Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Jepang yang Punya Sejarah Panjang soal Banjir...

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Tokyo Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel G-cans
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Selain Indonesia, negara di Asia yang juga rawan terhadap bencana adalah Jepang.

Geografis Jepang yang dekat dengan Samudera Pasifik kerap kali diterpa tsunami.

Bahkan, istilah tsunami diserap dari bahasa Jepang yang artinya gelombang atau ombak besar di pelabuhan.

Selain tsunami, Jepang juga punya riwayat bencana banjir di masa lalu. Seperti saat Taifun Kathleen menerjang Tokyo pada 1947.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bencana ini menghancurkan 31.000 rumah dan menewaskan 1.100 orang. Sepuluh tahun kemudian, Taifun Kanogawa menjadikan jalanan, rumah, pertokoan dan kantor terendam karena curah hujan mencapai 400 mm selama sepekan.

Baca juga: Mengatasi Banjir Jakarta, dari Raja Purnawarman, Jokowi-Ahok, hingga Anies Baswedan

Banjir Jepang di masa lalu

Pemberitaan Harian Kompas, 2 Juli 1969, menuliskan, banjir di daerah Kyushu menyebabkan 35 orang tewas dan 7 korban hilang.

Pada 11 Juli 1972, dilaporkan 24 orang tewas karena banjir di daerah Shimane dan Hirosima.

Empat tahun kemudian, 12 September 1976, 70 orang dilaporkan meninggal karena gelombang banjir di Jepang bagian barat.

Bencana masih terus terjadi. Pada 23-24 Juli 1982, hujan lebat dan banjir besar di Pulau Kyushu, Jepang Selatan menyebabkan 94 orang tewas, 139 orang dinyatakan hilang, dan 125 lainnya terkubur lumpur.

Sementara, di Nagasaki, banjir membuat 10.000 rumah tergenang dan memutus aliran listrik dan air di 47.000 rumah di daerah bencana.

Proyek atasi banjir

Belajar dari sejumlah bencana yang terjadi, Jepang lalu membuat perencanaan proyek mengatasi banjir.

Proyek ini dimulai sejak 1993 dan menghabiskan anggaran sekitar Rp 30 triliun.

Proyek ini dikenal dengan Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel (MAOUDC) atau Saluran Pembuangan Bawah Tanah Kawasan Metropolitan.

Lokasinya berada di Kasukabe, atau sekitar 30 kilometer utara Tokyo. Katedral banjir ini 22 meter di bawah tanah.

MAOUDC memiliki terowongan sepanjang 6,3 kilometer dan lima ruang silindris untuk menampung air. Setiap silindris memiliki tinggi 70 meter.

Baca juga: Perhatikan Ini Saat Sumbang Makanan bagi Korban Banjir...

Dari penampungan silindris tersebut akan ditampung kemudian diteruskan melalui pompa menuju Sunga Edo.

Pompa dengan kekuatan 13.000 tenaga kuda itu mampu mendorong air 200 ton per detik.

Ketika Topan Hagibis menghantam Jepang pada Oktober 2019 dan menewaskan 80 orang, wilayah Tokyo terhindar berkat jaringan waduk dan drainase MAOUDC yang beroperasi 24 jam.

Dikutip dari Asia Nikkei, air dari sungai Nakagawa, Kuromatsu, dan Komatsu dari anak sungai Tone dialihkan ke MAOUDC untuk dipompa ke Sungai Edogawa.

Sebanyak 11,5 juta ton air dialirkan. Bahkan, selama badai, saluran pembuangan terisi penuh untuk kedua kalinya sejak 2006.

Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata Jepang menyebutkan, 1.200 rumah di dekat Sungai Nakagawa dan Ayase memang masih mengalami banjir.

Namun, angkanya lebih rendah dibandingkan Topan Judy yang merendam 61.000 ribu rumah pada 1982.

Indonesia juga sebenarnya pernah membuat proyek besar penanggulangan banjir.

Salah satunya pembuatan dua banjir kanal untuk membebaskan ibu kota dan sebagian wilayah di sekitarnya dari banjir.

Dikutip dari Harian Kompas, 23 Oktober 1973, Pemerintah Indonesia bahkan mengundang beberapa ahli dari Belanda untuk melakukan penelitian.

Proyek itu di antaranya proyek Banjir Kanal Timur, yang dibuat untuk mengurangi beban Kali Cakung, Kali Bauran, Kali Sunter dan Kali Cipiang.

Sebelumnya, kali-kali itu meluap dan menggenangi daerah industri Pulo Gadung.

Saat itu, BKT direncanakan dibuat sepanjang 23 kilometer dengan anggaran Rp 10 miliar. Pembuatan banjir kanal, menurut ahli Belanda, dinilai lebih murah jika dibandingkan mengeruk dan menormalisasi banjir-kanal yang ada.

Menurut Kepala Pro Banjir Ir Supardi kala itu, lumpur yang harus dikeruk di banjir kanal mencapai 4 juta m3. Sehingga memerlukan anggara Rp 4 miliar.

Supardi menyebutkan, tiga faktor penghambat penyelesaian masalah banjir Jakarta saat itu di antaranya karena minimnya anggaran, tidak adanya teknis perencanaan dan pembebasan lahan. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi