Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 15 Mar 2016

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Loper Koran Jadi Jenderal, Cerita Pemimpin Akademi Militer

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Akmil.
Bersama Uskup Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko dalam peletakkan batu pertama Gereja Katolik Ign. Slamet Riyadi di Kompleks Akmil, Magelang.
Editor: Ana Shofiana Syatiri

Sebuah pesan masuk ke whatsupp saya pagi ini. “Pada tanggal 25 Februari lalu, diletakkan batu pertama pembangunan gereja Katolik di Akademi Militer, Magelang.” Demikian bunyi pesan yang juga disertai sebuah foto yang mengabadikan peristiwa itu.

Pesan itu berasal dari Mayjen TNI Dudung Abdurachman, Gubernur Akademi Militer sejak 24 September 2018 sampai sekarang. Rupanya, di dalam ksatrian Akmil, gereja yang ada dan digunakan para taruna taruni Kristiani untuk beribadah hanya gereja Protestan. Ini membuat saat beribadah, taruna umat katolik melaksanakan peribadatan di Kelas E. Begitu pula yang terjadi dengan umat Hindu.

Artinya, sejak didirikan pada 11 November 1957 sebagai sambungan Militaire Academie (MA) Yogya, Akademi Militer yang saat itu bernama Akademi Militer Nasional (AMN) tidak memiliki gereja Katolik. Untuk kurun waktu yang begitu lama, tentu ini sebuah pertanyaan besar.

Jenderal Dudung tak mau banyak berujar apa yang membuat ini sulit dilakukan sebelumnya. Alumni Akmil 1988 ini berpendapat, untuk meningkatkan jiwa nasionalisme serta membangun toleransi beragama bagi para taruna, sekaligus juga meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME, maka tempat peribadatan harus dibangun merata dan mewakili semua agama yang ada di Indonesia. Merata, tanpa diskriminasi terhadap agama minoritas.

Di dalam foto itu tampak Uskup Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko bersalam komando bersama Gubernur Akmil dalam seremoni peletakan batu pertama pembangunan Gereja Katolik Ignatius Slamet Riyadi di kompleks Akademi Militer.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjadi Tentara Indonesia yang Cemerlang

Peristiwa ini menjadi renungan buat kita. Inilah tolak-ukur utama seorang Tentara Nasional Indonesia yang sejati dan cemerlang. Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan bentang alam yang sangat lengkap, juga dihuni oleh warganya yang juga sangat beranekaragam.

Kita bineka sejak awal berdiri, bahkan jauh sebelum kemerdekaan itu diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Para calon pemimpin yang dididik di sini juga harus bisa memahami toleransi beragam yang mumpuni, karena selain agama mayoritas Islam, WNI juga terdiri atas umat Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.

Apa jadinya bila seorang pemimpin tidak toleran sejak masa remaja? Institusi pendidikan adalah salah satu agen pembentuknya.

Anda atau putra-putri Anda punya cita-cita menjadi militer Indonesia yang cemerlang?

Ini seperti rentetan peristiwa kebetulan, tapi kebetulan yang bermakna. Di bulan Februari ini, bulan pendaftaran awal para pemuda dan pemudi yang berniat masuk Akademi Militer (Akmil) di Magelang.

Ini termasuk lembaga pendidikan tinggi favorit di Indonesia. Setiap tahun ratusan ribu peminat mendaftar di kantor Komando Daerah Militer (Kodam) di seluruh tanah air, dan hanya kurang dari 300 orang yang masuk dan menempuh pendidikan 4 tahun sebagai taruna (2019).

Khusus tahun ini, Waaspers Kasad Brigjen TNI Agus Setiawan, S.E., mengatakan pada 29th Indonesia International Education Training Expo & Scholarship 2020 TNI AD akan menambah alokasi menjadi 17.264 prajurit, baik Tamtama, Bintara maupun Perwira, sementara tahun sebelumnya 2019, hanya merekrut 15.547 prajurit.

Catar (calon taruna) Akmil sebanyak 400 orang, Pa PK (Perwira Pajurit Karier) Reguler 130 orang, Pa PK Tenaga Kesehatan 110 orang, Caba PK (Calon Bintara Prajurit Karier) 3.500 orang, Cata PK (Calon Tamtama Prajurit Karier) 13.100 orang dan mahasiswa beasiswa sebanyak 24 orang,” urai lulusan Akmil tahun 1990 ini.

Loper koran jadi jenderal

Dunia militer Indonesia era kini bukan lagi berbasis kekuatan personil dan persenjataan semata. Tetapi, militer kini adalah militer 4.0, istilah yang dilontarkan oleh Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto pada peringantan Hari TNI 5 Oktober 2019 lalu.

Saya bersetuju, dalam setiap profesi ada teladan yang bisa menjadi panutan. Anak muda suka dan cepat menyerap cerita teladan. Tetapi, khusus di dunia militer, sangat jarang mendapat kisah teladan dari TNI yang masih aktif.

Tak lama lagi Penerbit Buku Kompas akan merilis buku seorang militer era sekarang, alumni Akademi Militer tahun 1988, yang kini Gubernur Akademi Militer.

Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman, yang saya perkenalkan di awal tulisan ini, lewat bukunya nanti tak segan membagi pengalaman dan karier militernya sejak ia taruna remaja, perwira remaja, sampai kini menyandang bintang dua.

Ia tipe pekerja keras. Sejak kecil usia 11 tahun, sudah ditinggal meninggal ayahnya yang PNS di lingkungan Bekangdam Kodam III/Siliwangi. Hal itu membuat Dudung kecil sudah membulatkan tekad menjadi tentara. Profesi yang selalu memanggil karena ia hidup dan tinggal di barak, juga profesi yang selalu diniatkan sebagai caranya meringankan ibunya mencari uang untuk pendidikan kedelapan mereka bersaudara.

Segala pekerjaan pernah dilakukannya untuk membantu ibundanya. Menjual kue tampah di perempatan Jalan Belitung di sekitar Kodam III/Siliwangi, sampai jadi pengantar (loper) koran ketika duduk di bangku SMAN 9 Bandung.

Dalam usia sebegitu belia, satu yang berbeda dengan anak-anak remaja seusianya, Dudung sadar hidup itu juga berisi kerja keras, tekad dan upaya yang tanggap untuk mengejar mimpi.

Apa yang tampak sebagai keberhasilan saat ini, sebetulnya hasil jatuh-bangun dan babak-belur yang lama dan dalam, yang orang lain tak pernah melihatnya. Pada sedikit orang, maka kepedihan hidupnya di masa kecil dan kepatuhan serta cintanya kepada kedua orang tua, justru menjadi pendorong semangatnya sampai ke titik tertinggi.

Itu yang tampaknya terjadi pada Jenderal Dudung yang akan saya perkenalkan ini. Semoga para calon taruna dan taruna militer Indonesia, bisa mengikuti jejaknya.

“Saya dibentuk oleh kepedihan hidup, doa yang tak putus dari Ibunda juga almarhum Ayah, didikan orangtua serta keluarga yang penuh kasih sayang dan tempaan keras Akademi Militer-Lembah Tidar...” kata ayah dua orang anak, dua putri dan satu putra ini dalam sebuah wawancara.

Akademi militer dan kisah tuturan alumninya

Kepemimpinan Militer -baik bentuknya maupun sosok pelakunya- sudah terlalu sering menjadi pertanyaan kalangan awam. Tetapi, jawabannya hanya bisa kita raba dan terka sendiri lewat mengikuti berbagai publikasi atau pemberitaan tokoh-tokohnya. Jarang kita memperoleh kesaksian, kiat atau bahkan kejadian nyata yang diceritakan ulang oleh pelakunya sendiri.

Bagaimana pula tidak menjadi tanda-tanya yang meluas, ciri khas kepemimpinan militer memang sangat khas, unik, tetapi juga tertutup dan hampir mustahil diketahui kalangan di luar ksatrian Akmil, Lembah Tidar.

Pelaku mumpuni kepemimpinan militer pun sangat terbatas. Mereka adalah kalangan militer yang berpredikat lulusan cemerlang yang ditempa lewat didikan khusus di Akademi Militer (Akmil) Magelang. Lembaga pendidikan militer nasional yang memang sangat sedikit membuka dan menceritakan seluk-beluk cara mendidik dan membangun karakter siswa didikannya, para Taruna Akmil.

Kisah tentang sebagian kecil para lulusan Akmil yang mendapat wewenang dan tugas menjadi pemimpin dalam tingkatan yang paling tinggi, misalnya para Panglima Komando Daerah Militer (Kodam), bisa kita baca satu-dua. Yaitu, ketika akhirnya kita ketahui kisah hidupnya sebagai tokoh militer nasional bahkan pemimpin nasional, ketika kisah itu sudah dibukukan.

Bila beruntung menemukannya, ada satu-dua contoh detailnya dikaitkan dengan apa yang pernah mereka terima sepanjang pendidikan di Akademi Militer, dan bagaimana itu memengaruhi cara memimpinnya.

Lulusan Akademi Militer yang paling berhasil dan sampai fotonya pun menghiasi hampir setiap sudut Akademi Militer Magelang, adalah Presiden ke-6 Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Pak SBY menulis buku SBY, Selalu Ada Pilihan untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang (Penerbit Buku Kompas, 2014), di penghujung masa kepresidenan keduanya.

Saya mencatat buku ini cukup mumpuni dalam menelusuri bentuk kepemimpinan militer yang dipelajari, ditapaki dan kemudian dikembangkan serta dibangun sejak Pak SBY ditempa di Akademi Militer dan lulus pada tahun 1973, sampai ia memimpin Indonesia tahun 2004-2014.

Loper Koran jadi Jenderal, Seni Kepemimpinan Militer Indonesia adalah jejak pengalaman hidup dan gaya memimpin Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman. Ia lulusan Lembah Tidar tahun 1988, 15 tahun setelah Pak SBY. Tentu saja menjadi sebuah tanda yang membedakannya cukup jauh.

Satu ciri khas Jenderal Dudung Abdurachman, yang juga ditandai oleh semua mantan anak buahnya, ia pemberani yang sabar, cinta anak buah, tetapi tegas tanpa harus marah-marah. Sering dalam kisahnya di berbagai medan tugas dengan bentrokan senjata, ia berada di garis depan.

Dalam buku ini ada kisah pertempuran di Jailolo, Maluku, yang ia harus merangsek ke garis depan untuk berunding dengan pemberontak. Anak buahnya bahkan berteriak saking ngeri denan kemungkinan komandannya diberondong peluru.

Mantan komandannya sejak ia perwira muda di Yonif 744/SYB Somodok, Timor-timur, juga mengenangnya sebagai perwira muda yang kreatif.

“Ia kecil, kurus, tetapi menawarkan membawa ransel saya yang beratnya 25 kilo,” kenang sang Komandan.

Ia juga ditakdirkan diberi kesempatan membentuk jiwa kepemimpinan dan cinta negara para perwira lulusan Akmil. Dalam wawancara kami, Pak Dudung menandai kesempatan sebagai “kepala sekolah” di almamaternya ini sejak November 2018, sebagai caranya mengaplikasikan gaya kepemimpinan yang dijalani di masa tugas teritorialnya sejak menjadi perwira remaja.

Bahkan, ayah tiga orang anak yang dua di antaranya hampir menjadi dokter ini, telah menekuni dan mencari gaya kepemimpinan ini sejak ia menjadi Wakil Gubernur Akademi Militer tahun 2015.

Seperti yang diungkapkannya kepada saya ketika buku ini baru mulai ditulisnya. “Saya dibentuk oleh keperihan hidup, doa yang tak putus dari Ibunda juga almarhum Ayah, didikan orangtua juga keluarga yang penuh kasih sayang dan tempaan keras Akademi Militer-Lembah Tidar...”. Ibu dan ayahnya lah motivasi hidup Dudung Abdurachman.

Menurut Gubernur Akademi Militer, perwira TNI Angkatan Darat dengan dua bintang ini, “Lakukan yang terbaik, dan tak lupa mendaras doa tak putus dalam setiap salat. Satu lagi, restu kedua orangtua, terutama Ibunda.”

Demikianlah cara Gubernur Akademi Militer ini, satu diantara 263 alumni Lembah Tidar 1988B yang telah meraih pangkat bintang ini, menjalani hidup dan karier militernya. Baru kurang dari 10 orang di angkatannya yang telah meraih pangkat Perwira Tinggi.

Pemimpin Militer di Era 4.0

Dalam sebuah wawancara, tentara asal tanah Pasundan ini pernah mengatakan, “Dalam jenjang organisasi TNI, kelompok yang paling sulit hidupnya, minimalis dalam pangan dan pakaian juga hiburan, adalah jenjang prajurit paling bawah. Para tamtama dan bintara. Padahal, merekalah ujung tombak TNI. Maka, apakah yang paling mereka harapkan dari komandannya? Meningkatnya kesejahteraan diri dan keluarganya.”

Lalu, untuk lulusan Akademi Militer di Era 4.0 atau sering juga disebut sebagai era global atau era milineal, bagaimana masyarakat awam atau para calon taruna Akmil memahami masa ini dan menyesuaikan kemampuannya dengan kebutuhan TNI di masa depan?

Ia menjawab, visi Akademi Militer sejak didirikan adalah "Menjadikan Akmil sebagai Center of Excellence yang dapat mewujudkan hasil didik yang profesional dan dicintai rakyat". Misi ini bukan sekadar jargon. Jangan dilupakan, inilah yang membuat TNI kita selalu disebut sebagai tentara rakyat.

Menurutnya, perbedaan visi Akademi Militer sekarang adalah pada aplikasi modern yang menjadi tantangan mereka bersaing dengan tentara-tentara di seluruh dunia. “Perang” mereka bukan lagi hanya adu senjata dalam arti sebenarnya. “Perang” di zaman mereka adalah menghadapi perang generasi ke-4. Ini sering diistilahkan sebagai (fourth generation warfare) atau lebih dikenal dengan “4 GW”.

Kemunculannya bersamaan dengan revolusi industri 4.0. “Perang” jenis ini merupakan transformasi dari tiga model perang sebelumnya, yaitu: Perang Konvensional, Perang Ideologi-Politik-Ekonomi-Sosial-Budaya (IPOLEKSOSBUD) dan Perang Teknologi atau Information Technology (IT).

Demikianlah, bila kita orang tua atau anak muda yang sedang memantapkan masa depannya, memilih kariernya, buku ini bisa menjadi tambahan semangat. Membaca kisah hidup orang lain, bukan cuma untuk sekadar tahu kisahnya, tetapi untuk digugu dan ditiru.

Seperti petitih yang menjadi pegangan kuat bagi Dudung Abdurachman sampai kini, kita pun dapat menirunya. “Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak bisa?”

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi