Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik Pemulangan Eks Simpatisan ISIS dan Istilah "Eks WNI" dari Jokowi...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ANDREAS FITRI ATMOKO
Aktivis yang tergabung dalam Forum Selamatkan NKRI - DIY melakukan aksi damai di kawasan Malioboro, Yogyakarta, Jumat (7/2/2020). Dalam aksi itu mereka memberikan sikap menolak kembalinya kombatan ISIS ke Indonesia dan mendukung setiap langkah Presiden untuk mengambil keputusan politik dan hukum untuk menjaga keutuha NKRI.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Wacana soal pemulangan warga negara Indonesia yang menjadi simpatisan ISIS dan kini berada di Suriah sempat menjadi perbincangan beberapa pekan ini.

Terakhir, dengan tegas Presiden Joko Widodo mengatakan, pemerintah memutuskan untuk tidak memulangkan para pendukung ISIS di Suriah.

Selain itu, Presiden Jokowi menggunakan istilah "ISIS eks WNI" untuk menyebut pendukung ISIS yang berasal dari Indonesia.

"Pemerintah tidak memiliki rencana untuk memulangkan orang-orang yang ada di sana, ISIS eks WNI," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (12/2/2020).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana melihat sikap pemerintah dan pernyataan Jokowi dengan istilah "eks WNI" itu?

Pakar Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia Jawahir Thontowi mengatakan, sikap menolak pemulangan simpatisan ISIS ke Indonesia merupakan sikap rasional dan ekstra hati-hati dari pemerintah.

"Pengumuman penolakan eks ISIS WNI lebih merupakan sikap rasional dan ektra hati-hati pemerintah untuk lebih mengutamakan perlindungan terhadap keamanan 270 juta WNI," kata Jawahir kepada Kompas.com, Kamis (13/2/2020).

Baca juga: Jokowi: Pemerintah Tak Berencana Pulangkan ISIS Eks WNI

Dalam tingkat realitas politik, menurut Jawahir, pemerintah telah bersikap dinamis.

Alasannya, pemerintah tak hanya memiliki opsi untuk menerima anak-anak berumur di bawah 10 tahun, tetapi juga wanita yang tidak tergolong kombatan menjadi pertimbangan pemerintah.

Jawahir mengatakan, persoalan mengenai ISIS ini tak bijak jika direspons dengan penuh kebencian.

"Tak bijak ketika ada beberapa pakar dan elite politik yang melihat kasus ISIS dengan penuh kebencian dengan menyebut anak-anak dan perempuan WNI yang diduga jadi korban juga harus ditolak. Sesungguhnya berlawanan dengan sila Kemanusiaan yang Beradab," ujar dia.

Menyoal status WNI

Soal status WNI tersebut, Jawahir menegaskan, pemerintah tidak dapat memutuskan status kewarganegaraan secara sepihak.

Berdasarkan hukum nasional, undang-undang dan peraturan pemerintah, Indonesia seharusnya mempertimbangkan HAM internasional.

Sebab, Indonesia merupakan anggota PBB, bahkan sekarang anggota Dewan Keamanan PBB.

Ia berpandangan, warga Indonesia yang terlibat ISIS tak bisa langsung menghilangkan status kewarganegaraan tanpa melalui proses hukum.

"Pelanggaran dilakukan eks ISIS terhadap UU Indonesia tidak otomatis musnah status WNI kecuali ada proses peradilan secara terbuka. Tentu peradilan tidak harus di indonesia, boleh di luar negeri," ujar Jawahir.

Baca juga: Jokowi Pakai Istilah ISIS Eks WNI, Ini Penjelasan Istana

Jika eks anggota ISIS tersebut dikategorikan sebagai teroris, maka berlaku prinsip juridiksi universal.

Artinya, eks anggota ISIS yang juga teroris dapat diadili di pengadilan di luar negeri atau melalui Mahkamah Internasional.

"Dalam konteks inilah, penanganan ISIS tidak dapat hanya dibebankan pada satu negara, Indonesia, tetapi menuntut kekuatan multilateral," kata Jawahir.

Terkait pembakaran paspor atau simbol negara lainnya yang dilakukan eks ISIS tersebut, Jawahir menegaskan, hal itu tak bisa menghapus kewarganegaraan seseorang.

Tindakan tersebut masuk pada penghinaan terhadap negara.

"Memang perbuatan itu tergolong pelanggaran dan juga kejahatan atas negara. Tetapi lebih pada penghinaan terhadap negara," kata Jawahir.

Sementara itu, istilah ISIS eks WNI yang digunakan Jokowi dinilai Jawahir sebagai pernyataan yang multitafsir.

"Diksi tersebut masih multitafsir, kecuali pencabutan kewarganegaraan tersebut melalui mekanisme hukum peradilan, putusan yang inkrah," kata Jawahir.

Menurut dia, pernyataan Jokowi tersebut tidak bisa secara otomatis mencabut status kewarganegaraan WNI.

Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 Pasal 31, ada beberapa hal yang bisa membuat seorang WNI dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraannya:

a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri
b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu
c. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden
d. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia
e. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut
f. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalamm pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing
g. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya, atau
h. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia keapada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi