Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mimpi Buruk Pemanasan Global (5): Keruntuhan Ekonomi, Perang, dan Mafia

Baca di App
Lihat Foto
AFP/OZAN KOSE
Gambar yang diambil pada 13 Oktober 2019 dari kota Turki Ceylanpinar menunjukkan asap mengepul dari kota perbatasan Suriah Ras al-Ain di tengah pertempuran antara Turki melawan Kurdi. Kurdi mengumumkan mereka menjalin kerja sama dengan pemerintah Suriah demi menghadapi Turki yang menyerang sejak 9 Oktober 2019.
|
Editor: Nibras Nada Nailufar

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan keempat, Mimpi Buruk Pemanasan Global (4): Panas Sekarang Belum Ada Apa-apanya.

KOMPAS.com - Selama dua dekade terakhir, istilah neoliberalisme atau neolib telah jadi kata kotor yang dilempar-lempar saat pemilu.

Namun sebelum itu, neolib adalah paham yang digaungkan sebagai puncak perekonomian di dunia barat.

Neolib mengutamakan privatisasi aset, deregulasi, pajak yang ramah bagi korporasi, dan iklim perdagangan yang bebas.

Selama lima puluh tahun, neolib dijual sebagai janji pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup manusia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan, kini membawa petaka bagi manusia.

Baca juga: Tuhan, Rakyat, dan Neolib, Jurus Ampuh untuk Tarik Simpati

Hutan ditukar dengan permukiman. Udara bersih ditukar dengan kenyamanan berkendara. Air bersih ditukar dengan operasional pabrik-pabrik yang menyediakan pakaian bermerek bagi kita.

Dikutip dari The Uninhabitable Earth: Life After Warming (2019), sejumlah sejarawan dan ekonom tengah mempelajari apa yang disebut dengan "kapitalisme fosil".

Dugaannya, pertumbuhan ekonomi yang dimulai sejak abad ke-18, bukan semata hasil dari inovasi atau perdagangan bebas.

Masifnya pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan modernisasi yang kita nikmati sekarang, adalah berkat penemuan cara mengekstraksi fosil menjadi bahan bakar.

Baca juga: Akankah Indonesia Terus Bertahan dengan Bahan Bakar Fosil?

Bahan bakar fosil, mulai dari minyak, batu bara, hingga gas alam, mendorong diciptakannya mesin-mesin penghasil emisi karbon. Mulai dari mobil hingga pembangkit listrik.

Pada akhirnya rugi

Pertumbuhan ekonomi pada akhirnya berimbas pada kerusakan lingkungan. Saat ini, sudah kita rasakan bencana akibat perubahan iklim datang semakin sering dan semakin parah.

Bencana-bencana itu tentunya menimbulkan kerugian yang tak kecil, baik yang ternilai maupun yang tidak. Berapa kira-kira dampak ekonomi yang harus kita tanggung?

Ekonom yang berfokus pada pemanasan global, Solomon Hsiang; Marshall Burke; dan Edward Miguel, berpendapat bahwa setiap kenaikan satu derajat celsius, ekonomi turun sekitar 1 persen.

Baca juga: Mimpi Buruk Pemanasan Global (1): Jakarta Hingga Markas Facebook Tenggelam

Mereka memperkirakan di akhir abad ini, pendapatan per kapita seluruh dunia akan turun sekitar 23 persen.

Analisa lainnya bahkan menyebut ada kemungkinan 51 persen perubahan iklim bakal menurunkan output global lebih dari 20 persen pada 2100.

Ada juga 12 persen kemungkinan GDP per kapita turun lebih dari 50 persen jika kita tak mampu menghentikan laju emisi karbon.

Negara-negara di utara yang beriklim dingin seperti Rusia, Kanada, dan Greenland, mungkin akan diuntungkan dengan pemanasan global.

Baca juga: Penyumbang Pemanasan Global Paling Besar dari Sektor Energi

Namun bagi negara-negara di garis ekuator seperti Afrika, Brazil, India, termasuk Indonesia, pemanasan akan berdampak sangat buruk.

Pada 2018, Bank Dunia mengestimasi kualitas hidup dari 800 juta orang di Asia Selatan. Seratus juta orang, menurut mereka, akan jatuh ke kemiskinan ekstrem akibat perubahan iklim selama satu dekade ke depan.

Jika setelah Perang Dunia II ada Marshall Plan dan saat Depresi Besar (Great Depression) ada New Deal, kali ini tak ada rencana apa-apa. Belum ada skema untuk mengantisipasi kebangkrutan akibat perubahan iklim.

Konflik dan perang

Selain kemiskinan, kerusakan iklim telah mengantarkan kita pada konflik dan perang. Sejumlah penelitian menemukan keterkaitannya.

Baca juga: Korea Utara Dilanda Kekeringan Terburuk dalam 37 Tahun Terakhir

Lihatlah Suriah yang kini porak-poranda. Kekeringan pada 2007 hingga 2010 yang diperparah perubahan iklim, membuat gagal panen massal dan warga pedesaan pindah ke kota.

Kondisi ini menambah parah tata kelola pemerintahan Suriah. Kerusakan iklim menjadi katalis konflik yang pecah pada 2011.

Dari tahun 1980 hingga 2010, 23 persen konflik di negara-negara multikultural, selalu terjadi di bulan-bulan di mana iklim memburuk. Ini terjadi di negara-negara yang mengandalkan pertanian, seperti Indonesia.

Sebuah penelitian menyebut, setiap setengah derajat celsius pemanasan, masyarakat akan melihat 10 hingga 20 persen peningkatan konflik bersenjata.

Baca juga: Suriah Menjadi Medan Konflik Bersenjata Internasional

Di Afrika, perubahan iklim telah menambah kerawanan konflik menjadi 10 persen. Pada 2030 nanti, diperkirakan kenaikan suhu akan menyebabkan 393.000 orang mati dalam peperangan.

Bagaimana bisa perubahan iklim mendorong terjadi konflik? Sederhana saja, ketika keuntungan dan produktivitas turun, masyarakat goyah.

Orang cenderung berkonflik dan melakukan kejahatan karena didera krisis ekonomi.

Itulah yang terjadi di Italia pada 1893. Kemarau panjang yang parah melahirkan Mafia Sisilia.

Begitu juga Revolusi Perancis yang meletup pada 1789. Kemarau parah terjadi setahun sebelumnya, menyebabkan gagal panen serta meroketnya harga pangan.

Baca juga: Mengenal Keluarga Mafia Italia yang Menakutkan

Saat ini, kondisi ekstrem serupa terjadi di Guatemala. Antara 2008 hingga 2010, Guatemala diterjang empat badai yang memporak porandakan negaranya.

Badai menambah panjang daftar bencana yang dialami Guatemala, mulai dari gunung meletus sampai gempa bumi.

Dampaknya, tiga juta orang kesulitan mengakses pangan. Lebih dari 400.000 penduduknya hidup dari bantuan kemanusiaan. Seperempat anggaran Guatemala, habis untuk menambal kerusakan akibat bencana.

Demi bertahan hidup, petaninya bahkan menanam poppy, bahan dasar heroin. Guatemala kini menempati peringkat kelima negara dengan jumlah pembunuhan terbanyak.

Baca juga: Bekerja Sama dengan Kartel Narkoba, Capres Guatemala Ini Ditangkap AS

Yang terjadi di Suriah dan Guatemala, akan terjadi di tempat-tempat lain. Negara miskin dan berkembang yang pertama akan terpukul akibat perubahan iklim.

Bersambung...

Tulisan ini adalah seri kelima dari enam seri tulisan Mimpi Buruk Pemanasan Global. Baca artikel berikutnya, "Kiamat Sudah Dekat".

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi