahirkan pada 27 Maret 1897, Soeprapto sudah bekerja sebagai griffier (panitera) di Pengadilan Negeri (PN) Tulungagung di usia yang masih sangat muda, yaitu 19 tahun.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dikutip dari Harian Kompas, 1 Juli 1970, Soeprapto diangkat sebagai voorzitter pada Landraad Banyuwangi, Singaraja, Bali, dan Lombok pada tahun 1920 hingga 1929.

Ia juga pernah menjadi hakim di Salatiga dan Pekalongan pada tahun 1941-1942.

Sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung, Soeprapto terlebih dahulu diangkat menjadi hakim anggota sekaligus merangkap sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada tahun 1948.

Pada 20 Juli 1950, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung.

Lima bulan setelah menjadi Hakim Agung, Soeprapto diangkat menjadi Jaksa Agung melalui Keputusan Presiden No. 64 pada 2 Desember 1950.

Baca juga: Mengenang Ciputra, dari Atlet Lari, Begawan Properti hingga Kelola Institusi Pendidikan

Jaksa Berwibawa

Soeprapto dikenal sebagai sosok yang memiliki kewibawaan besar dan gigih dalam mempertahankan hukum dan setiap undang-undang yang berlaku.

Bahkan, ia tak segan mempertaruhkan nyawanya demi mempertahankan keyakinannya, seperti kesaksian dari Prof Seno Adjie, mantan Menteri Kehakiman era Soeharto yang pernah mendampingi Soeprapto.

Suatu ketika, seorang jaksa menindak teman seorang Panglima yang dituduh melakukan penyelundupan.

Karena tak suka temannya ditindak, si Panglima tersebut mengeluarkan surat perintah untuk menahan si jaksa.

Mengetahui hal itu, Soeprapto menyambut Mayor yang ditugaskan melaksakan perintah tersebut dengan pistol di atas meja.

Soeprapto mempersilakan sang Mayor untuk melaksakan tugasnya dengan syarat harus melangkahi mayatnya terlebih dahulu.

Si Mayor pun merasa bingung dengan kenekatan Soeprapto. Ia pun terpaksa mundur teratur dan kembali pulang.

Menurut Prof Seno Adjie, kejadian semacam itu terjadi berkali-kali. Bahkan, ia sering bersitegang dengan pemerintah akibat kegigihannya dalam menentang dan memberantas semua penghambat terlaksananya ketertiban hukum dan undang-undang.

Baca juga: Mengenang Bahtiar Effendy, Anak Pesantren yang Mendunia...

Menolak Perintah Bung Karno

Tak hanya itu, Soeprapto juga pernah menolak melaksanakan perintah Bung Karno karena bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Waktu itu, ketika masyarakat dan media ramai membicarakan perkawinan Bung Karno dengan Hartini, ia diperintahkan Bung Karno untuk menindak Mochtar Lubis selaku penanggung jawab Harian Indonesia Raya.

Pasalnya, surat kabar tersebut dituduh telah memuat berita-berita yang mencemarkan nama baiknya.

Namun, ia tidak meladeni perintah tersebut karena menurutnya penuntutan itu tak perlu dilakukan.

Sebaliknya sewaktu Ketua PKI Aidit mengeluarkan brosur yang menghina Bung Hatta, Soeprapto menindaknya secara hukum dan mengadili Aidit, meski sudah ada perintah dari atasan agak tidak melanjutkannya.

Bagi Soeprapto, prinsip yang selalu ia pegang adalah keadilan, keyakinan, dan kejujuran, sehingga tak terpengaruh oleh apa pun.

Baca juga: Mengenang Legenda Bulu Tangkis Indonesia Johan Wahyudi...

Keras dalam Mendidik Anaknya

Dalam artikelnya yang berjudul "Mengenang Keberanian Jaksa Agung Soeprapto" yang dikutip dari laman resmi LIPI, sejarawan Asvi Warman Adam menyebut bahwa Soeprapto pernah marah kepada putrinya Sylvia karena menerima dua gelang emas besar dari seorang Pakistan.

Soeprapto pun marah kepada Sylvia dan menyuruhnya untuk mengembalikan gelang emas itu.

Putranya, Susanto, juga pernah dimarahinya karena menerima cincin bermata giok dari seorang pedagang Tionghoa.

Suatu saat ketika Susanto bermain bola di halaman rumah, tendangannya meleset dan mengenai tukang becak yang tengah mengangkut tiga orang.

Becak itu pun terguling dan semua penumpangnya terluka.

Mengetahui hal itu, Soeprapto menyuruh anaknya untuk meminta maaf kepada tukang becak tersebut.

Ia juga membayar ganti rugi kepada si tukang becak serta memberi biaya pengobatan untuk tiga penumpangnya.

Baca juga: Mengenang Seniman Musik Djaduk Ferianto...

Bapak Korps Kejaksaan

Pada 22 Juli 1967, Soeprapto ditetapkan sebagai Bapak Korps Kejaksaan berdasarkan Surat keputusan Jaksa Agung Maijen Sugih Arti No. Kep. 061/DA/7/1967.

Keputusan tersebut didasari atas jasa Soeprapto di bidang penegakan hukum dan undang-undang.

Soeprapto dianggap gigih dalam memberantas semua hambatan dalam penegakan hukum.

Yang terpenting adalah semasa menjabat sebagai Jaksa Agung, sifat kebapakannya sangat dirasakan oleh hampir setiap orang yang berada di bawah pimpinannya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi