Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Kasus Kekerasan di Sekolah Taruna Masih Terjadi?

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Kejadian kekerasan di lingkungan sekolah taruna atau sekolah kedinasan kembali terjadi.

Dalam pekan ini, tersiar video yang menampilkan 4 orang taruna junior ditampar oleh seniornya secara bergantian di SMK Pelayaran Malahayati pada Minggu (22/12/2019).

Video itu viral dan menjadi perbincangan di media sosial. Setelah dikonfirmasi, dipastikan bahwa peristiwa itu memang terjadi pada November lalu.

Kejadian seperti ini tak hanya satu atau dua kali.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekerasan di lingkungan sekolah taruna juga pernah terjadi di Sekolah Taruna Indonesia (Palembang), SMA Taruna Rampung (Sumatera Selatan), dan beberapa kejadian lainnya.

Baca juga: Viral Aksi Penamparan Taruna di SMK Pelayaran Malahayati, Ini Penjelasan Disdik

Mengapa peristiwa seperti ini masih kerap terjadi?

Pengamat pendidikan sekaligus Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Drs Koentjoro MBSc PhD, mengungkapkan, peristiwa ini terjadi karena adanya unsur superioritas.

"Itu menyangkut superioritas. Ada dua, yakni masalah superirotas dan sudah seperti (tindakan) tradisi," ujar Koentjoro saat dihubungi Kompas.com pada Minggu (29/12/2019).

Menurut dia, kekerasan dalam di sekolah taruna sudah terjadi dari tahun ke tahun, dan ketika dianggap menjadi "budaya" sulit untuk dibenahi.

Profesor Koentjoro menjelaskan, tindakan superioritas merupakan bentuk perilaku senior yang merasa "super" dan paling istimewa.

"Senior merasa super, merasa kelompoknya paling baik, paling istimewa," ujar Koentjoro.

Hadirnya rasa "super" ini bukan dari sisi pribadi saja, melainkan dalam lingkup kelompok-kelompok, terutama angkatan di dalam sekolah baik itu di sekolah sipil atau militer.

Junior harus patuh

Selain itu, tindakan superioritas ini dapat dikenali dengan ciri tidak dilakukan oleh senior seorang diri, melainkan banyak pelaku.

Untuk jumlah korban, Koentjoro menjelaskan, biasanya juga tidak seorang diri, korban juga ada beberapa.

Namun, jumlah korban biasanya lebih banyak daripada jumlah senior.

"Kalau banyak pelakunya, maka yang terjadi perilaku massa saling dorong-mendorong satu dengan lainnya dengan unsur perilaku-perilaku yang kasar atau keras," ujar Koentjoro.

Dari situ, timbul dampak lain, semacam perilaku "kalap" atau kebablasan.

Jika kelompok senior menunjukkan superioritasnya dan kemudian dilawan oleh junior, hasilnya akan terjadi kemarahan yang meluas.

Bahkan, bisa terjadi pembunuhan akibat eskalasi kemarahan.

"Maka yang terjadi sebetulnya, ketika ada yang dipukul oleh senior agar tidak terjadi pembunuhan, juniornya itu (bersikap) diam," kata dia.

Sementara, jika junior bersikap diam, maka seinor akan menganggap itu sebuah bentuk kepatuhan dan rasa takut.

Lebih lanjut, jika sudah terpatri rasa patuh dan takut tersebut ada di dalam diri junior, maka muncul aturan: "Senior itu yang paling benar".

Koentjoro menilai, aturan-aturan tersebut masih muncul di sekolah-sekolah kedinasan.

Harus dihentikan

Menurut Koentjoro, tindakan kekerasan seperti yang terjadi sekolah taruna, biasanya tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, tetapi bisa juga terjadi di asrama, bahkan di luar sekolah.

"Karena tindakan itu tidak hanya di kelas, nanti di asrama juga seperti itu. Di mana-mana mereka selaku mendapat seperti itu agar yang bawah (junior) tunduk pada yang atas (senior)," ujar Koentjoro.

"Jadi salah satu menciptakan kepatuhan itu harus dengan dipaksa, ditunjukkan superioritasnya, jagan sampai junior lebih menonjol dari seniornya," lanjut dia.

Meski dinilai susah untuk dihilangkan, Koentojo mengatakan, harus ada sanksi tegas dari berbagai pihak, terutama di sekolah, di asrama, dan di luar sekolah kedinasan, jika terjadi perilaku kekerasan di lingkungan pendidikan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi