Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat SMK Menjadi Pemasok Angka Pengangguran Tertinggi di Indonesia...

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Dinas Pendidikan Jawa Barat
SMKN 12 Bandung bekerja sama dengan PT JABIL, perusahaan publik asal Amerika Serikat yang memproduksi detail part component untuk pesawat terbang.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat bahwa SMK merupakan pemasok angka pengangguran tertinggi di Indonesia. Data tersebut diperolah dari laporan serikat guru di daerah-daerah.

Laporan tersebut juga sesuai dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa pengangguran terbuka pada Agustus 2019 berjumlah 7,05 juta orang. Angka ini meningkat dari Agustus 2018 yang hanya 7 juta orang.

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) tersebut didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu sebesar 10,42 persen pada Agustus 2019.

Menanggapi tingginya tingkat pengangguran di SMK, Wasekjen FSGI Satriwan Salim mengungkapkan bahwa kondisi ini disebabkan lantaran kurangnya guru mata pelajaran produktif di SMK

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Permasalahan SMK itu justru kekurangan guru mata pelajaran yang menjadi core business-nya mereka, yaitu mata pelajaran produktif," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (11/12/2019).

Satriwan mengatakan bahwa mata pelajaran produktif menjadi inti dari SMK Vokasi. Misalnya, teknik mesin, teknik industri, desain grafis, dan lainnya.

Ia menilai bahwa kurangnya guru di mata pelajaran produktif ini disebabkan oleh rendahnya minat mahasiswa-mahasiswa pendidikan untuk menjadi guru SMK.

"Kalo menjadi guru SMK, upahnya sedikit, apalagi honorer. Jadi, mereka lebih memilih kerja di perusahaan atau pabrik. Alhasil, siapa yang mengajar di mata pelajaran produktif? Yaitu guru guru mata pelajaran adaptif, normatif," jelas Satriwan.

Baca juga: Menilik Latar Belakang Pendidikan 7 Staf Khusus Milenial Jokowi...

Persoalan sarana dan prasarana

Guru mata pelajaran adaptif dan normatif ini contohnya adalah guru Bahasa, Matematika, Olahraga, Agama, dan lainnya.

"Sehingga tidak sesuai dengan bidang keahliannya kan. Bagaimana lulusan SMK akan qualified, akan link and match dengan dunia industri, ketika core business vokasinya saja diajar oleh orang yang tidak profesional," lanjutnya.

Selain masalah itu, Satriwan juga mengungkapkan bahwa SMK di Indonesia mengalami kekurangan fasilitas sarana dan prasarana.

FSGI menyebut kondisi ini dengan sebutan SMK Sastra. Sebab, mata pelajaran produktif diajarkan dengan teori saja, tanpa praktik.

"Sebab tidak punya lab, tidak punya bengkel, jadi diceritakannya dengan ceramah. Oleh karena itu, kami menyebutnya SMK Sastra," ungkap dia.

Masalah selanjutnya adalah desain kurikulum SMK yang tidak sepenuhnya melibatkan dunia industri.

Satriwan menjelaskan bahwa SMK di Indonesia juga tersebar hingga daerah-daerah. Ia menilai, seharusnya jenis SMK yang ada pun berbasis potensi lokal.

"Misalnya, di daerah Pangandaran, SMK-nya kemaritiman atau perikanan," kata Satriwan.

Namun, kini justru SMK terus bermunculan tanpa adanya orientasi yang jelas. Bahkan, ia menyebut bahwa sekarang ada sejumlah SMK yang dapat dikatakan surplus.

Misalnya, SMK administrasi perkantoran, administrasi keuangan, ataupun jurusan-jurusan umum lainnya.

Baca juga: [KLARIFIKASI] Riwayat Pendidikan Mulan Jameela

Perlu Perombakan Total

Untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan ini, FSGI mengusulkan adanya perombakan total dimulai dari cara rekrutmen guru.

Cara yang dimaksud salah satunya adalah dengan memberikan insentif yang lebih kepada guru-guru mata pelajaran produktif di SMK.

"Kalau perlu Kemdikbud bekerja sama dengan LPTK yang melahirkan calon-calon guru dari fakultas teknik misalnya," katanya lagi.

Selain itu, juga bekerja sama dengan dunia industri untuk mendesain kurikulum.

FSGI menilai, upaya ini dapat dilakukan dengan langsung membuat MoU antara Dinas Pendidikan dengan perusahaan yang ada di daerah agar mau menerima praktik/magang dari anak-anak SMK ini.

Menurut Satriwan, daerah memiliki tanggung jawab yang paling besar. Sebab, kewenangan atas SMK dan SMA berada pada Pemerintah Provinsi.

"Artinya, memang harus ada frekuensi yang sama dengan pemerintah pusat. Karena masing-masing provinsi di Indonesia kan punya karakteristik," kata Satriwan.

Sementara, untuk asesmen, FSGI meminta agar skema yang diberlakukan berbeda dengan SMA.

Satriwan mengungkapkan bahwa selama ini, skema yang diberlakukan di SMK hampir sama dengan SMA.

"Mestinya skemanya harus diganti, skema asesmennya. Karena kan mereka persiapan untuk kerja, beda dengan SMA. Karena di Situ persiapannya untuk kerja, asesmennya pun dunia industri. Apapun nanti formatnya. Libatkan dunia industri, guru, dan pemerintah daerah," pungkas Satriwan.

 Baca juga: [KLARIFIKASI] Video Siswa Berkelahi dengan Guru karena Ponselnya Disita

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi