Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tetap Mudik di Tengah Pandemi Corona, Berikut Sejarah dan Asal-usul Mudik

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/EDDY HASBY
Para penumpang tengah berebut naik ke dalam kereta di Stasiun Senen pada 1994 silam. Hal itu dilakukan penumpang agar bisa mudik ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan merayakan lebaran bersama keluarga tercinta.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Mudik merupakan salah satu tradisi yang melekat kuat di kultur masyarakat
Indonesia, salah satunya bagi masyarakat Kabupaten Wonogiri yang sebagian
besar warganya merantau ke luar kota.

Tradisi pulang ke kampung halaman ini biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan dan Syawal.

Di tengah kekhawatiran akan infeksi virus corona yang semakin meluas, animo masyarakat untuk pulang kampung tidak tampak menurun tapi mengalami lonjakan yang signifikan.

Hal tersebut dapat dilihat dari data yang dihimpun oleh Terminal Giri Adipura Kabupaten Wonogiri sejak 15 Maret-1 April 2020 menunjukkan total bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) yang memasuki Wonogiri berjumlah 1.654 bus dan membawa 29.908 penumpang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah sendiri memang memutuskan untuk tidak mengeluarkan larangan resmi
terkait mudik.

Keputusan ini diambil saat rapat terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo, Kamis (2/4/2020).

Plt. Menteri Perhubungan Luhut Binsar Pandjaitan beralasan pemerintah tidak melarang mudik secara resmi karena ada kemungkinan larangan yang diterbitkan oleh pemerintah tidak akan diindahkan oleh masyarakat.

"Orang kalau dilarang, (tetap) mau mudik saja gitu. Jadi kita enggak mau (larang)," ucap luhut.

Sebagai sebuah kultur yang telah melekat lama di masyarakat mudik memang sulit untuk dilarang. Namun, sejak kapan sebenarnya tradisi ini bermula?

Sejarah mudik

Diberitakan Kompas.com, Rabu (6/6/2018), Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno mengungkapkan, mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.

"Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam," kata Silverio.

Pada zaman dahulu, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi Sri Lanka dan Semenanjung Malaya.

Oleh sebab itu, pihak kerajaan menempatkan pejabat-pejabatnya ke berbagai wilayah untuk menjaga wilayah kekuasaannya.

Di waktu tertentu, imbuhnya pejabat-pejabat tersebut akan kembali ke pusat kerajaan untuk menghadap Raja dan mengunjungi kampung halamannya.

Hal ini kemudian dikaitkan dengan fenomena mudik.

"Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri," kata Silverio.

Istilah mudik sendiri baru sering digunakan pada 1970-an.

"Mudik menurut orang Jawa itu kan dari kata Mulih Disik yang bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka menggelandang (merantau)," ujar Silverio.

Bagi masyarakat Betawi, mudik berarti "kembali ke udik"

Udik dalam bahasa betawi berarti kampung. Ketika orang Jawa hendak pulang ke kampung halaman, orang Betawi menyebut "mereka akan kembali ke udik".

Ungkapan ini kemudian mengalami perubahan kata dari "udik" menjadi "mudik".

Selain agar bisa berkumpul bersama sanak saudara di kampung halaman, para pemudik biasanya juga berziarah ke makam keluarganya untuk mendoakan sanak saudara yang telah tiada.

Lebih lanjut, Silverio memaknai terjadi perbedaan makna mudik pada zaman dahulu dengan sekarang.

Dahulu, mudik dilakukan untuk mengunjungi dan berkumpul dengan saudara.

Saat ini, menurutnya, perantau yang mudik sekaligus menujukkan eksistensi dirinya selama di perantauan.

Mereka yang balik atau mudik akan membawa sesuatu yang membanggakan diri dan keluarganya. "Cenderung wah," imbuh dia.

(Sumber: Kompas.com/Aswab Nanda Pratama | Editor: Inggried Dwi Wedhaswary)

Baca juga: Skenario Penggunaan Listrik Gratis untuk Pengguna Token dan Reguler

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi