KOMPAS.com - Seorang siswi berusia 14 tahun meninggal dunia usai melompat dari lantai 4 sekolahnya di Ciracas, Jakarta Timur, Selasa (14/1/2020) sore.
Sejauh ini, pihak kepolisian belum bisa menyimpulkan soal motif yang mendorong siswi itu melompat dari gedung sekolahnya.
Rumor yang beredar, siswi berusia 14 tahun tersebut nekat mengakhiri hidupnya karena kerap di-bully di sekolahnya.
Kendati demikian, pihak sekolahan membantah siswi tersebut memilih mengakhiri hidupnya lantaran menjadi korban bullying.
Bullying dan depresi
Psikolog Forensik Klinis Adityana Kasandra Putranto menjelaskan pada dasarnya bullying adalah segala tindakan yang memberikan atau menimbulkan rasa tidak nyaman, malu, tertekan, sedih, kecewa, dan kehilangan harga diri.
Di lain pihak, masalah bunuh diri juga sering terkait dengan indikasi depresi. Gangguan depresi seringkali tidak terdeteksi, baik oleh orang terdekatnya, baik di lingkungan keluarga maupun di sekolah.
Demikian alasan mengapa depresi sering disebut sebagai silent killer.
Baca juga: Mengenal Beda Depresi dan Kesedihan
Indikasi depresi ditandai dengan:
- perubahan mood yang menurun
- kehilangan motivasi berinteraksi atau berkegiatan
- sebagian ada yang sulit tidur dan kehilangan napsu makan.
"Dengan kondisi ini saya mengimbau agar keluarga dan sekolah secara periodik melakukan psychological cek up terhadap siswanya demi menghindarkan hal-hal semacam ini," tuturnya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (18/01/2020).
Mengenai sekolah yang menyangkal adanya bullying, pihaknya meminta agar sekolah melakukan instrospeksi terlebih dahulu sebelum secara lantang menyatakan tidak adanya bullying.
Perlu dilakukan otopsi psikologis
Kasandra menyarankan untuk diadakan otopsi psikologis terhadap korban.
"Jadi tidak semata-mata dibuktikan dengan ada atau tidaknya perilaku tersebut karena setiap orang bisa saja mengatakan bahwa dia tidak melakukan bully," katanya.
Menurutnya otopsi psikologis bisa dan sering digunakan di Indonesia untuk mengetahui penyebab utama dari tindakan bunuh diri.
Otopsi psikologis sudah banyak dilakukan oleh psikolog forensik, bahkan itu menjadi salah satu kompetensi utama untuk menjadi seorang psikolog forensik.
"Yang pasti penyebab utama memang ada masalah psikologis, tapi pasti ada pemicunya," katanya lagi.
Baca juga: Sulli, Depresi dan Kiat Mengatasinya...
Sistem Anti Bullying
Kasandra menjelaskan sistem anti bullying adalah suatu sistem yang terstruktur, melibatkan kegiatan-kegiatan preventif berupa sosialiasi secara rutin.
Ada juga prosedur penanganan bullying ketika ada indikasi siswa mengalami atau merasakan hal yang tidak menyenangkan.
Ada alat ukur semacam inventori untuk mengetahui seberapa jauh ada potensi bullying.
Biasanya sekolah bekerja sama dengan psikolog untuk membuat sistem tersebut.
Tapi di masa sekarang selain tatap muka langsung, sistem tersebut juga bisa dijalankan secara online.
Bullying seringkali tidak disadari dan tidak terdeteksi terutama ketika sekolah tidak memiliki sistem anti bullying.
"Dari pengamatan saya, sekolah yang langsung menyatakan bahwa tidak ada bullying di sekolah sebenarnya tidak memiliki sistem anti bullying," kata Kasandra.
Baca juga: Cegah Depresi dengan Menulis
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.