KOMPAS.com- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar yang ditujukan bagi pendidikan tinggi.
Kebijakan tersebut diberi nama Kampus Merdeka.
Salah satu isinya adalah memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar program studi.
Nadiem menilai saat ini bobot SKS untuk kegiatan pembelajaran di luar kelas sangat kecil dan tidak mendorong mahasiswa untuk mencari pengalaman baru.
Terlebih di banyak kampus, pertukaran pelajar atau praktik kerja justru menunda kelulusan mahasiswa.
Namun rencana kebijakan mantan bos Gojek itu mendapatkan kritikan dari beberapa pihak.
Baca juga: Ini Rangkuman 4 Kebijakan Kampus Merdeka Mendikbud Nadiem
Karakter perguruan tinggi
Salah satu kritikan datang dari pengamat pendidikan Darmaningtyas. Ia menganggap bahwa Mendikbud Nadiem Makarim tidak memahami karakter perguruan tinggi.
Menurut Darmaningtyas Nadiem perlu memahami terlebih dulu karakter masing-masing perguruan tinggi di yang ada di Indonesia.
Perguruan tinggi di Indonesia, kata Darmaningtyas ada beberapa macam, yaitu politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas.
"Nadiem itu tidak paham tentang pendidikan tinggi yang beragam. Pendidikan tinggi itu ada politeknik, sekolah tinggi, institut, ada universitas," katanya kepada Kompas.com, Sabtu (25/1/2020).
Ia menyebutkan bahwa politeknik memang diharapkan menghasilkan lulusan yang langsung siap kerja.
Tapi hal itu menurut Darmaningtyas berbeda dengan universitas yang memang ditujukan untuk menyiapkan analis, konseptor serta pemikir.
Baca juga: Mendikbud Nadiem Luncurkan 4 Kebijakan Kampus Merdeka, Ini Penjelasannya
Karenanya, ia menilai bahwa desain pendidikan di setiap bentuk perguruan tinggi harus berbeda.
"Kalau politeknik memang diharapkan lulus langsung kerja seusai dengan bidangnya. Karena itu, pemagangan jadi sangat penting bagi kompetensi mereka," jelasnya.
Apabila konsep tersebut diterapkan, maka ia khawatir perguruan tinggi hanya akan melahirkan manusia-manusia pekerja, bukan manusia pemikir.
Sehingga akibatnya, Indonesia akan mudah ditipu oleh bangsa lain yang memiliki pemikir-pemikir handal.
"Kalau konsep itu dilaksanakan, justru nanti hanya akan melahirkan manusia-manusia pekerja, tapi enggak ada yang bisa berpikir. Akibatnya kita dikadalin bangsa lain yang punya pemikir-pemikir ulung," jelasnya.
Baca juga: Mendikbud Nadiem Makarim Mengaku Penggemar Netflix
Kembangkan fakultas sains dan teknologi
Dibandingkan dengan menerapkan konsep itu, Darmaningtyas menilai jika pengembangan fakultas-fakultas sains dan teknologi untuk saat ini lebih penting.
Sebab, saat ini universitas di Indonesia masih didominasi oleh fakultas sosial humaniora.
Selain itu, banyaknya perguruan tinggi abal-abal juga harus menjadi perhatian serius pemerintah.
"Intinya, yang harus diperbaiki itu universitas kita yang banyak fakultas-fakultas humaniora dan PTS yang abal-abal," tutur pria yang pernah menjadi pengurus Majelis Luhur Taman Siswa itu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.