Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mimpi Buruk Pemanasan Global (2): Diracun di Udara dan Lautan

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO
Polusi udara terlihat di langit Jakarta, Senin (3/9/2018). Menurut pantauan kualitas udara yang dilakukan Greenpeace, selama Januari hingga Juni 2017, kualitas udara di Jabodetabek terindikasi memasuki level tidak sehat (unhealthy) bagi manusia.
|
Editor: Nibras Nada Nailufar

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan pertama, Mimpi Buruk Pemanasan Global (1): Jakarta hingga Markas Facebook Tenggelam.

KOMPAS.com - Kotornya langit Jakarta yang jadi perbincangan selama 2019 kemungkinan tak akan bertambah baik seperti harapan kita.

Kalau pun bertambah baik karena kita berhasil mengurangi polusi udara, kemungkinan sudah terlambat untuk mengembalikan kesehatan kita sendiri.

Pada 2017, Ibu Kota India, New Delhi menjadi kota dengan polusi terparah di dunia. Setiap hari, 26 juta warganya harus menghirup udara yang sama dengan pembakaran dua bungkus rokok sehari.

Tahun ini saja, sekolah di New Delhi terpaksa harus diliburkan beberapa hari karena buruknya polusi udara.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Polusi Jakarta Parah, Jangan Berharap Sehat dengan Pakai Masker Kain Murah

Jurnal kesehatan The Lancet pada 2017 melaporkan sembilan juta kematian bayi prematur disebabkan polusi udara. Lebih dari seperempatnya dari India. Itu pun sebelum polusi udara memuncak pada 2017.

Dalam laporannya soal dampak polusi udara bagi perilaku dan tumbuh kembang anak, Unicef memaparkan sejumlah penelitian. Efek dari polusi udara lebih seram dari sekadar sakit pernapasan.

Bagi anak-anak, polusi udara bisa melemahkan ingatan, atensi, hingga kosa kata. Polusi juga berkaitan dengan potensi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan spektrum autisme.

Di Jakarta, kondisinya masih lebih baik walau tak baik-baik amat. Setiap hari, warga Jakarta seperti menghisap dua hingga tiga batang rokok ketika bernafas.

Saat ini, 10.000 orang meninggal tiap harinya karena polusi udara. Angka ini akan terus meningkat.

Baca juga: Pakai Masker, Priyanka Chopra Keluhkan Polusi Udara di Delhi

Buruknya kualitas udara juga akan disebabkan oleh kekeringan. Akibat krisis iklim, tanah akan menjadi kering dan berdebu seperti gurun.

Ketika tersapu angin, akan terjadi "badai debu". Debu yang terhirup punya dampak serupa seperti pneumonia atau paru-paru basah.

Dikutip dari The Uninhabitable Earth: Life After Warming (2019), diproyeksikan 70 tahun dari sekarang, sekitar dua miliar orang di seluruh dunia akan menghirup udara di atas ambang batas sehat yang ditetapkan World Health Organization (WHO).

Plastik di mana-mana

Polusi tak cuma berasal dari asap kendaraan dan buangan pabrik. Plastik yang kita buang selama ini, kini kembali ke kita, masuk ke paru-paru.

Baca juga: Jangan Sembarang Bakar Sampah Plastik, Bahaya Dioksin Mengancam

Bagaimana bisa kantong kresek dan sedotan yang kita buang berakhir di paru-paru kita?

Butuh waktu lebih dari 400 tahun agar plastik bisa terurai. Plastik yang tak terurai, hancur menjadi partikel-partikel kecil yang tak kasat mata. Di dalam ruangan, partikel ini lebih banyak ditemukan dan lebih mudah dihirup.

Penelitian berjudul Production, use, and fate of all plastic ever made yang diterbitkan di jurnal Science Advances pada akhir 2018 mengungkap, plastik diproduksi masif selama enam dekade terakhir.

Jumlahnya kira-kira mencapai 8,3 miliar metrik ton. Sayangnya, hanya sembilan persen yang didaur ulang.

Sisanya, 6,3 miliar metrik ton berakhir menjadi sampah. Dari besaran itu, sebanyak 79 persen terkumpul di lahan atau daratan yang akan terbawa ke laut.

Baca juga: Saat Sampah Plastik Membunuh Binatang dan Mencemari Lautan Dunia...

Belum dipastikan dampak kesehatan dari mikroplastik dalam tubuh. Namun produksi plastik yang masif, mengancam iklim kita. Produksi plastik secara langsung menyumbang emisi yang memanaskan bumi.

Penelitian berjudul Strategies to reduce the global carbon footprint of plastics yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change pada April 2019 lalu menyebut seluruh plastik diproduksi dengan bahan bakar fosil.

Emisi yang dihasilkan pada 2015 saja, mencapai 1,7 miliar metrik ton. Setiap dekade, produksi plastik meningkat dua kali lipat.

Dengan hitungan itu, pada 2050 emisi karbon bisa mencapai 6,5 miliar ton atau 15 persen lebih dari batas karbon global.

Baca juga: Nike Berkomitmen untuk Bebas Karbon dan Limbah

Lautan rusak

Di lautan, plastik ini mengancam para penghuni lautan dan burung yang mengandalkan hidup darinya.

Sudah cukup sering kita lihat sedotan tersangkut di saluran pernapasan penyu. Atau perut paus terdampar yang berisi kantong kresek.

Di Samudera Pasifik, ada "the Great Pacific garbage patch". Sampah plastik yang mengambang seperti pulau, yang luasnya sama dengan Rusia.

Saat ini, Indonesia menjadi merupakan negara penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua di dunia.

Percaya atau tidak, seperempat ikan yang dijual di Indonesia dan California mengandung plasik. Di Eropa, para penggemar kerang menelan sekitar 11.000 potong plastik setiap tahunnya.

Baca juga: Riset: Air Leding Jakarta Terkontaminasi Plastik

Plastik ditemukan di dalam garam, madu, hingga bir. Di Jakarta, studi dari University of Minnesota menunjukkan sebagian besar air leding terkontaminasi plastik.

Lebih malang lagi para burung laut. Sebuah penelitian menemukan 225 buah plastik di perut burung laut berusia tiga bulan yang baru terbang. Beratnya mencapai 10 persen dari berat badannya.

Berdasarkan prediksi, di pertengahan abad ini, jumlah plastik di lautan akan mengalahkan jumlah ikan.

Saat ini, hanya 13 persen dari lautan dan samudera di bumi yang belum rusak.

Siapakah yang bertanggung jawab atas ini? Kita semua tentunya.

Baca juga: Menteri Susi Khawatir Laut Indonesia Lebih Banyak Sampah Plastik daripada Ikannya

Bersambung...

Tulisan ini adalah seri kedua dari enam seri tulisan Mimpi Buruk Pemanasan Global. Baca artikel berikutnya, "Bukan Cuma Jawa, Seluruh Dunia akan Krisis Air".

 
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi