Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 19 Mar 2020

Lebih dari 65 penghargaan film diraihnya dari berbagai festival international dan Indonesia. Karyanya meluas dari film, teater, dance hingga instalasi Art .

Garin mendapatkan penghargaan peran budaya tertinggi dari berbagai negara: pemerintah Perancis (Ordre des Arts et des Lettres), Italia (Stella D'Italia Cavaliere) hingga Presiden Indonesia dan Honorary Award Singapura International Film Festival, Life Achievement Award dari Bangkok International Festival, walikota kota Roma hingga Vaseoul - Perancis hingga kota Yogyakarta.

Tercatat sebagai pelopor generasi film pasca 1990. Selain berkarya, ia menumbuhkan beragam festival seni, menulis buku, kolom Kompas dan Tempo maupun menumbuhkan NGO untuk demokrasi.

Ia pengajar S2 dan S3 di ISI Solo dan Yogyakarta.

Corona Membangkitkan Tanya: Ada Apa dengan Alam Kita?

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi.
Editor: Heru Margianto


SUNGGUH sulit mencari tema tulisan di tengah krisis kemanusian berkait Corona. Beberapa hari ini saya membaca ulang catatan harian. Terasa, catatan perjalanan perlu saya tuliskan di kolom ini untuk merenungi kemanusiaan kita berkait alam

Maumere-NTT, 1992

“Saya tidak tahu Bapa, kenapa laut ikut campur ke daratan . Ataukah tempat mereka bermain telah kita ambil, kita tutupi dengan rumah-rumah dan hotel di negeri ini? Apakah alam marah?“

Percakapan itu terjadi beberapa hari setelah Tsunami setinggi 30 meter terjadi dan menewaskan sekitar 1.300 orang.

Percakapan yang terdengar sederhana namun memberi renungan panjang. Meski saya tahu, negeri ini dikelilingi 100 lebih gunung aktif dan terletak di lempengan bumi yang mudah goncang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meulaboh-Aceh, Maret 2005

“Alam begitu indah, memerah jingga, ikan-ikan berlompatan di sepanjang tepi pantai. Keindahan itu ternyata sementara, menjadi tragedi, tsunami menerjang . Apakah kita sudah tidak lagi bisa berkomunikasi dalam alam kita sebagai rumah kita? Kenapa kita tak mampu membaca tanda-tanda alam kita ketika kecanggihan teknologi justru bertumbuh pesat?“

Percakapan itu adalah ucapan penyair Aceh, Ibrahim Kadir, setelah tsunami. Ucapan yang kemudian menjadi nyanyian Didong.

Saya berada di Aceh seminggu setelah Tsunami. Melakukan perjalanan dari Wasur-Meureke-Papua langsung ke Meulaboh lewat perjalanan panjang yang menunjukkan luasnya negeri ini.

Jalan kaki dari hutan Wasur, naik mobil, pesawat dua kali dan naik helikopter dari Medan ke Aceh. Sebuah perjalanan membuat dokumenter atas permintaan John Hopkins University

Saya mendarat di tengah kehancuran kota dan mayat-mayat. Tsunami Aceh setinggi 30 meter yang muncul akibat gempa bermagnitudo 7,5 menewaskan sekitar 250.000 manusia.

Sekali lagi pertanyaan muncul: apa yang dikabarkan alam pada kita?

Jogja, September 2010

“Tadi malam batu batu gunung api berjatuhan di atas rumah, pohon-pohon bambu pecah berbunyi seperti petasan-petasan besar. Gemuruh letupan terasa di kepala . Tapi untuk apa Bapak setua ini mengungsi?

Ini sudah ketiga kali Merapi meletus sepanjang hidup Bapak. Kalau dulu Bapak mengungsi, Bapak bisa bercocok tanam dan membangun kampung baru. Sekarang kalau Bapak mengungsi di stadion rasanya seperti penjara. Tanah-tanah sudah tidak ada tempat untuk orang jadi sehat. Tanah-tanah sudah tertutup. Tanah juga tertutup untuk lahar. Mereka lalu menerjang ke mana-mana. Bapak di rumah saja.“

Ucapan Bapak Tua di kaki Gunung merapi ini sangat menyentuh. Kami tidak bisa memaksa mengungsi meski letusan gunung mendekati puncaknya.

Kami meninggalkan Bapak Tua itu di rumahnya. Rumah itu daerah siaga satu yang tidak boleh ditinggali.

Saya berjalan di kampung kosong dengan debu merapi setinggi mata kaki menutupi desa dan suara geluduk merapi terdengar semakin keras.

Catatan buku harian ini, memberi renungan panjang. Terlebih membaca kembali ucapan Bapak di hutan Wasur Papua di tengah Savana awal Maret 2004 ketika saya membuat film dokumenter.

“Bapak tahun 1995 ke sini merekam kanguru, hanya setengah jam masuk hutan. Bapak bisa melihat keindahan ratusan kanguru, rusa dan burung-burung berlari sekitar kita. Bahkan dulu di kota masih banyak rusa berkeliaran. Kini tiga jam masuk hutan masih sulit melihat Kanguru dan burung -burung. Kalau binatang tidak lagi punya tempat, bagaimana mereka bermain? Bagaimana kalau mereka sakit, ke mana mereka?“

Sesungguhnya, catatan-catatan harian di atas mendorong saya membuat karya panggung musikal “Planet, A Lament: Antara Kematian dan Kebangkitan Kemanusiaan“.

Kisah manusia yang selamat dari bencana alam yang harus menyelamatkan telur sebagai simbol planet keselamatan di tengah kemarahan alam dan wabah.

Sebuah migrasi manusia mencari keselamatan, mencari planet yang menghidupi dan memberi hidup manusia.

Ketika benda-benda mati ciptaan keserakahan manusia menutupi alam hidup, menjadikan alam dan isinya tak lagi punya ruang hidup untuk dirinya, baik ruang tumbuh maupun ketika sakit.

Karya ini premier Januari di Jakarta dan Februari untuk membuka Asia Topa- Melbourne dan segera World Tour .

Sebuah panggung ketika kita tidak bisa menjawab misteri alam, menjawab dengan kebersamaan kemanusiaan lewat lagu-lagu Lament, ketika duka dijadikan kebangkitan bersama dalam dialognya dengan alam dan penciptaan.

Sesuatu yang sering kita remehkan selama ini, terlebih Virus Corona konon dari kelelawar, bagian dari isi alam ini.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi