Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Beberapa Poin dalam RUU Ketahanan Keluarga yang Menuai Kritikan

Baca di App
Lihat Foto
Allizha Puti Monarqi
Koalisi Gerak Perempuan di Gedung Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (24/2/2020).
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang diajukan oleh DPR/DPD menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan. 

Hal itu karena rancangan undang-undang tersebut terdapat sejumlah regulasi yang dinilai banyak mengatur ranah privat seseorang dalam hubungan berkeluarga.

Salah satunya poin yang mengatur tentang kewajiban suami dan istri dalam pernikahan. 

Sementara lembaga kajian independen dan advokasi International for Criminal Justice Reform (ICJR) memiliki beberapa pandangan soal RUU ini yang perlu dikritisi. Berikut beberapa di antaranya: 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

1. Dinilai mengerdilkan peran agama

Menurut Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju, RUU Ketahanan Keluarga justru mengerdilkan peran agama dalam membimbing pembentukan fungsi keluarga yang dinamis.

Ia mencontohkan pada Pasal 16 ayat (1) yang menjelaskan kewajiban anggota keluarga untuk menaati perintah agama dan menjauhi larangan agama, menghormati hak anggota keluarga lainnya, melaksanakan pendidikan karakter dan akhlak mulia; serta mengasihi, menghargai, melindungi, menghormati anggota keluarga.

Atau contoh lain dalam Pasal 24 ayat (2) RUU ini menjabarkan kewajiban suami istri untuk saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.

"Aturan semacam itu selama ini sudah diatur dalam setiap agama, diyakini dan dijalani oleh pemeluknya," ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (26/2/2020).

Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Dianggap Terlalu Banyak Atur Ranah Etika

2. Diskriminasi gender

Selain itu dalam Pasal 2 huruf k RUU ini disebutkan ketahanan keluarga berasaskan non-diskriminasi, namun tidak tergambar dalam rumusan hak dan kewajiban suami istri dalam relasi perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25 ayat (2) dan (3).

Di sana, kewajiban antara suami dan istri begitu jelas dibedakan. Suami memiliki kewenangan menyelenggarakan resolusi konflik dalam keluarga, sementara istri lebih ada di ranah domestik.

Ranah domestik itu misalnya wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik mungkin, menjaga keutuhan keluarga, serta memperlakukan suami dan anak dengan baik.

"Upaya-upaya pengarusutamaan gender justru dikerdilkan dengan pengaturan kewajiban istri hanya dalam ranah domestik. Pemerintah Indonesia akan gagal menjamin perempuan dan laki-laki memiliki akses terhadap pembangunan yang sama," jelasnya.

3. Dianggap menghina kelompok tertentu

RUU UU Ketahanan Keluarga juga dinilai daapt menghina kelompok rentan orang miskin sebagai pelanggar hukum.

Sebab dalam RUU disebutkan orang tua yang gagal memfasilitasi pendidikan dan memberi kehidupan layak sesuai standar kepada anaknya, termasuk melanggar hukum.

Hal itu ada dalam Pasal 33, disebutkan keluarga wajib bisa memenuhi kebutuhan pangan, gizi dan kesehatan, sandang, dan tempat tinggal yang layak huni, mengikutsertakan anggota keluarga dalam jaminan kesehatan, dan menjaga kesehatan tempat tinggal dan lingkungan.

Sebuah keluarga juga wajib memiliki hunian dengan sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang baik, serta ketersediaan kamar yang dipisah antara laki-laki dan perempan untuk mencegah kejahatan seksual.

"Pengaturan ini jelas penuh stigma dan menghina orang miskin. Keluarga yang tidak mampu menyediakan kamar terpisah dianggap melanggar hukum dan tidak berupaya mencegah kekerasan seksual," ujar Anggara.

"Perumus RUU ini tidak mampu menguraikan konsep tentang hubungan negara dan warga negara dalam pemenuhan hak ekonomi sosial budaya," lanjutnya.

Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Dinilai Tak Perlu Ada

Dikaji ulang

Dengan beberapa catatan tersebut, pihaknya meminta Pemerintah mengkaji ulang RUU tersebut sebelum dilakukan pembahasan.

 

Dihubungi terpisah, Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati menyebut RUU ini juga tidak memiliki urgensi yang jelas, tidak ada kebaruan rumusan yang dicantumkan.

"Kalau soal urgensi menurut kami enggak ada, rumusannya enggak ada kebaruan, kalau pun ada kebaruan, kalau memaksimalkan pemenuhan hak hak kelompok 'yang katanya' dilindungi oleh RUU ya laksanakan UU yang ada. Misalnya UU Perlindungan Anak, menjamin pendidikan hak kesehatan reproduksi mudah diakses," kata Maidina saat dihubungi Kompas.com Rabu (26/2/2020).

Maidina menambahkan, RUU tersebut menurutnya juga salah memahami hubungan negara dengan warga negara dan aspek atau ruang spiritual. Sehingga ia juga mempertanyakan tujuan RUU tersebut.

"Misal mau melindungi anak, menguatkan peran keluarga, yang ngatur hal tersebut sudah ada," jelasnya.

RUU Ketahanan Keluarga saat ini telah masuk dalam Prolegnas 2020-2024 nomor 155 yang diajukan oleh DPR/DPD. Draf aturannya diajukan oleh 5 politisi dari partai Gerindra, PKS, Golkar, dan PAN.

Perkembangannya, pada 7 Februari 2020 lalu RUU ini telah masuk tahap harmonisasi di Badan Legislatif (Baleg) DPR.

Baca juga: Anggota Komisi VIII DPR: Sebagian Besar Fraksi Tolak RUU Ketahanan Keluarga

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi