Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pegiat antikorupsi
Bergabung sejak: 3 Okt 2019

Pegiat antikorupsi, Wakil Direktur Visi Integritas

Jangan (Ada Lagi) Korupsi di Kementerian

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/SUPRIYANTO
Ilustrasi
Editor: Laksono Hari Wiwoho

SESAAT setelah pelantikan 34 menteri Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan 7 pesan penting kepada mereka.

Pesan pertama dan yang paling utama adalah jangan korupsi dan ciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi.

Pesan "jangan korupsi" yang disampaikan Jokowi kepada seluruh menteri yang baru dilantik nampaknya bentuk ultimatum agar para pembantudi bawahnya tidak terjebak dalam pusaran korupsi.

Wajar saja Jokowi resah karena di periode pertama pemerintahannya sudah ada dua menteri aktif yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Keduanya adalah Menteri Sosial Idrus Marham yang menjadi tersangka kasus suap proyek pembangunan PLTU I-Riau dan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi yang menjadi tersangka dalam kasus dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia melalui Kemenpora.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Idrus Marham bahkan telah divonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan saat ini masih mendekam di penjara.

Fenomena korupsi di lingkungan kementerian dalam beberapa tahun terakhir sungguh memprihatinkan.

Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch, sudah ada 18 kementerian atau lebih dari separuh dari jumlah kementerian yang pernah tersangkut kasus korupsi.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan telah menangani 231 kasus korupsi di sejumlah kementerian. Delapan kasus diantaranya telah menjerat mantan menteri atau menteri aktif.

Praktik korupsi yang menonjol di berbagai kementerian, antara lain korupsi pengadaan barang jasa, perjalanan dinas, jual-beli jabatan, penyuapan, dan gratifikasi.

Selain karena persoalan integritas, terdapat tiga faktor penyebab terjadinya korupsi di lingkungan kementerian.

Pertama, penempatan posisi menteri yang cenderung politis dan tidak selektif. Menteri-menteri dipilih umumnya lebih didasarkan atas kontribusi politik dan finansial selama menjadi tim sukses calon presiden.

Hanya segelintir menteri yang dipilih berdasarkan pada kompetensi, kualitas, dan integritas.

Kondisi juga diperburuk dengan kebiasaan nepotisme para menteri menempatkan staf khusus atau pejabat penting lainnya yang satu partai dengannya.

Terpilihnya menteri dari partai politik maupun tim sukses sangat rentan dimanfaatkan untuk kepentingan pengumpulan modal politik baik untuk ia pribadi maupun partai.

Kedua, tidak berjalannya fungsi pengawasan di internal kementerian. Hampir seluruh kementerian memiliki inspektorat jenderal yang bertugas mengawasi dan memeriksa dugaan penyimpangan termasuk korupsi di lingkungan kerjanya.

Namun demikian, fungsi pengawasan ini tidak berjalan apabila menyangkut pejabat tinggi atau menteri di kementerian tersebut.

Belum lagi sikap ewuh pakewuh, semangat melindungi korps dan lemahnya sumber daya menjadi penyebab tidak efektif pengawas internal ini.

Sistem pengawasan melekat tiap jenjang jabatan tidak sepenuhnya berjalan. Jikapun terjadi penyimpangan, umumnya sanksi yang diberikan hanya bersifat administratif berupa teguran atau sanksi ringan lainnya.

Kasus korupsi di kementerian umumnya baru terungkap jika ditangani oleh pihak eksternal dalam hal ini kepolisian, kejaksaan maupun KPK.

Ketiga, terbukanya peluang korupsi di lingkungan kementerian. Pengadaan Barang dan Jasa merupakan sektor yang paling rentan terhadap praktik korupsi di kementerian.

Mekanisme tender seringkali hanya bersifat formalitas karena pemenang tender bisa diatur jauh sebelum proses resmi dimulai.

Kontraktor milik kerabat dan relasi menteri atau pejabat di kementerian seringkali menjadi pemenang proyek yang nilainya bisa mencapai miliaran rupiah.

Memberikan sogokan dan uang "terima kasih" menjadi kebiasaan yang sering ditemui dalam proyek-proyek di lingkungan kementerian.

Harus dipahami bahwa korupsi yang terjadi di kementerian tidak saja menyebabkan kerugian negara, namun juga merusak kredibilitas pemerintah di mata publik.

Untuk menghentikan praktik korupsi di lingkungan kementerian dan mencegah bertambahnya menteri aktif menjadi tersangka korupsi, maka tindakan luar biasa (extra ordinary) harus segera dilakukan.

Setiap kementerian perlu menerapkan sistem pencegahan korupsi untuk menutup celah timbulnya penyimpangan.

Baik Presiden maupun menteri sebaiknya tidak ragu melibatkan KPK dalam program pencegahan korupsi di lingkungan kementerian.

Peran inspektorat sebagai pengawas internal perlu diperkuat dan kementerian sebaiknya menerapkan ISO 37001 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan atau mengadopsi konsep Sistem Integritas Nasional (SIN) yang pernah disusun KPK.

Sistem ini dirancang dengan sejumlah perangkat-perangkat antikorupsi agar para pejabat di kementerian tidak dapat melakukan korupsi.

SIN terdiri dari delapan komponen utama yaitu kode etik dan pedoman perilaku, pengumuman harta kekayaan, kebijakan gratifikasi dan hadiah, pengelolaan akhir masa kerja, saluran pengaduan dan whistle blower, pelatihan dan internalisasi integritas, evaluasi eksternal integritas dan pengungkapan isu integritas.

Komponen tersebut akan berhasil jika didukung dengan kebijakan rekrutmen dan promosi, pengukuran kinerja, sistem dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia dan perbaikan mekanisme pengadaan barang dan jasa.

Untuk memastikan pesan tidak korupsi kepada menteri dipatuhi, maka Presiden Jokowi perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap seluruh jajaran menteri di lingkungan Kabinet Indonesia Maju.

Dasar evaluasi harus diperluas tidak saja memperhatikan aspek kinerja selama menjadi menteri, namun juga aspek integritas dan dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Menteri yang berkinerja buruk, tersangkut korupsi dan tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi sudah waktunya diganti dengan orang lain yang lebih tepat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi