Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyelisik Awal Mula Munculnya Klitih di Yogyakarta...

Baca di App
Lihat Foto
Beberapa senjata tajam yang berhasil diamankan Polresta Yogyakarta dari para pelaku Klitih dijalan Kenari, Kota Yogyakarta
KOMPAS.com / Wijaya Kusuma
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Tindakan kriminalitas jalanan yang melibatkan remaja masih kerap muncul di Yogyakarta.

Fenomena yang disebut klitih oleh masyarakat Yogyakarta itu semakin meresahkan. Sebab, aksi kriminalitas itu menimbulkan korban jiwa.

Kondisi itu tentu saja bisa mencoreng citra Yogyakarta yang disematkan sebagai Kota Pelajar. 

Dimulai dari geng pelajar

Merunut arsip Harian Kompas, kejadian kriminal yang melibatkan remaja pernah muncul pada tahun 1990-an.

Kemudian pada berita 7 Juli 1993, Kepolisian Wilayah (Polwil) DIY mulai memetakan keberadaan geng remaja di Yogyakarta.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kapolwil DIY saat itu Kolonel (Pol) Drs Anwari mengatakan, sudah memiliki informasi tentang keberadaan geng remaja dan kelompok anak muda yang sering melakukan berbagai aksi kejahatan di Yogyakarta.

Pada sekitar tahun 2000-an, tawuran antarpelajar muncul dan membuat gerah Wali Kota Yogyakarta saat itu, Herry Zudianto.

Kepada sekolah-sekolah, Herry mengatakan, jika ada pelajar Yogyakarta yang terlibat tawuran akan dikembalikan kepada orangtuanya, atau dikeluarkan.

Instruksi itu dinilai sempat ampuh meredam aksi kekerasan remaja.

Instruksi Wali Kota Yogya itu, menurut Sosiolog Kriminal UGM Soeprapto, membuat beberapa geng pelajar kesulitan mencari musuh.

Baca juga: Aksi Klitih Terjadi di Bantul, Seorang Pemuda Alami Luka di Wajah

Beralih motif

Soeprapto mengatakan, geng-geng itu kemudian melakukan kegiatan mencari musuh dengan mengelilingi kota secara acak. Jika sebelumnya tindakan kekerasan karena motif balas dendam, maka saat ini motifnya bisa beragam.

Selain karena eksistensi, juga bisa karena campur tangan alumni atau pihak lain yang mempunyai kepentingan dan menunggangi.

"Pihak tertentu itu ikut nimbrung supaya tujuannya tercapai, istilahnya bisa nabok nyilih tangan. Sebab kalau kejahatan dilakukan remaja atau anak-anak hukumanya ringan," kata Soeprapto, saat dihubungi Kompas.com, Senin (13/1/2020).

Belakangan, istilah klitih mulai marak di pemberitaan media sekitar tahun 2016-an.

Pada tahun 2016 itu tercatat 43 kasus kekerasan yang melibatkan remaja, atau rata-rata 3 kasus per bulan.

Baca juga: Mengenang R Soeprapto, Bapak Kejaksaan yang Berani Menolak Perintah Bung Karno

Istilah klitih

Mengutip Harian Kompas, 18 Desember 2016, dalam Kamus Bahasa Jawa SA Mangunsuwito, kata klithih tidak berdiri tunggal, tetapi merupakan kata ulang, yaitu klithah-klithih.

Kata klithah-klithih itu dimaknai sebagai berjalan bolak-balik agak kebingungan. Sama sekali tidak ada unsur kegiatan negatif di sana.

Sementara itu, pakar bahasa Jawa sekaligus Guru Besar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Pranowo, mengartikan klithah sebagai keluyuran yang tak menentu atau tak jelas arah.

Klithah-klithih tergolong dalam kategori dwilingga salin suara atau kata ulang berubah bunyi, seperti mondar-mandir dan pontang-panting.

”Dulu, kata klithah-klithih sama sekali tidak ada unsur negatif, tapi sekarang dipakai untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas. Katanya pun hanya dipakai sebagian, menjadi klithih atau nglithih yang maknanya cenderung negatif,” kata Pranowo.

Baca juga: Terduga Pelaku Pembacokan di Kebayoran Lama dari Geng Pelajar

Ada 81 geng sekolah di DIY

Banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan remaja juga diduga terkait dengan banyaknya keberadaan geng sekolah.

Kapolda DIY saat itu, Brigjen Pol Ahmad Dofiri, seperti dikutip dari Harian Kompas, 17 Maret 2017 menyebutkan, setidaknya ada 81 geng sekolah di DIY.

Jumlah itu terdiri dari 35 geng sekolah di Kota Yogyakarta, 27 geng sekolah di Kabupaten Sleman, 15 geng sekolah di Kabupaten Bantul, serta masing-masing 2 geng sekolah di Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul.

”Mereka (para remaja yang melakukan kekerasan) ini hidup dalam ikatan kelompok berupa geng baik di sekolah maupun di luar sekolah,” kata Dofiri.

Perlindungan Keluarga

Mengenai fenomena klitih ini, Soeprapto menyebutkan, pihak keluarga, sekolah, lembaga pendidikan, agama dan kepolisian bisa duduk bersama mencari solusi.

Ia juga menyoroti peran penting keluarga dalam kasus tersebut.

Menurut Soeprapto, banyak kasus terjadi pada malam hari. Jika orang tua bisa ketat melakukan pengawasan, kecil kemungkinan terjadi bentrokan antarpelajar.

"Fungsi perlindungan keluarga juga penting. Kalau dulu anak dianiaya sambatnya ke orang tua, tapi sekarang pada kelompoknya. Itu menandakan fungsi keluarga melemah," kata dia.

Baca juga: Kapolda DIY Prihatin Pelaku Klitih Berusia Remaja

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi