Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah di Tengah Virus Corona, Terinfeksi hingga Disebut 'Momen Chernobyl'

Baca di App
Lihat Foto
Twitter/Xinhua News via Business Insider
Foto yang diunggah media China Xinhua di Twitter memperlihatkan para perawat yang bertugas di Wuhan gundul. Mereka memangkas habis rambut mereka guna menghindari infeksi silang ketika merawat pasien virus corona.
|
Editor: Virdita Rizki Ratriani

KOMPAS.com - Virus corona masih terus mewabah dan meningkat jumlahnya. Hingga hari ini, Minggu (16/2/2020), total sebanyak 69.264 kasus infeksi virus corona COVID-19 telah terkonfirmasi di seluruh dunia.

Sementara, kematian akibat virus ini juga telah mencapai 1.669 orang dengan kasus kematian paling banyak di China.

Berbagai kisah pun hadir dari para korban ataupun penduduk negara-negara yang terdampak dari virus corona ini.

Salah satunya datang dari Liu Mengdi, salah satu penduduk yang berasal dari Wuhan, kota yang disebut sebagai pusat atau asal wabah virus corona baru ini.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Hari ini adalah hari keenam isolasi kota. Saya pikir, isolasi ini membuat keluarga saya tidak keluar rumah dan menjadi lebih aman," tulis Liu pada 29 Januari lalu dari Italia, tempat ia tengah menempuh pendidikan universitas. 

Melansir The Guardian, ayah Liu yang berusia 54 tahun mengalami gejala radang tenggorokan dan batuk selama lima hari dan dinyatakan positif terkena virus.

Sementara, kakeknya yang berusia 90 tahun, juga menunjukkan gejala yang lebih serius, demam tinggi dan kesulitan bernapas.

"Seluruh orang di keluarga saya sangat khawatir. Tapi kami percaya, bahwa segalanya akan baik-baik saja. Terima kasih kepada orang-orang yang telah berjuang melawan wabah ini. Terima kasih untuk orang-orang yang telah membantu kami," tulis Liu.

Namun, tiga hari setelah ia menulis, yaitu 2 Februari 2020, kakeknya meninggal.

Baca juga: Indonesia Negatif Corona, Langkanya Masker Wajah, dan Naiknya Harga Kebutuhan Pokok

Tidak ada bantuan

Keluarga Liu adalah satu dari banyak pihak yang harus kehilangan orang yang dicintai. Beberapa hari sebelum kakeknya meninggal, ia mengalami demam sepanjang malam dan jatuh dari tempat tidur.

Saat keluarganya memanggil ambulans, mereka diberitahu bahwa tidak ada gunanya untuk membawanya ke rumah sakit. 

Keluarganya pun menghubungi pengurus lingkungan setempat yang diberi tanggungjawab untuk melaksanakan pemeriksaan, karantina, dan transportasi ke rumah sakit. Namun, tidak ada bantuan. 

Bahkan, Liu sempat mengunggah cerita keluarganya di Weibo, memohon bantuan, dan juga mengontak media lokal.

Akhirnya, tenaga kesehatan datang ke rumahnya, mengambil sampel darah dari kakek Liu dan menyarankannya mencari tempat lain untuk melakukan tes diagnostik lengkap. Sebab, peralatan ini terbatas persediaannya di seluruh kota.

Namun, keluarganya disarankan untuk berhenti melakukan panggilan atau mengunggah permintaan bantuan dan hanya mengunggah pesan-pesan positif.

Baca juga: Virus Corona Gerus Ekonomi Singapura hingga 1 Persen

Bantuan datang terlambat

Para jurnalis dan teman-teman pun kemudian mencarikan rumah sakit di mana peralatan uji tersedia. 

Melihat foto dan video dari kakeknya yang telah dibawa ke rumah sakit setelahnya, Liu merasa lega. Namun, kakeknya meninggal sebelum diagnosis diperoleh. Tubuh kakeknya pun segera dikremasi setelah upacara singkat. 

Keluarga tidak diperbolehkan untuk datang atau mengumpulkan abu dari tubuh kakeknya. 

Sementara, ayah Liu telah berada di rumah sakit sejak 29 Januari lalu. 

Mengutip The Guardian, dokter mengatakan bahwa ayah Liu sangat ceria. Ia memberitahu bahwa ayah Liu akan membaik dalam waktu paling lama tiga minggu. 

Akan tetapi, tiba-tiba kondisinya menurun secara drastis. Tidak lama setelahnya, paru-parunya berhenti bekerja. Ayahnya harus menggunakan alat bantu untuk memompa dan mengalirkan oksigen ke darahnya. 
Baca juga: Cegah Virus Corona, Kebaktian di Beberapa Gereja Singapura Dilakukan Online

Liu berharap ayahnya dapat segera sembuh dan dapat ia ajak jalan-jalan ke Eropa untuk berasantai. 

Ibunya yang sendiri di rumah, dibawa untuk tinggal bersama saudara perempuannya. Ibu Liu sering menangis. 

Liu sendiri tidak dapat fokus pada studinya. Ia ingin pergi menemui keluarganya, tetapi ibu Liu mengatakan bahwa kondisi di sana tidak aman. 

Liu masih mengingat kakeknya dengan jelas.

"Saya tidak akan pernah melupakan alasan kakek meninggal. Saya tidak akan lupa tawanya. Saya selalu berdoa untuk kakek," tulis Liu saat kakeknya meninggal

'Momen Chernobyl'

Seorang spesialis politik China di University of California, Victor Shih, menyebut situasi ini sebagai 'momen Chernobyl'.

"Banyak orang kehilangan kepercayaan dan melihat ketidakmampuan pemimpin pada pemerintah China saat ini. Jika ini masalahnya, efektivitas kebijakan pemerintah akan menurun. Namun, hanya waktu yang dapat menjawabnya," ungkap Victor.

Baca juga: WNI di Singapura Tak Terlalu Khawatir di Tengah Wabah Virus Corona

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi