Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi
Bergabung sejak: 7 Okt 2019

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Pemimpin Seperti Apa yang Kita Cari?

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi leadership.
Editor: Heru Margianto

Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti mendengar dua istilah leadership (jiwa kepemimpinan) dan leader (pemimpin), khususnya di ranah akademik, politik, atau suatu organisasi.

Namun, apakah sebenarnya makna keduanya dalam konteks yang lebih mendalam?

Sebagai makhluk sosial, manusia banyak berinteraksi dan berkaitan dengan orang lain karena secara alamiah manusia membutuhkan bantuan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu karena.

Alfred North Whitehead mengatakan, “Tidak ada satu orang pun yang meraih keberhasilan tanpa melibatkan bantuan dari orang-orang lain”.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demi tercapainya tujuan individu maupun kolektif manusia tidak boleh mengesampingkan keharmonisan hubungan antar sesama manusia karena setiap manusia memiliki peran dan kontribusinya masing-masing dalam suatu pencapaian.

Leadership

Sehingga, yang harus ditekankan adalah kita harus mengembangkan kualitas diri untuk memelihara hubungan tersebut, salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas kepemimpinan (leadership).

Pada dasarnya setiap manusia memiliki jiwa kepemimpinan dan potensi untuk menjadi pemimpin baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

Namun, sebagai mahluk sosial yang berkenaan dengan orang banyak, mereka yang terpilih sebagai pemimpin perlu memperhatikan kualitas leadership yang berorientasi pada kepentingan bersama dan tidak bersifat dominan.

Secara umum leadership merupakan salah satu aspek penting yang dimiliki manusia untuk berinteraksi dengan manusia lain, atau dengan kata lain keahlian atau kecakapan tertentu yang dimiliki seseorang untuk mengendalikan dan mempengaruhi banyak orang untuk meraih tujuan tertentu untuk kepentingan bersama.

Margi Gordon mengatakan bahwa leadership tidak melulu dikaitkan dengan kekuasaan (authority).

Leadership merupakan kemampuan individu dalam memobilisasi dan melibatkan dirinya dan orang lain untuk meraih cita-cita yang diidealkan bersama.

Dalam pandangan lain, leadership bisa juga berarti sebagai kemampuan individu dalam memotivasi dan mempengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu yang merangkul kepentingan orang-orang yang dipimpinnya.

Sedangkan kata leader (pemimpin) kerap dibandingkan dengan kata bos, karena kedua kosakata tersebut sama-sama memosisikan seseorang dengan atribut kekuasaan tertentu untuk mempengaruhi orang lain dalam satu kelompok ataupun organisasi, namun secara filosofis keduanya memiliki makna yang berbeda.

Seorang leader bersifat kolegial, mendengarkan pendapat orang lain, mengutamakan solidaritas dengan memperlakukan orang-orang yang dipimpinnya lain sebagai mitra kerja, memikirkan kerbelanjutan (sustainability), memberi penghargaan atas pencapaian bersama, dan membantu serta mengarahkan koleganya untuk mengembangkan potensi diri.

Sementara, seorang bos memosisikan dirinya sebagai seorang atasan, membuat batasan profesional dengan yang dipimpinnya, gemar menggunakan kata ‘saya’ ketimbang ‘kita’, memanfaatkan SDM, lebih melihat kepada pencapaian ketimbang proses, dan gemar mengatur orang lain daripada mengarahkan.

Model kepemimpinan

Leadership juga terkait dengan model kepemimpinan seseorang. Artinya, setiap individu yang mengasah aspek kepemimpinannya memiliki model kepemimpinannya masing-masing, antara lain model kepemimpinan yang karismatik, transaksional, dan transformasional.

Seseorang dengan model kepemimpinan karismatik boleh dikatakan beruntung karena tidak semua orang memiliki anugerah Tuhan tersebut.

Ia memiliki kekuatan karisma yang secara natural mampu menginspirasi dan membangun relasi emosional yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin. Contohnya adalah Soekarno, Dalai Lama, dan Mahatma Gandhi.

Sedangkan, seseorang dengan model kepemimpinan transaksional gemar menggunakan kekuasaannya untuk mencapai target yang diinginkannya dan bersifat top-down untuk mengendalikan orang yang dipimpinnya dengan memberi reward dan punishment.

Kebalikan dari itu adalah model kepemimpinan transformasional yang merupakan ragam kepemimpinan yang efektif karena mengutamakan pengelolahan relasi antara pemimpin dan yang dipimpinnya dengan menekankan harmonisasi antara perhatian (attention), komunikasi (communication), kepercayaan (trust), rasa hormat (respect) , dan risiko (risk).

Untuk membangun model kepemimpinan transformasional seseorang harus memiliki sifat kredibel, visioner, loyal, jujur, berintegritas, akuntabel, kritis, kolaboratif, negosiatif, kreatif, komunikatif, dan humanis karena kualitas-kualitas tersebutlah yang akan membentuk leadership yang kokoh namun inklusif.

Legitimasi

Namun, dalam konteks yang lebih luas lagi leadership kerap dilekatkan dengan legitimasi karena keduanya merupakan aspek integral yang saling berkaitan dan mendukung satu sama lain.

Legitimasi mengandung arti dukungan, penerimaan, dan pengakuan dari orang-orang yang akan dipimpinnya karena hal ini yang menjadi salah satu rujukan mengapa orang tersebut layak untuk dijadikan pemimpin.

Secara tidak langsung, legitimasi merefleksikan suara dari orang-orang yang akan dipimpinnya sehingga seorang leader yang memiliki legitimasi sangat paham terhadap kebutuhan orang lain dan tahu bagimana membuat keputusan dan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan bersama.

Namun yang problematis dari legitimasi adalah kesadaran penuh dari seorang leader untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kejujuran karena dalam kasus tertentu legitimasi bisa aja bersifat transaksional dan manipulatif dengan memanfaatkan kondisi-kondisi tertentu.

Beetham menyarankan bahwa kekuasaan yang diperoleh dari legitimasi harus memenuhi tiga kondisi.

Pertama, kekuasaan harus berpatokan pada aturan yang baku dan formal serta mengikat.

Kedua, aturan yang baku tersebut harus diakui dan dibenarkan dalam pandangan yang sama baik dari yang memiliki legitimasi maupun yang memberikan legitimasi.

Ketiga, persoalan legitimasi wajib dibuktikan karena terdapat suatu ekspresi persetujan dari pihak yang diperintah.

Singkatnya, leader, leadership, dan legitimasi merupakan tiga aspek sentral dalam memilih seorang pemimpin.

Jika terdapat ketimpangan, khususnya aspek legitimasi, maka segala bentuk perlawanan yang bersifat subversif dan berangkat dari ketidakadilan akan bermuara pada penolakan keras yang mengakibatkan keadaan kepemimpinan menjadi tidak kondusif.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi