Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Peneliti tata kelola pemerintahan
Bergabung sejak: 7 Mei 2018

Peneliti tata kelola pemerintahan pada lembaga Kemitraan/Partnership (www.kemitraan.or.id).

Pejabat Kita di Tengah Pandemi Virus Corona

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Petugas kesehatan memeriksa alat kesehatan di ruang IGD Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020). Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran itu siap digunakan untuk menangani 3.000 pasien. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Pool/aww.
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

DENGAN kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya, para pejabat dapat merumuskan strategi penanggulangan pandemi virus corona. Kenyataannya, pejabat kita memiliki reaksi berbeda-beda.

Setelah ramai pemberitaan mengenai deretan pejabat yang terkesan menganggap enteng dampak Covid-19 di Indonesia, jagat media sosial dihebohkan dengan beredarnya surat salah satu staf khusus (stafsus) presiden hingga menjadi trending topic di Twitter.

Surat dengan kop Sekretariat Kabinet dikritik karena berisi permohonan kepada kepala camat di seluruh Indonesia untuk mendukung program penanggulangan Covid-19 yang melibatkan perusahaan milik salah seorang stafsus presiden.

Meski stafsus tersebut telah meminta maaf secara terbuka, namun peristiwa tersebut telanjur meluas.

Dalam konteks tata kelola, terdapat dua kesalahan elementer.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertama, surat tersebut sarat dengan kepentingan pribadi maupun kelompoknya, dan berpotensi memberangus prinsip keadilan dalam pemilihan mitra kerja serta akuntabilitas dalam pelaksanaan program.

Kejadian ini menimbulkan pertanyaan di benak publik. Salah satunya, apakah anggota stafsus lain melakukan hal yang sama: mengusulkan kebijakan yang sarat konflik kepentingan?

Pertanyaan ini muncul karena sebagian stafsus aktif di perusahaan yang mereka miliki atau pimpin, meski sudah menyandang jabatan prestisius.

Baca juga: Ketika Stafsus Milenial Presiden Jadi Sorotan...

Khianat tugas mulia?

Praktik penggunaan pengaruh untuk mendapatkan keuntungan individu dan kelompok jamak terjadi sebelum reformasi.

Aturan di hampir semua sektor mulai dari sumber daya alam dan mineral, ekonomi, pertanian, kehutanan, jasa, dan lain-lain, dapat diterobos dengan "surat sakti" dari penguasa dan kroninya pada masa itu.

Tiga puluh dua tahun kemudian, publik jengah dan penghapusan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi salah satu tuntutan reformasi 1998. Faktanya, hingga detik ini korupsi jamak terjadi.

Demikian pula dengan penyalahgunaan wewenang dan jabatan masih saja dilakukan, sekadar untuk menambah pundi-pundi kekayaan, hingga memperlancar gerak-geriknya yang sarat kepentingan.

Selama keberadaanya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap memperkarakan pejabat yang memanfaatkan jabatan untuk mendapatkan keuntungan.

Kasus yang menimpa pimpinan DPD Irman Gusman, pimpinan PPP Romahurmuziy, menjadi sedikit dari contoh dan pelaku korupsi yang mendekam di penjara.

Pemanfaatan jabatan juga dilakukan oleh oknum pejabat, meskipun levelnya kecil-kecilan.

Sebelum kasus surat stafsus viral, netizen sempat heboh dengan beredarnya surat dari Sekretariat Jenderal DPR kepada kedutaan Indonesia di Amerika Serikat.

Isinya kurang lebih meminta agar disediakan fasilitas penjemputan dan pendampingan selama anak salah satu pimpinan DPR periode lalu, berada di negeri paman sam.Negeri Paman Sam.

Pada tahap ini, kesalahan kedua dilakukan oleh anggota stafsus.

Alih-alih menghapus praktik lancung konflik kepentingan -yang menurut Laode M Syarif, mantan Komisioner KPK, merupakan tangga menuju korupsi- salah satu stafsus presiden, dengan kemudaannya dan kebaruannya di lingkungan birokrasi, justru ikut terlibat dalam praktik jahat yang sudah berkarat.

Tindakan ini jelas mengkhianati harapan publik.

Keberadaan stafsus milenial diharapkan mampu menularkan integritas, dan mengusulkan perombakan sistem birokrasi yang tadinya karut-marut menjadi lebih terbuka, akuntabel.

Salah satunya dengan bantuan teknologi, di mana mereka ahlinya.

Baca juga: Belajar dari Kasus Stafsus Milenial Jokowi, Ini Dampak dan Pencegahan Konflik Kepentingan

Dengarkan publik

Terbongkarnya surat stafsus merupakan fenomena gunung es dari praktik konflik kepentingan yang selama ini membelenggu Indonesia. Hal ini tentunya merugikan masyarakat.

Praktik serupa juga berpotensi terjadi di Senayan saat ini, di mana 262 orang atau 45,5 persen dari total anggota DPR yang memiliki latar belakang pengusaha diberi mandat membahas dan mengesahkan RUU Cipta Kerja.

Bahkan, prosesnya seperti menegasikan kondisi darurat bencana nasional, menunjukkan praktik yang istilah Prof. Azyumardi Azra sebagai politik tuna-empati (pemberitaan Harian Kompas, 17/4/2020).

Alih-alih mencurahkan tenaga dan fikirannya untuk menyusun regulasi untuk penanggulangan, serta melakukan pengawasan terhadap penanganan pandemi, DPR justru mempercepat proses pembahasan draf Omnibus Law.

Padahal, pembahasan Omnibus Law dari awal mendapat penolakan luas dari publik.

Penolakan bukan tanpa dasar. Salah satunya karena draf disusun dalam waktu singkat dan menegasikan syarat utama penyusunan, yakni keterlibatan publik.

Selain itu, isi pasal-pasal yang ada di dalamnya dianggap merugikan kelompok pekerja. Bahkan, melansir pemberitaan Kompas.com, 25 Februari 2020, INDEF menyebut draft Omnibus Law menjadi yang terburuk sepanjang sejarah.

Kajian Madani Berkelanjutan juga menyebut aturan yang ada dalam draf berpotensi membuat tutupan hutan berkurang, meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, dan mengendurkan komitmen negara dalam menekan emisi gas rumah kaca (Harian Kompas, 16/2/2020).

Melihat sejarah dan polanya, praktik ini belum akan berhenti selama belum ada aturan jelas disertai sanksi tegas.

Untuk itu, dibutuhkan upaya serius dari segenap komponen negara, pemerintah hingga masyarakatnya.

Mengoptimalkan peran pencegahan yang ada di KPK, menjadi salah satu langkah yang dapat dilakukan.

Caranya, setiap calon pejabat negara di setiap level jabatan, termasuk stafsusnya wajib menandatangani pakta integritas untuk tidak memanfaatkan pengaruhnya, apalagi korupsi. Jika melanggar, otomatis diberhentikan, serta dipenjarakan jika terbukti merugikan keuangan negara.

KPK juga perlu membuat kurikulum pencegahan korupsi, termasuk di dalamnya penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan yang menjadi pedoman bagi setiap calon pejabat negara.

Hal ini perlu dilakukan karena banyak calon pejabat yang tidak memiliki pemahaman dasar seputar praktik yang dianggap menyimpang dan korup.

Di level kementerian/lembaga dan pemda, perlu membuat skema whistleblower system untuk menerima aduan dari publik dan aparaturnya seputar dugaan penyalahgunaan wewenang, jabatan dari orang berpengaruh.

Terakhir, perlu komitmen bersama dari para pemimpin negeri untuk memberikan contoh nyata, tidak memanfaatkan jabatan dan wewenangnya demi kepentingan pribadi dan golongan, termasuk partainya, sekecil apa pun.

Sementara, bagi publik, tetap kritis dan tidak segan memberi sanksi sosial di media sosial.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi