Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mimpi Buruk Pemanasan Global (6): Kiamat Sudah Dekat

Baca di App
Lihat Foto
Tangkapan layar dari akun @jktinfo
Spanduk kuning dipasang di Patung Dirgantara, Pancoran, Rabu (23/10/2019).
|
Editor: Nibras Nada Nailufar

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan kelima, Mimpi Buruk Pemanasan Global (5): Keruntuhan Ekonomi, Perang, dan Mafia.

KOMPAS.com - Pada Oktober lalu, warga Ibu Kota dihebohkan dengan aksi memanjat di Patung Dirgantara atau Pancoran dan Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia.

Para aktivis Greenpeace nekat memanjat belasan meter untuk membentangkan spanduk bertuliskan "Orang baik pilih energi yang baik, #Reformasi dikorupsi" dan "Lawan perusak hutan #Reformasi dikorupsi".

Meski diamankan polisi, mereka tak gentar. Mereka sengaja melakukannya untuk mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama para menteri yang baru dilantik untuk memprioritaskan dua hal terkait lingkungan di Indonesia.

Di sektor energi, mereka menuntut pemerintah beralih pada energi terbarukan dan meninggalkan energi kotor batu bara. Kemudian, untuk menyelamatkan hutan dan menjaga yang masih tersisa serta melawan para perusak hutan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Spanduk Juga Dibentangkan di Patung Pancoran, Pemasangnya Bungkam Saat Diperiksa Polisi

"Dua sektor ini menjadi sangat penting. Itu harus jadi prioritas jika pemerintah ingin bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan masalah lingkungan dan juga melawan perubahan iklim, karena ini berkaitan dengan isu global," kata Juru Kampanye Greenpeace Arie Rompas.

Bukan kali ini saja kebijakan lingkungan pemerintah diprotes. Dalam gelombang unjuk rasa selama enam pekan terakhir, stop pembakaran hutan dan tindak tegas korporasi yang terlibat menjadi satu dari delapan tuntutan yang diminta mahasiswa dan rakyat sipil.

Ramai-ramai protes

Protes terkait lingkungan belum pernah sekencang ini. Di barat, ada Greta Thunberg, pelajar berusia 16 tahun dari Swedia yang mengguncang dunia dengan protesnya.

Pada 2018, Ia mulai bolos dari sekolahnya untuk berunjuk rasa di depan gedung parlemen seorang diri. Saat itu, Swedia mengalami musim panas terparah dalam 262 tahun terakhir dengan gelombang panas dan kebakaran hutan.

Baca juga: Pelajar Pedemo Diajak Jenih Melihat Masalah dan Belajar dari Greta

Kini di seluruh dunia, tiap Jumat setidaknya ada sekelompok pelajar yang bolos untuk berunjuk rasa mengikuti Greta, termasuk di Jakarta.

Pada 23 September 2019 lalu, di hadapan para pemimpin dunia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Greta yang mengidap Asperger syndrome marah-marah.

Kesepakatan Paris 2016 yang memaksa para pemerintah melakukan upaya-upaya agar pemanasan global bisa ditekan di bawah dua derajat celsius, tak diindahkan dengan serius.

Aksi Greta menginspirasi masyarakat di seluruh dunia untuk memprotes pemerintahnya. Dari 20-27 September 2019, 6 juta orang dari 150 negara turun ke jalan demi menyelamatkan bumi.

Tahun 2019 menjadi tahun di mana orang-orang bergerak serentak menuntut perbaikan. Anak-anak di seluruh dunia turun ke jalan atas haknya diwarisi bumi. Kita belum pernah seresah ini soal alam.

Baca juga: Murid Sekolah di Seluruh Dunia Kembali Gelar Unjuk Rasa Perubahan Iklim

Kepunahan massal

"Kita ada di awal kepunahan massal, dan yang Anda semua bicarakan adalah dongeng tentang kekayaan dan pertumbuhan ekonomi," kata Greta dalam pidatonya di PBB.

Greta tak salah. Kita memang sedang menghadapi kepunahan massal. Pemanasan global yang jadi kekhawatiran dua dekade, kini sudah di depan mata.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan sepanjang 2015-2019, bumi memanas 0,2 derajat celsius dibanding 2011-2015.

Penyebabnya? Kita telah memproduksi karbon dioksida, metana, dinitrogen oksida, dan gas rumah kaca lainnya secara berlebihan.

Gas-gas yang terperangkap di bumi ini menambah suhu hingga 1,1 derajat celsius dibanding sebelum masa industri (1850).

Baca juga: Mimpi Buruk Pemanasan Global (1): Jakarta Hingga Markas Facebook Tenggelam

Akibatnya, es di dua kutub bumi meleleh dengan cepat, melebihi prediksi ilmuwan. Air laut naik dan membanjiri daratan.

Diprediksi sebagian besar Jakarta--jika tidak seluruhnya--akan benar-benar tenggelam pada 2050. Begitu juga kota-kota lain di dunia.

Meskipun air laut berlimpah, air bersih sebagai sumber kehidupan kita akan berkurang drastis akibat pemanasan.

Berdasarkan penelitian Bank Dunia, ketersediaan air bersih di kota-kota di seluruh dunia akan turun hingga dua per tiga. Akibatnya, kita akan krisis pangan.

Panasnya suhu juga akan menambah kejadian gelombang panas yang mematikan. Di hutan-hutan yang bekerja sebagai paru-paru bumi, kebakaran akan lebih sering terjadi akibat peningkatan suhu dan kekeringan.

Baca juga: Mimpi Buruk Perubahan Iklim (2): Diracun di Udara dan Lautan

Asap dari pembakaran itu akan merusak pertumbuhan generasi muda. Kalau pun bukan karena asap kebakaran hutan, tubuh tetap akan rusak karena polusi udara dari mobil dan pabrik.

Tak ada cara cepat untuk menghentikan ini semua.

Antroposen

Sebenarnya bukan kali ini saja bumi berubah. Dikutip dari The Uninhabitable Earth: Life After Warming (2019), bumi sudah lima kali menjalani kepunahan massal. Semua disebabkan karena perubahan iklim akibat gas rumah kaca.

Yang pertama, sekitar 450 juta tahun lalu, 86 persen spesies punah. Yang paling parah, 250 juta tahun lalu, ketika karbon dioksida membuat bumi lebih hangat lima derajat celsius.

Pemanasan itu memicu gas metana yang akhirnya menghapus seluruh kehidupan di bumi. Saat ini, kita melepaskan karbon dioksida setidaknya 10 kali lebih cepat.

Baca juga: Resmi Sudah, Kita Akan Dikenang sebagai Zaman Plastik di Masa Depan

Di abad 21, manusia tinggal menunggu bencana mana yang akan menewaskannya lebih dulu. Bisa karena tenggelam, kepanasan, kelaparan, infeksi paru-paru, atau konflik bersenjata.

Bisa juga karena terjangkit penyakit mematikan yang mikroba pembawanya bangkit setelah ribuan tahun membeku di lapisan es.

Jika manusia purba hidup pada era holosen, maka saat ini kita hidup di era antroposen. Antroposen adalah periode geologi ketika aktivitas manusia mulai mendominasi planet bumi.

Seperti yang ditulis Roy Scranton dalam bukunya Learning to Die in the Anthropocene: Reflections on the End of a Civilization (2015), ini adalah tantangan terbesar bagi peradaban manusia.

Ketika kemajuan yang kita miliki membuat kita sadar bahwa kita akan punah. Namun semuanya terlambat. Kiamat sudah dekat.

Baca juga: Meski Tak Bisa Dihindari, 5 Cara Ini Dapat Kurangi Efek Pemanasan Global

Sekarang atau tidak sama sekali

Boleh jadi prediksi yang dipaparkan dalam serial tulisan ini hanya ketakutan semata. Presiden Amerika Serikat Donald Trump saja tak mempercayainya.

Bisa jadi, alam hanya mencari keseimbangan barunya dan manusia bisa selamat.

Namun, tak ada salahnya mencoba mencegah laju perubahan iklim. Apa yang bisa kita lakukan?

Berdasarkan kesepakatan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), ada banyak hal yang harus dilakukan serentak untuk menekan laju pemanasan global.

Baca juga: Pemanasan Global Sebabkan Negara Miskin Semakin Miskin

Berikut langkah yang perlu dilakukan seperti dirangkum majalah TIME dalam edisi khusus perubahan iklim yang terbit pada September 2019:

1. Mengurangi penggunaan bahan bakar fosil

Bahan bakar dari fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara, perlu dikurangi. Para ilmuwan menghitung, bahan bakar ini harus dikurangi hingga 62 persen, minimal 13 persen pada 2050 jika ingin menyelamatkan bumi.

Pada 2050 nanti, batu bara sudah tidak boleh digunakan lagi.

2. Mengembangkan energi terbarukan

Energi terbarukan seperti angin dan panas matahari harus dikembangkan setidaknya 59 persen dari total sumber listrik pada 2050.

Pengembangannya perlu difokuskan untuk industri dan transportasi.

Baca juga: Studi Harvard, Meredupkan Matahari Efektif Tangkal Pemanasan Global

3. Mengembangkan energi nuklir

Nuklir digadang-gadang sebagai sumber energi masa depan. Nuklir mampu menyediakan 28 persen listrik pada 2050, atau sekecil-kecilnya 1 persen.

Para ahli energi saat ini masih berdebar soal penggunaan nuklir untuk menggantikan bahan bakar fosil. Ada risiko yang belum bisa dipastikan seperti limbah nuklir.

4. Menyedot karbon dari atmosfer

Manusia telah menghasilkan begitu banyak karbon dioksida yang memicu perubahan iklim. Saking banyaknya, karbon perlu disedot kembali dari atmosfer.

Kita sebenarnya sudah punya teknologinya. Carbon capture namanya. Diperkirakan, butuh sekitar satu setengah fasilitas carbon capture setiap hari hingga 70 tahun ke depan untuk bisa menahan laju pemanasan global.

Baca juga: Fenomena Pusaran Kutub di AS, Adakah Hubungan dengan Pemanasan Global?

Sayangnya, pada 2018, kita baru punya 18 lokasi carbon capture.

5. Mengubah pola makan dan menyelamatkan hutan

Tahukah Anda, dampak lingkungan yang dihasilkan satu kilogram daging sapi sama dengan perjalanan mobil sejauh 320 kilometer?

Metana, gas yang 84 kali lebih berbahaya dari karbon dioksida, dihasilkan setiap hari di peternakan-peternakan di seluruh dunia.

Kentut dan sendawa sapi mengandung metana yang berbahaya. Untuk bisa mengurangi metana, kita juga harus mengurangi produksi dan konsumsi hewan.

Kita harus mengubah pola makan dan pola agrikultur agar tidak ada lagi hutan-hutan yang dialihkan jadi lahan pertanian.

Baca juga: Dua Pertiga Gletser Himalaya Akan Mencair jika Pemanasan Global Tak Diatasi

Secara keseluruhan, hutan tidak boleh berkurang lebih dari 2 juta kilometer persegi dan perlu ditambah menjadi setidaknya 9,5 juta kilometer persegi.

6. Hidup lebih efisien

Anda bisa mencoba hidup lebih efisien dengan meninggalkan kendaraan pribadi, menghemat listrik, menggunakan lampu hemat energi, untuk menyelamatkan lingkungan.

Jika ini dilakukan serentak, pemerintah dan industri tak perlu berinvestasi di sektor energi. Kebutuhan energi bisa berkurang 50 persen.

Selesai.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi