Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seberapa Penting Nikel dari Indonesia hingga Pelarangan Ekspornya Digugat Uni Eropa?

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Amran Amir
Proses Peleburan Bijih Nikel di Smelter PT Vale Indonesia Tbk, Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan
|
Editor: Virdita Rizki Ratriani

KOMPAS.com - Uni Eropa akan menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor bijih nikel mulai 1 Januari 2020.

Salah satu alasan pelarangan ekspor lantaran cadangan nikel di Indonesia mulai menipis.

Selain itu, kebijakan ini juga diambil dalam rangka program pemerintah terkait kendaraan listrik.

Nikel bisa dimanfaatkan untuk industri baterai kendaraan listrik.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seberapa penting bijih nikel Indonesia hingga pelarangan ekspornya digugat Uni Eropa?

Berdasarkan publikasi Vale Indonesia yang mengutip Data US Geological Survey menyebutkan, dari 80 juta metrik ton cadangan nikel dunia, hampir 4 juta metrik ton tersimpan di Indonesia.

Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-6 dunia dengan deposit nikel terbesar di dunia.

Dikutip dari Antara, 27 November 2019, produk mineral khususnya nikel, besi, dan kromium digunakan sebagai bahan baku industri stainless steel EU.

Komisi Eropa yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan di Uni Eropa yang beranggotakan 28 negara, mengatakan, pembatasan itu secara tidak adil membatasi akses produsen Uni Eropa terhadap bijih nikel.

Konsumsi terbesar nikel di dunia saat ini adalah negara-negara Asia khususnya Tiongkok pada 2017 mencapai 72 persen dari konsumsi nikel dunia.

Diikuti Eropa dan Afrika sebesar 10 persen dan Amerika Serikat sekitar 8 persen.

Terkait gugatan Uni Eropa, masih mengutip Antara, Wakil Tetap/ Duta Besar Uni Eropa (EU) di Jenewa telah mengirimkan surat kepada Wakil Tetap/Dubes RI di Jenewa yang secara resmi menyampaikan bahwa EU akan mengajukan sengketa terkait produksi besi Indonesia, termasuk pembatasan ekspor bijih nikel ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Dalam surat yang dikirimkan pada 22 November 2019 itu, EU juga menyampaikan permintaan melakukan konsultasi.

Konsultasi merupakan langkah awal dalam suatu proses penyelesaian sengketa WTO.

Baca juga: Jokowi: Digugat Eropa, Ya Hadapi...

Mengenal nikel

Nikel bukan hal yang asing bagi kehidupan kita. Kandungan nikel bisa ditemukan dari sendok dan garpu, baterai telepon pintar maupun komponen pesawat terbang serta perangkat elektronik.

Dikutip dari situs Kementerian Perindustrian, nikel adalah salah satu jenis logam.

Logam ini memiliki julukan "the mother of industry", artinya merupakan tulang punggung yang mendukung sektor industri lainnya, misalnya otomotif.

Nikel terutama digunakan sebagai bahan baku pembuatan baja anti karat (stainless steel).

Dikutip dari buku "Nikel Indonesia", produk akhir nikel sangat banyak dikonsumsi untuk pembuatan stainless steel, yaitu sebesar 6,9 persen.

Kemudian sebanyak 10 persen digunakan untuk logam paduan nonbesi. Lalu, sebesar 7 persen untuk pelapisan logam (plating), 6 persen untuk pembuatan baterai dan lain-lain.

Selanjutnya, sebanyak 5 persen untuk logam paduan besi, serta 3 persen digunakan untuk pengecoran.

Sehingga, jika industri otomotif berkembang, permintaan nikel turut meningkat. Jika pembangunan massal terjadi, permintaan nikel tinggi.

Baca juga: Larangan Ekspor Bijih Nikel dan Nasib Suram Industri Baja Eropa

Sejarah pertambangan nikel di Indonesia

Berdasarkan publikasi dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), sejarah pertambangan nikel di Indonesia dimulai pada 1901.

Saat itu, Kruyt, seorang berkebangsaan Belanda, meneliti bijih besi di pegunungan Verbeek, Sulawesi.

Kemudian, pada 1909, EC Abendanon, juga ahli geologi berkebangsaan Belanda menemukan bijih nikel di Kecamatan Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Penemuan ini dilanjutkan dengan kegiatan eksplorasi pada tahun 1934 oleh Oost Borneo Maatschappij (OBM) dan Bone Tole Maatschappij.

Di Soroako, pada 1937, seorang ahli geologi bernama Flat Elves melakukan studi mengenai keberadaan nikel laterit.

Pada 1938, dilakukan pengiriman 150.000 ton biji nikel menggunakan kapal laut oleh OBM ke Jepang.

Namun, baru 30 tahun kemudian yakni pada 1968 diterbitkan Kontrak Karya (KK) untuk penambangan nikel laterit kepada PT International Nickel Indonesia (INCO) dengan area di beberapa bagian Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Wilayah itu di antaranya termasuk Soroako dan Pomalaa.

Saat ini, seluruh saham PT INCO sudah diambil alih oleh perusahaan pertambangan nikel dari Brasil dan berubah nama menjadi PT Vale Indonesia.

BUMN yang juga memiliki lokasi pertambangan nikel yang luas adalah PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau ANTAM.

Lokasi tambangnya terdapat di Pulau Sulawesi dan Halmahera. 

Baca juga: Tertarik Nikel Indonesia, JBIC Siapkan Dana Abadi

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi