Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wacana Kaji Ulang Pemilihan Langsung, Seberapa Besar Urgensinya?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI
Penyandang Disabilitas Mental Gunakan Hak Pilih secara langsung
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengumpulkan civitas akademika dari 9 perguruan tinggi di Indonesia untuk membahas sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang akan digelar serentak di 270 daerah pemilihan pada tahun ini.

Mereka diundang untuk membantu pemerintah melakukan riset akademis terkait evaluasi yang ingin dilakukan terhadap pemilu langsung.

Dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Jumat (7/2/2020), Mendagri menilai pilkada langsung memiliki sisi positif dan sebaliknya.

Selain berbiaya besar, pemilu langsung dianggap memunculkan konflik sosial berbasis identitas, masyarakat yang terbelah dan berpotensi mendatangkan kerawanan sosial.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Biaya tinggi Pilkada secara langsung telah berpengaruh pada kualitas tata kelola kepemimpinan di daerah," kata Tito.

Dengan catatan-catatan ini, ia ingin melakukan evaluasi terhadap efektivitas pelaksanaan pilkada langsung yang sifatnya berbasis pada kajian akademis.

Baca juga: Pilkada Langsung atau Tidak, Mau Dibawa ke Mana Demokrasi Kita?

"Oleh karena itu, memang sudah sepatutnya perlu diadakan evaluasi terhadap efektivitas dari sistem pilkada langsung. Namun, kami ingin evaluasi itu dilakukan secara akademis oleh pihak independen eksternal, yakni universitas," kata Tito.

Seberapa besar urgensinya menelaah kembali mekanisme pemilu langsung?

Direktur Center for Media and Democracy Wijayanto mengatakan, satu-satunya yang perlu diperbaiki dalam sistem demokrasi adalah kedewasaan berpolitik para pelakunya, bukan sistem yang sudah tertata.

"Kita telah punya prosedur atau institusi demokrasi yang cukup tertata, namun budaya demokrasi kita masih belum cukup matang," ujar Wijayanto, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (8/2/2020).

Misalnya, masih terjadinya politik uang untuk jual-beli suara dalam proses pemilihan.

Menurut dia, politisi yang mencalonkan diri dan masyarakat yang mau menerima 'pemberian' ini berada di posisi yang sama, belum dewasa dalam memaknai demokrasi.

Baca juga: Sebut Pilkada Langsung Sangat Mahal, Kemendagri: Anggaran Daerah Bisa Habis Setelah Pemilihan

Politik uang sebelumnya juga terjadi di era pemilu dengan sistem perwakilan.

Kandidat memberikan uang kepada anggota dewan yang memilih calon yang ada.

Demokrasi melalui sistem pemilihan langsung yang ada saat ini merupakan wujud dari kejengahan publik atas dugaan praktik politik uang di balik meja legislatif itu.

"Kini kita mendapati bahwa ternyata money politics tetap terjadi. Lantas banyak wacana yang minta balik ke sistem lama. Menurut saya itu bukan solusi," ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro ini.

Ia menekankan, tak ada jalan lain untuk memperbaiki demokrasi di Indonesia, selain mendewasakan para pelakunya.

"Tidak ada jalan pintas alias shortcut untuk membuat sistem pilkada langsung terhindar dari ekses negatifnya. Menurut saya sistem yang ada sudah cukup baik meskipun memang belum sempurna. Untuk membuatnya jadi sempurna dibutuhkan budaya politik yang dewasa," kata dia.

Baca juga: Tito Minta Polemik Pilkada Langsung dan Tak Langsung Dihentikan

Merujuk pada data indeks demokrasi sebagaimana dikeluarkan oleh The Economist akhir tahun lalu, budaya demokrasi yang masih belum dewasa ini menjadi poin penting yang menyebabkan skor akhir demokrasi Indonesia masih jeblok.

Untuk mewujudkan demokrasi yang ideal dan sehat, menurut Wijayanto, dibutuhkan dua aspek yang harus sama-sama dibangun yakni aspek institusional dan aspek kultural.

Pemilu secara langsung adalah contoh dari pranata institusional yang ada untuk mengalihkan kekuasaan secara damai dan demokratis.

Namun, tidak hanya itu yang dibutuhkan.

"Dia (demokrasi) juga membutuhkan budaya demokrasi sebagai institusi kultural. Dari sisi elite, budaya ini misalnya berupa kesediaan mematuhi aturan main, menghargai perbedaan pendapat, menerima kekalahan dengan legowo, menang dengan tanpa merendahkan lawan politik, dan sebagainya," kata Wijayanto.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi