Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir dari Jabodetabek hingga Surabaya, Kenapa Bisa Terjadi?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/WELI AYU REJEKI
Sejumlah relawan membantu warga menyeberangi Sungai Ciberang dengan perahu karet di Sajira, Lebak, Banten, Rabu (15/1/2020). Para relawan di Lebak saat ini fokus membuka layanan penyeberangan darurat untuk memudahkan aktifitas warga karena banjir bandang dan longsor tanggal 1 Januari lalu di daerah itu memutuskan 12 jembatan di 3 Kecamatan bahkan 7 desa di antaranya masih terisolasi.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com – Bencana banjir menjadi pembuka di awal 2020. Tak hanya di Jabodetabek, banjir juga menerjang sejumlah wilayah di Jawa Tengah dan masih banyak daerah lainnya.

Rabu (15/1/2020), banjir juga sempat melanda Kota Pahlawan. Namun Pemkot Surabaya menyebutnya sebagai genangan lantaran banjir dapat cepat diatasi.

Lantas, mengapa banjir kerap terjadi di Indonesia?

Selain faktor cuaca, ahli hidrologi Universitas Gadjah Mada (UGM) M. Pramono Hadi mengatakan terjadinya banjir juga dipengaruhi oleh kondisi fisiografis dari sisi lahan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalau soal cuaca, itu tidak bisa dipungkiri. Tapi daerah seperti Jakarta, daerah itu memang cekungan," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (16/1/2020).

Sementara di Jawa Tengah (Jateng), utamanya di Pantura, dulunya merupakan wilayah rawa. Salah satu contohnya yakni wilayah seperti Demak juga memiliki risiko banjir lantaran di daerah tersebut terletak di dataran rendah.

Terdapat pula sungai Juana yang kemudian ditutup untuk menghindari banjir meskipun tetap saja jika ada kelebihan air daerah tersebut air juga meluap.

Baca juga: PNS Korban Banjir Bisa Ajukan Cuti, Bagaimana Mekanismenya?

Muara sungai besar

Sedangkan untuk Surabaya, imbuhnya wilayah tersebut disebutnya juga bisa mengalami banjir lantaran Surabaya merupakan muara bagi sungai-sungai besar seperti Bengawan Solo maupun Sungai Brantas.

“Daerahnya dataran rendah, kemungkinan dulu rawa-rawa. Karakteristik lahannya tergenang. Sehingga kalau ada pasokan air berlebih banjir,” terangnya.

Ia menyampaikan seharusnya bagi daerah-daerah yang sudah diketahui wilayahnya berisiko banjir maka drainase harus dibuat sedemikian rupa, bukan mengandalkan drainase secara alami.

Pramono mencontohkan salah satu caranya adalah melalui pembuatan kolam retensi.

“Contoh di bandara Juanda atau Cengkareng dilengkapi kolam lebar. Tujuannya kalau ada air-air di landasan ada tempatnya dulu. Meskipun kemudian dari kolam yang besar itu dipompa. Tidak bisa alami,” kata dia.

Contoh lain menurutnya adalah keberadaan kolam retensi seperti Waduk Pluit yang dilengkapi dengan pompa sehingga mampu mengurangi banjir.

Hal lain yang menurutnya bisa menyebabkan banjir adalah adanya perubahan alih fungsi lahan.

“Kalau di daerah hulu, perubahan penggunaan lahan dari tegalan jadi pemukiman atau dari hutan jadi tegalan seharusnya fungsi hidrourologi fungsi dia untuk meresap air diimbangi,” kata Pramono.

Hal itu menurutnya supaya terdapat proses mengurangi air baik dalam bentuk waduk-waduk maupun bentuk resapan air ke tanah.

Baca juga: Ramai soal Peringatan Banjir Jakarta dari Kedubes AS, Ini Penjelasan BMKG

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi