Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KSAU 2002-2005
Bergabung sejak: 25 Feb 2016

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Sengketa Natuna, Peristiwa Bawean, dan Diplomasi

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Kapal Coast Guard China-5202 dan Coast Guard China-5403 membayangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1/2020). Dalam patroli tersebut KRI Usman Harun-359 bersama KRI Jhon Lie-358 dan KRI Karel Satsuitubun-356 melakukan patroli dan bertemu enam kapal Coast Guard China, satu kapal pengawas perikanan China, dan 49 kapal nelayan pukat asing.
Editor: Laksono Hari Wiwoho

BEBERAPA hari lalu, 16 Januari 2020 di Restoran Kembang Goela, Jakarta, telah berlangsung diskusi dan pembahasan yang cukup mendalam tentang isu perairan Pulau Natuna yang tengah hangat belakangan ini.

Diskusi ini dilaksanakan dalam rangka pertemuan bulanan Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) sekaligus perayaan ulang tahun pertama serta peluncuran buku tahunan PSAPI atau Indonesia Center for Air Power Studies (ICAP).

Tampil sebagai pembicara utama dalam pembahasan tersebut adalah Prof Dr Hikmahanto dan Marsekal Madya Purn Wresniwiro.

Mendalami kasus sengketa perairan Natuna yang berkait dengan penegakan kedaulatan negara, maka pembahasan juga mengangkat kasus Bawean sebagai pembanding.

Alasannya adalah bahwa dalam konteks penegakan kedaulatan negara di kawasan perairan dan di udara dipahami bersama tidaklah semudah yang dibayangkan banyak orang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalam uraiannya yang cukup detail dan komprehensif, Prof Hikmahanto menjelaskan tentang betapa rumitnya penerapan hukum internasional yang berlaku dalam kasus sengketa di kawasan perairan Laut China Selatan.

Ternyata United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang telah sama-sama diratifikasi oleh pemerintah China dan Indonesia, tidak serta-merta dapat menjadi rujukan untuk sebuah solusi dalam kasus Natuna.

Demikian pula dengan apa yang pernah terjadi beberapa tahun lalu dengan peristiwa Bawean di wilayah udara utara Pulau Jawa.

Persoalan Alur Laut Kepulauan Indoneia (ALKI) yang memberikan hak untuk terbang di atasnya ternyata juga tidak sesederhana bayangan kita semua.

Batas ketinggian yang tidak ditentukan dan sikap beberapa negara yang belum menyetujui format negara kepulauan menyumbangkan banyak sekali hambatan dalam upaya menyelesaikan masalah tersebut.

Lebih lanjut Prof Hikmahanto mengemukakan tentang rumitnya pembicaraan mengenai penerapan hukum internasional dalam kasus Natuna.

Penyelesaian yang sangat tidak mudah karena pendirian masing-masing negara dalam memandang UNCLOS 1982 yang berhadapan pada kepentingan nasional masing-masing.

Hal tersebut sangat dimaklumi akan menempatkan pemerintah RI dalam posisi sulit. Di satu sisi harus berhadapan dengan pemerintah China yang tetap berpendirian teguh mengenai area traditional fishing right.

Ppada saat yang sama, pemahaman masyarakat awam mengenai harga diri dan martabat bangsa tidak mudah pula untuk memperoleh pengertian tentang hukum laut internasional.

Yang menarik adalah dalam sesi tanya jawab, atas pertanyaan mengapa tidak kita bawa ke forum peradilan internasional, seperti International Court of Justice (ICJ) atau Permanent Court of Arbiteration (PCA), Prof Hikamahanto menjelaskan sebaiknya tidak usah.

Alasannya adalah, yang pertama, untuk apa? Karena apabila ditujukan untuk menyelesaikan overlapping dari klaim masing-masing, realitanya sudah jelas bahwa masing-masing negara tidak akan sepakat.

Yang kedua adalah, apabila pun "berhasil" dibawa ke ICJ atau PCA, dapat dijamin nasibnya akan sama dan serupa dengan yang dialami oleh Filipina.

China akan terus saja hadir secara fisik di wilayah yang disengketakan, dengan perkataan lain "hasilnya" tidak akan digubris oleh China.

Pada konteks masyarakat internasional dalam isu yang menyangkut masalah perbatasan, maka akan berlaku "siapa yang kuat, dia yang menang" dan bukan "siapa yang benar."

Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah kesabaran dan tidak menganggap apa yang China lakukan. Justru kita harus banyak melakukan upaya kehadiran secara fisik di wilayah "sengketa".

Dari jawaban Prof Hikmahanto tersebut, maka menjadi jelas peranan diplomasi menjadi sangat mengemuka karena upaya membangun kehadiran di wilayah sengketa bukanlah sesuatu yang dapat "segera" dilaksanakan.

Contoh sederhana adalah ketika pemerintah berupaya mengerahkan nelayan perairan Jawa ke perairan Natuna pagi-pagi sudah mendapatkan penolakan dari para nelayan Natuna.

Demikian pula upaya untuk menambah armada coast guard kita, selain membutuhkan dana besar, juga memerlukan waktu panjang.

Kasus Natuna dan juga pengalaman dari peristiwa Bawean akan tetap berlanjut ke masa mendatang.

Itu sebabnya giat diplomasi ternyata memang telah menjadi tuntutan untuk dikembangkan dalam memosisikan martabat negara dalam konteks menjaga kedaulatan negara di darat, laut dan udara.

Upaya diplomasi dipastikan tidak dapat dengan "hanya" mengandalkan Kementerian Luar Negeri. Masukan dari berbagai pihak (antara lain untuk urun rembuk) dalam menambah "amunisi" kepada para diplomat kita harus pula dapat dilakukan.

Natuna, Bawean, dan diplomasi ternyata memiliki keterkaitan yang cukup erat sekarang ini dan juga di masa datang.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi