Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Virus Corona, Wabah Demam Berdarah, dan Analisis Para Ahli...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/RAHMAD
(Ilustrasi) Petugas melakukan pengasapan penuntasan Fogging memberantas nyamuk penyebab Demam Berdarah Deungue (DBD) di Desa Loh Kumbang, Muara Dua, Lhokseumawe, Aceh, Selasa (24/12/2019). Data bidang Pencegahan, Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan setempat menyebutkan, Januari hingga Desember 2019 jumlah kasus DBD mencapai 70 kasus dengan penderita meninggal dunia nihil, angka itu turun dibandingkan tahun 2018 yakni 97 kasus dengan satu orang meninggal dunia. ANTARA FOTO/Rahmad/foc.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com – Munculnya wabah virus corona yang bersamaan dengan wabah demam berdarah yang terjadi di wilayah Asia Tenggara menimbulkan kekhawatiran baru.

Kekhawatiran itu adalah tidak terdeteksinya virus corona yang justru terdeteksi sebagai demam berdarah.

Para ahli menilai ini menjadi tantangan baru bagi para pihak berwenang dan petugas kesehatan dalam mendeteksi kedua penyakit tersebut.

Baca juga: Cegah Penyebaran Corona, Saudi Berlakukan Denda Rp 1,9 M bagi Siapa Pun yang Menyembunyikan Penyakit

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan kekhawatiran tersebut dipicu adanya laporan pada 4 Maret yang dikeluarkan dokter di Singapura dalam jurnal medis The Lancet.

Penelitian tersebut menunjukkan adanya kesamaan antara penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti tersebut dengan Covid-19.

Laporan tersebut menyoroti bagaimana mereka yang menderita Covid-19 menghasilkan hasil positif palsu untuk demam berdarah.

"Penyakit dengue dan coronavirus 2019 (Covid-19) sulit dibedakan karena mereka berbagi fitur klinis dan laboratorium," tulis kelompok penulis dari Sistem Kesehatan Universitas Nasional Singapura, Rumah Sakit Umum Ng Teng Fong, dan Institut Kesehatan Lingkungan sebagaimana dikutip dari South China Morning Post.

Baca juga: Mengapa Pasien Suspect Corona yang Meninggal di RSUP Kariadi Harus Dibungkus Plastik?

Tes lanjutan

Laporan itu sendiri mengutip kasus adanya dua orang yang awalnya dinyatakan positif demam berdarah berdasarkan hasil tes serologis cepat, tetapi kemudian tes selanjutnya ditemukan ia ternyata positif Covid-19.

Pasien-pasien itu sendiri tak memiliki riwayat perjalanan ke daerah terpapar akan tetapi menunjukkan gejala seperti demam dan batuk.

"(Gejala) ini sangat umum dalam semua penyakit virus," kata ahli penyakit menular Leong Hoe Nam dari Rumah Sakit Mount Elizabeth Novena.

Menurutnya, pada dasarnya nyeri otot adalah gejala lain yang kerap ditunjukkan oleh mereka yang mengalami influenza, demam berdarah, Zika ataupun Chikungunya.

Menurut Leong, diperlukan adanya tes lanjutan sehingga ketika hasil tes demam berdarah kembali positif, dokter bisa menyimpulkan bahwa pasien memang mengalami penyakit tersebut. Apalagi jika pasien tinggal di wilayah rentan terjadi demam berdarah.

Jeremy Lim, seorang mitra praktik kesehatan dan ilmu kehidupan dari perusahaan global Oliver Wyman mengatakan bahwa virus Covid-19 bisa menjadi 'bunglon' pada tahap awal infeksinya sehingga kasus virus corona akan didiagnosis sebagai demam berdarah.

“Yang rumit adalah ketika orang datang ke dokter umum atau ke rumah sakit dengan gejala yang tidak spesifik, Anda sekarang harus khawatir tentang keduanya,” kata dia.

Baca juga: Berikut Mitos dan Fakta soal Virus Corona yang Perlu Diketahui

Tes Demam Berdarah

Lim  menjelaskan bahwa tes immunoglobulin untuk demam berdarah akan menunjukkan hasil positif karena terjadi lonjakan protein tertentu pada permukaan virus.

“Ini seperti kunci dan kunci, dan jika (virus) memiliki taktik yang cukup yang cocok dengan kunci, itu akan cocok. Untuk demam berdarah dan coronavirus, mereka memiliki taktik umum yang cukup sehingga Anda bisa mendapatkan hasil positif palsu,” lanjut dia.

Berdasarkan konfirmasi yang dilakukan SCMP, WHO menekankan bahwasanya demam berdarah dan Covid-19 adalah dua virus yang sama sekali berbeda.

Demam berdarah disebabkan oleh virus jenis flavirus sementara Covid-19 disebabkan virus dari keluarga coronavirus.

"Sementara gejala awal kedua penyakit bisa serupa, kita dapat membedakan antara keduanya ketika penyakit ini berkembang," kata WHO.

Menurut WHO keputusan untuk melakukan kedua tes sekaligus berada di tangan dokter dan didasarkan pada presentasi klinis maupun informasi pasien termasuk hubungan mereka dengan epidemiologis.

Asia Tenggara sendiri selama seminggu terakhir telah melaporkan adanya kasus positif virus corona.

Baca juga: 6 Hal yang Perlu Diketahui soal Virus Corona, Apa Saja?

Kekurangan alat tes

Dan beberapa negara di wilayah Asia Tenggara juga bergulat dengan wabah demam berdarah.

Menurut perkiraan WHO ada sekitar 390 juta orang terinfeksi demam berdarah di seluruh dunia setiap tahun.

"Meskipun ada risiko infeksi di 129 negara, 70 persen dari beban aktual ada di Asia," ujar WHO sebagaimana tercantum dalam web-nya.

Badan Lingkungan Nasional Singapura mencatat bahwa negara tersebut telah mencatat adanya 1.723 kasus demam berdarah dalam lima minggu pertama di tahun 2020.

Jumlah tersebut naik 63 persen dari periode tahun lalu.

Menurut Lim, prevalensi infeksi demam berdarah dan ketersediaan alat tes membuat penyakit ini lebih mudah dilakukan deteksi dibandingkan covid 19.

Adanya kekurangan alat tes, menurutnya hal tersebut bisa meningkatkan risiko pasien salah didiagnosis sebagai demam berdarah.

Baca juga: Berikut Perkembangan Terkini Kasus Virus Corona di 16 Negara Timur Tengah

Laporan Lancet menekankan mengenai pentingnya alat uji bagi virus corona yang terjangkau dan tersedia di seluruh Asia.

“Kami menekankan kebutuhan mendesak untuk tes diagnostik yang cepat, sensitif, dan dapat diakses untuk (Covid-19), yang harus sangat akurat untuk melindungi kesehatan masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Leong dari Rumah Sakit Mount Elizabeth Novena menilai Covid-19 menuntut kemampuan dokter dalam menganalisa.

“Demam berdarah memiliki sejumlah besar tanda dan gejala dan dokter harus menggunakan semua indera, pengalaman, dan logika untuk menanyakan apakah itu tipikal dengue,” ujar dia.

Ia juga menjelaskan bahwa tidak cukup menggunakan tes dengue sebagai satu-satunya pengujian dalam menentukan infeksi seseorang.

Menurut Lim, laporan Lancet adalah pengingat bahwa uji laboratorium tak selalu tepat 100 persen.

“Kita harus mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi ketika gambaran klinis tidak sesuai dengan temuan lab. Jika gejalanya berubah dan menjauh dari apa yang kita harapkan, maka kita harus kembali ke diagnosis pertama dan bertanya pada diri sendiri apakah itu bisa menjadi sesuatu yang lain," kata Lim.

 Baca juga: Adam Castillejo, Pasien Kedua di Dunia yang Dinyatakan Sembuh dari HIV

 
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi