Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Didemo Buruh: Berikut Polemik Omnibus Law, dari Upah Per Jam hingga Krisis Ekologi

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Seorang dari massa yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menggelar aksi penolakan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR, Jakarta, Senin (13/1/2020). Mereka menolak Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja karena akan mempermudah PHK, menghilangkan pesangon, rentan diskriminasi serta penghapusan pidana ketenagakerjaan. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/ama.
|
Editor: Virdita Rizki Ratriani

KOMPAS.com - Pemerintah masih terus membahas tentang substansi teknis Omnibus Law untuk Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.

Omnibus Law adalah sebuah konsep pembentukan undang-undang utama untuk mengatur masalah yang sebelumnya diatur sejumlah UU atau satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU. 

Konsep ini muncul dalam pidato Presiden Jokowi saat pelantikannya sebagai Presiden RI periode 2019-2024.

Akan tetapi, proses perancangan Omnibus Law ini juga menemui perdebatan alot pada sejumlah poin di kluster tertentu. Bahkan, pada hari ini ribuan buruh melakukan demo menolak adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di Jakarta. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Adapun kluster di dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja berjumlah 11, yaitu:

Baca juga: Demo di Depan DPR, Ini 6 Alasan Buruh Tolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Berikut adalah sejumlah poin di dalam kluster-kluster tersebut yang menuai perdebatan:

1. Peraturan upah per jam

Salah satu poin utama yang menjadi perdebatan dan ditolak oleh para buruh adalah tentang upah minimum.

Dalam poin ini, dampak terburuk yang dikhawatirkan akan langsung dirasakan oleh para buruh adalah hilangnya upah minimum. 

Pasalnya, pemerintah berniat untuk menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, apabila pekerja bekerja kurang dari 40 jam seminggu, upah yang diterima akan berada di bawah upah minimum.

Sementara, pemerintah beralasan, apabila upah per jam tidak diatur, maka pekerja tidak dapat memperoleh perlindungan upah. 

Namun, melansir Kompas.com (17/1/2020), pemerintah memastikan bahwa upah minimum tenaga kerja tidak turun. 

Draft substansi Omnibus Law ini juga menyebutkan bahwa upah minimum yang ditentukan oleh pemerintah ini hanya berlaku untuk pekerja baru atau kurang dari satu tahun.

2. Kemudahan TKA masuk Indonesia

Omnibus Law juga disebut bakal merevisi aturan tentang perekrutan tenaga kerja asing (TKA).

Aturan yang dimaksud terutama adalah mengenai perizinan agar para pekerja asing tersebut dapat masuk tanpa melalui birokrasi yang panjang. 

Melansir Kompas.com (26/12/2019), sebagaimana kemudahan perizinan dan perpajakan terhadap TKA, hanya saja kemudahan tersebut akan dibatasi dengan sejumlah mekanisme.

Sebelumnya, terkait dengan TKA, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, telah dijelaskan sejumlah persyaratan. 

Salah satunya adalah TKA hanya diperbolehkan bekerja untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu.

Sementara, apabila tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled workers), tidak diperbolehkan untuk bekerja di Indonesia. 

Baca juga: Mengenal Omnibus Law, Aturan Sapu Jagat yang Ditolak Buruh

3. Pemutusan hubungan kerja dan pesangon

Dalam Omnibus Law, muncul sebuah istilah baru, yaitu tunjangan PHK. Tunjangan ini besarnya mencapai 6 bulan upah. 

Adapun program yang dimaksud adalah Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk pekerja yang terkena PHK.

Sebelumnya, masalah pesangon bagi buruh yang terkena PHK telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. 

Aturan baru dalam Omnibus Law dinilai akan menghilangkan pesangon yang telah diatur sebelumnya. 

Tunjangan PHK hanya 6 bulan upah, sedangkan di aturan sebelumnya, buruh berhak memperoleh hingga 38 bulan upah lebih. 

Selain itu, jaminan sosial juga dikhawatirkan hilang dengan adanya sistem kerja yang fleksibel. 

 

4. Risiko krisis ekologi

Rencana pemerintah untuk memudahkan investasi melalui Omnibus Law dinilai beberapa pihak akan memperparah krisis ekologi dan meningkatkan risiko bencana terkait iklim.

Mengutip Harian Kompas, 11 Januari 2020, Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodiharjo mengungkapkan potensi semakin buruknya krisis ekologi dan konflik sosial akibat rencana mempermudah investasi ini.

"Fakta lapangan banyak tumpang tindih izin usaha sumber daya alam dengan kehutanan. Jadi, penerbitan izin yang benar mestinya tidak bisa dipercepat," tutur Hariadi. 

Menurutnya, ada tujuh poin yang perlu dikritisi dalam hal perizinan dan investasi ini, yaitu teminologi izin lingkungan yang dihilangkan dan tidak menjadi syarat penerbitan usaha. 

Kemudian, pengaturan ulang mekanisme penilaian Amdal. Hariadi mengungkapkan bahwa hal-hal ini rentan akan konflik kepentingan.

Baca juga: Omnibus Law Koperasi, Pendirian Cukup Tiga Orang

(Sumber: Kompas.com/ Rully R. Ramli, Virdita Rizki Ratriani |Editor: Bambang Priyo Jatmiko, Virdita Rizki Ratriani)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi