Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 18 Mei 2016

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Indonesia Riwayatmu Kini, Cerita Natuna hingga Tony Blair

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Kapal Coast Guard China-5202 membayangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1/2020). Dalam patroli tersebut KRI Usman Harun-359 bersama KRI Jhon Lie-358 dan KRI Karel Satsuitubun-356 melakukan patroli dan bertemu enam kapal Coast Guard China, satu kapal pengawas perikanan China, dan 49 kapal nelayan pukat asing.
Editor: Heru Margianto

AWAL 2020 ini kita dihadapkan pada sebuah kenyataan betapa negara maritim terbesar dunia dibuat tak berdaya menghadapi puluhan kapal penangkap ikan China yang lalu lalang mencuri ikan di Laut Natuna.

Padahal aksi tengil mereka hanya dijaga kapal sejenis penjaga pantai.

Sementara kita tahu, di lautan yang sama, kapal perang TNI cuma bisa “melakukan penghalauan” dengan bahasa Inggris yang kacau-balau.

Soalnya berbeda jika kapal penyusup itu masuk tanpa sengaja—misal terbawa arus laut. Tapi yang ini, sudah melampaui batas tenggang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kami membayangkan jika sebuah torpedo saja diluncurkan sekadar menakuti para penjarah dari utara itu, ceritanya akan jauh berbeda.

Namun apa lacur, Pemerintah lebih memilih jalan unggah-ungguh dan membiarkan harga diri bangsa kita dilanun ombak.

Pemerintah mungkin lupa atau malah tak tahu menahu bahwa Sriwijaya dan Majapahit, khususnya, adalah “hantu” di lautan lepas.

Terutama yang membentang sepanjang timur hingga ke barat daya (Madagaskar). Semboyan jales veva jaya mahe (di laut kita berjaya) nampaknya sekadar isapan jempol semata.

Pindah ibu kota

Kita tinggalkan cerita itu sebentar. Mari kita beralih pada sebuah keputusan lain dari Pemerintah yang juga bikin kepala kita menggeleng.

Presiden Joko Widodo sudah mengumumkan secara resmi bahwa ibu kota akan dipindahkan pada 2024 ke Penajam, Kalimantan Timur.

Pembangunan konstruksinya baru dimulai pada akhir 2020. Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun kawasan itu sebesar Rp 466 triliun—dengan mengambil porsi 19 persen dan APBN. Sisanya diambil dari investasi swasta dan BUMN.

Terhitung sejak Rabu, 15 Januari 2020, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, mengumumkan nama-nama tokoh yang didaulat sebagai Dewan Pengarah Pembangunan Ibu Kota Baru di Indonesia.

Mereka adalah Tony Blair (mantan perdana menteri [PM] Inggris), CEO SoftBank Masayoshi Son, dan dipimpin oleh Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan.

Selain Blair, dua tokoh lain terbilang mangkus secara fungsi.

Tapi Blair? “Jagat dewa batara!” begitu kiranya yang akan diucapkan masyarakat Majapahit bila mengetahui sesuatu di luar batas pemahaman mereka.

Mengapa urusan pembangunan ibukota anyar negeri keramat ini diserahkan "pengarahannya” kepada Tony Blair?

Tony Blair

Mari kita tinjau sejenak sepak terjang sosok yang satu ini.

Ia merupakan politikus Partai Buruh di Inggris, yang mulai menjabat sebagai PM pada 1997, menggantikan John Major.

Jabatan itu diembannya selama satu dasawarsa dan berakhir pada 2007 dengan digantikan oleh Gordon Brown.

Semasa memimpin, Blair membawa Inggris terlibat menginvasi Irak bersama Amerika Serikat pada 2003.

Invasi itu berujung pada Perang Irak dan pelengseran Presiden Saddam Hussein. Pemerintahan Saddam pun hancur-lebur, dan ia dieksekusi pada Idul Adha 2006.

Bersama Bush, Blair menginvasi Irak dengan tuduhan Saddam menyimpan senjata pembunuh massal. Tapi kemudian terbukti, senjata itu hanya isapan jempol belaka.

Blair mengaku salah dan melemparkan kesalahan pada laporan intelijennya. Puluhan ribu nyawa telah meregang akibat kepandiran yang telah ia lakukan.

 

Kendati demikian, tentara Inggris tetap bercokol di Irak hingga 2009. Menurut laporan para jurnalis perang, banyak kasus kejahatan yang mereka lakukan Inggris selama periode berdarah itu.

Dalam sebuah acara mengenang para tentara Inggris yang tewas ketika perang Irak, Blair dengan 'tebal muka' datang.

Seorang ayah dari tentara yang tewas di sana menolak menjabat tangannya dan berkata, "I'm not shaking your hand, you've got blood on it. I believe he's got the blood of my son and all of the other men and women who died out there on his hands. (Saya tidak mau menyalamimu, tanganmu berdarah. Aku yakin ia berlumuran darah putraku dan darah semua pria dan wanita lain yang mati di sana—di tangannya),” ujar Peter Brierley, ayah dari Shaun Brierley, tentara Inggris yang tewas dalam Perang Irak 2003, sebagai dikutip www.telegraph.co.uk, Selasa, 21 Januari 2020.

Pengkhianatan pada kemanusiaan

Sejauh yang kami amati, Pemerintahan Presiden Jokowi seperti limbung dan lepas kendali usai KH Maimun Zubair mangkat di Makkah, pada 6 Agustus 2019.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana rutinnya presiden menyambangi para ulama pinisepuh dari barisan Nahdlatul Ulama.

Tidak hanya itu, nama wakil presiden kita sekarang pun terbit dari arahan Mbah Maimun, pada suatu sore.

Sekarang, pemandangan menyejukkan begitu tiada lagi tampak. Pun sekadar melalui saluran komunikasi grup WhatsApp—yang terkadang tak muncul di media massa.

Kalangan Nahdliyin mulai mempertanyakan komitmen presiden terkait arah penyelenggaraan negara.

Setelah KH Ma’ruf Amin yang menjabat wapres, Habib Luthfi bin Yahya juga didapuk sebagai Dewan Penasihat Presiden.

Tapi nampaknya peran dua tokoh ulama ini belum terlihat nyata dalam gerak-gerik pemerintahan kita sekarang.

Kisruh BUMN beberapa waktu lalu, kemudian juga bisa menimbulkan polemik yang sangat mungkin menggelinding jadi isu nasional terbaru.

Betapa tidak. Duapuluh satu orang relawan kampanye Jokowi dulu, kini menduduki jabatan komisaris di BUMN. Belum termasuk Erick Thohir yang memegang jabatan Menteri BUMN.

Apa yang bisa kita cermati dari soal ini?

 

Apa lagi kalau bukan soal meritokrasi yang sangat digadang-gadang Jokowi ketika mengumpulkan suara menjelang pemilihan presiden medio 2014 dan 2019.

Ternyata politik bagi-bagi kue masih tetap menjadi kebiasaan laten di negeri ini.
Rekam jejak Tony Blair dalam invasi Irak 2003 pun seolah tak menjadi soal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah Jokowi.

“Ya itu bukan urusan kami. Pemerintah membutuhkan Blair agar ada figur internasional di tubuh dewan pengarah,” kata Luhut seolah negeri ini miliknya seorang.

Sudah tak adakah lagi sosok lebih mumpuni tinimbang seorang penjahat perang?

Sepanjang sejarah negara kita berdiri, baru kali inilah sosok dengan reputasi buruk rupa diangkat ke posisi sedemikian terhormat—yang jelas tak pantas ia duduki.

Njanur gunung

Orang Jawa punya istilah khusus terkait itu. Namanya njanur gunung. Perumpamaan ini bermakna sesuatu yang jarang sekali terjadi.

Jangka Jayabaya menyebutnya dengan, “Barang jahat diangkat-angkat (yang jahat dijunjung tinggi)/Barang suci dibenci (yang suci justru dibenci)/Akeh manugsa mung ngutamakke dhuwit (banyak orang hanya mementingkan uang)/Lali kamanungsan (lupa jati diri kemanusiaan)/Lali kabecikan (lupa hikmah kebajikan).

Padahal telah ditegaskan dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 bagian pembukaan alinea pertama dan keempat:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.

... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial ...

Dasasila Bandung

Selain mengkhianati UUD 1945, keputusan Perintahan Jokowi juga menabrak misi mulia yang dicanangkan Bung Karno bersama Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 18-24 April 1955, yang kemudian melahirkan Gerakan Non-Blok.

Konferensi Tingkat Tinggi yang dihadiri 29 Kepala Negara dan Kepala Pemerintah dari benua Asia dan Afrika yang baru saja merdeka tersebut -ditujukan untuk menandai dan mendalami segala masalah dunia waktu itu- lantas berupaya merumuskan kebijakan bersama negara-negara baru yang berdiri pada tatanan hubungan internasional.

KAA pun menyepakati 'Dasasila Bandung' yang dirumuskan sebagai prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan kerja sama antarbangsa.

Suatu pernyataan politik dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. Ada pun isinya adalah:

  1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)

  2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa

  3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil.

  4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain.

  5. Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB.

  6. Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain.

  7. Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu Negara.

  8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum) , ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.

  9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.

  10. Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional.

Dasasila Bandung mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan paham Dunia Ketiga atau “Non-Aligned” terhadap Dunia Pertama Washington, dan Dunia Kedua Moskow.

Jiwa Bandung telah mengubah juga struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Forum PBB tidak lagi menjadi forum eksklusif Barat atau Timur saja, melainkan ajang perkumpulan masyarakat global yang sama rata dan sama rasa.

Sayang, semua itu tinggal menjadi mimpi di siang bolong. Tak ada lagi spirit yang melawan kolonialisme-imperialisme ekonomi neo-liberal.

Negara bahari dengan sumber daya alam dan hayati sedemikian melimpah ini, hanya bisa menjadi pelayan bagi para penyandang modal dari negara miskin sumber daya—dengan membangun segala infra-suprastruktur ribuan triliun dari memeras keringat rakyatnya sendiri atas nama pundi-pundi pajak.

Bagaimana kita harus menyikapi ini?

Tenang saja. Kita sudah terbiasa hidup—bahkan tanpa merasakan kehadiran negara. Indonesia masih tetap ada bukan karena pemerintahannya becus mengurusi rakyat, namun rakyat lah yang dengan setia membantu negara menghidupi kebutuhanya sendiri.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi