Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Viral soal Psikolog Abal-abal, Bagaimana Memilih Psikolog yang Benar?

Baca di App
Lihat Foto
Ilustrasi terapi psikologi
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Media sosial tengah diramaikan oleh isu mengenai dugaan praktik konseling psikologi seseorang yang dianggap tidak kapabel karena tak memiliki sertifikat yang mendukung.

Padahal, perlu diketahui konsultasi persoalan psikis dan mental harus dengan ahli yang mumpuni untuk mendapatkan solusi dan penanganan yang tepat atas setiap permasalahan terkait kondisi psikis seseorang.

Lantas, bagaimana mendapatkan psikolog yang tepat untuk berkonsultasi?

Ketua Ikatan Psikologi Klinis Indonesia Indria Laksmi Gamayanti mengatakan untuk psikolog klinis maupun psikolog dengan kepeminatan klinis telah diatur keberadaannya sesuai dengan aturan pemerintah.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sehingga seseorang yang membuka praktik psikolog klinis haruslah seseorang yang memiliki surat tanda registrasi.

Hal itu sesuai dengan Undang-undang Tenaga Kesehatan Nomor 36 Tahun 2014.

“Jadi kami harus punya surat tanda registrasi sebagai tenaga psikologi klinis. Kemudian kami juga harus punya surat izin praktek psikolog klinis yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan setempat,” terangnya saat dihubungi Kompas.com, Minggu (16/02/2020).

Selain itu, seorang psikolog juga diharuskan mengikuti kredensial untuk melihat kemampuannya melalui uji kompetensi yang dilakukan oleh Ikatan Psikolog Indonesia selaku organisasi profesi.

Peraturan peraturan pemerintah ini menurutnya ada untuk melindungi baik masyarakat yang dilayani maupun tenaga kesehatan yang melayani nya.

“Jadi saya kira masyarakat perlulah memilih psikolog- psikolog yang memang jelas,” terang Indria.

Baca juga: Kenapa Tawuran Masih Kerap Terjadi? Ini Penjelasan Psikolog

Surat tanda registrasi

Untuk melihat keaslian psikolog umumnya psikolog yang membuka paktik biasanya akan memasang STR (Surat Tanda Registrasi) dan surat izin praktek psikolog klinis di lokasi praktiknya.

“Kami dari IPK (Ikatan Psikologi Klinis) itu ada website-nya IPK Indonesia, di sana ada alamat dan juga nama-nama ketua IPK wilayah,” jelasnya.

Ia menyampaikan untuk masyarakat yang membutuhkan informasi bisa mengunjungi website IPK Indonesia serta bisa menghubungi sekretariat maupun ketua IPK wilayah yang ada di tiap provinsi.

Ruang lingkup masalah psikologis klinis sendiri, menurutnya adalah untuk permasalahan-permasalahan kesehatan mental, kepribadian dan gangguan perilaku.

Adapun, alur kerja seorang psikolog klinis ketika memeriksa seseorang yakni melalui tahap asesmen yakni berupa wawancara serta observasi klinis.

“Tidak asal observasi terus kita main melakukan adjudgement gitu, enggak. Jadi ada wawancara klinis, observasi klinis, kemudian jika diperlukan ditambah dengan psikotes,” terangnya.

Proses asesmen sendiri bermacam-macam, bisa dilakukan untuk asesmen kepibadian, atau asesmen untuk kondisi mental tertentu.

Beragam asesmen itu sendiri dilakukan sebagai prosedur awal.

“Setelah itu kita perlu merangkum apa yang terjadi pada orang ini, dinamika psikologisnya apa sampai orang seperti itu, baru kemudian kita rencanakan intervensinya,” terangnya.

Sehingga, ia menjelaskan pemeriksaan psikologis umumnya tidak bisa dilakukan satu jenis.

Dibutuhkan cek dan kroscek dari berbagai instrumen pemeriksaan.

“Nah kalau ternyata indikator atau aspek psikologis yang satu itu muncul terus, berarti ini relatif konsisten. Baru kita bisa mengatakan, ‘oh iya memang seperti itu’. Tapi kalau kemudian cuma lihat sekilas itu terus bilang ‘seperti itu’ kita kayak dukun,” kata dia.

Baca juga: Menurut Psikolog, Ini yang Akan Terjadi jika Seseorang Kecanduan Nonton Film Porno

Lantas apa perbedaan Doktor Psikologi dan Psikolog?

Ia menyampaikan Doktor Psikologi belumlah tentu seorang psikolog.

Doktor Psikologi adalah ilmuwan dan belum tentu ia seorang Psikolog kecuali ia yang linier mengambil pendidikan S1 Psikologi.

“Kalau psikolog pasti S1 nya itu juga psikologi. Kalau dia mau inline, S1, S2, S3, itu psikologi,” terangnya.

Ia menyampaikan seorang dari pendidikan science bisa mengambil S2 dan S3 psikologi akan tetapi mereka tidak bisa dipanggil dengan psikolog dan tidak bisa melakukan konsultasi.

“Tidak (boleh konsultasi). Yang boleh profesi,” terangnya.

Sehingga seseorang yang disebut dengan psikolog ialah ia yang mengambil S1 psikologi kemudian mengambil magister profesi.

“Kalau S1 dan S2 dari disiplin ilmu lain, bisa ambil psikologi. Tapi dia bukan psikolog tapi ilmuwan psikologi,” jelasnya.

Baca juga: 10 Universitas di Indonesia yang Masuk 200 Besar Terbaik Asia

Kapan seseorang konsultasi ke Psikolog, Psikiater atau Motivator?

Saat seseorang merasa cemas, tak termotivasi, merasa menjadi jelek sekali, menurutnya saat itulah seseorang bisa datang berkunjung ke psikiater maupun ke psikolog.

Ia menyampaikan psikolog dan psikiater pada dasarnya hampir sama dalam memberikan pelayanan akan tetapi pendekatannya sedikit berbeda.

“Psikolog klinis maupun psikiater sama-sama mempunyai tata alur kerja yang sudah terstandar dan untuk mencapai kesana butuh jenjang yang tidak sebentar,” terangnya.

Sementara menurutnya, datang ke motivator dilakukan saat seseorang lebih membutuhkan motivasi tanpa memiliki gangguan lain.

“Kalau motivator itu sebetulnya lebih diperuntukkan bagi orang-orang yang ingin meningkatkan diri tetapi tidak ada persoalan yang spesifik. Tidak ada gangguan, hanya mungkin dia ingin lebih dipompa semangatnya , dia ingin lebih termotivasi untuk melakukan sesuatu,” kata dia.

Hal itu berbeda apabila sudah ada gangguan kecemasan, kesedihan hingga ketidaknyamanan. Artinya ada sesuatu yang salah.

"Itu saya kira membutuhkan penanganan yang lebih mendalam karena menangani seperti itu kan perlu ada proses pemeriksaan atau asesmen,” lanjutnya.

Baca juga: Mengenal Beda Depresi dan Kesedihan

Dihubungi terpisah, dokter kesehatan jiwa, dr. Dharmawan mengatakan seseorang bisa berkunjung ke psikiater ketika diriya mengalami gangguan mental, pikiran perasaan dan fisik, susah tidur, nyeri kembung, tidur bekepanjangan atau mengalami was-was.

“Misal seseorang mengalami hidup berat sampai ingin bunuh diri, sesak nafas, sakit kepala, sakit pinggang, punggung nggak bisa makan bisa psikiater. Kan enggak harus gila ke psikiater,” terangnya.

“Kalau masalah berat tapi masih bisa makan, kerja, masih bisa tidur nggak ada keluhan fisik bisa ke psikolog dulu, ke psikolog klinis,” lanjutnya.

Selain itu Dharmawan juga menyampaikan untuk mengetahui seorang psikiater itu asli ia haruslah memiliki STR dan surat izin praktik.

“Kalau psikiater itu dokter ada STR ada surat izin praktik. Kalau dia praktik di rumah sakit atau klinik dia ada komite medik ada direktur dan komite medik yang menentukan dia boleh enggak praktik di situ. Tapi kalau dia praktik pribadi dia ada IDI yang mengeluarkan surat rekomendasi izin praktik,” jelasnya.

“Jadi kalau enggak malsuin, namanya bisa dicek di direktori IDI atau perhimpunan dr spesialis kedokteran jiwa,” lanjutnya.

 Baca juga: Selain Jiwasraya, Berikut 3 Kasus Gagal Bayar Asuransi Jiwa di Indonesia

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi