Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penelitian: Lansia yang Sembuh Corona Miliki Antibodi Lebih Tinggi dari Anak Muda

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi virus corona, gejala virus corona, isolasi mandiri, karantina
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com – Para peneliti di Shanghai, China melakukan penelitian terhadap terbentuknya antibodi pada pasien-pasien virus corona Covid-19 yang telah pulih.

Penelitian tersebut dilakukan oleh tim dari Universitas Fudan, Shanghai yang menganalisis 175 pasien yang telah keluar dari Pusat Kesehatan Masyarakat Shanghai.

Melansir dari SCMP, hasil penelitian itu menunjukkan pasien yang pulih memiliki tingkat antibodi virus corona yang berbeda-beda.

Para pasien yang sembuh terlihat telah memiliki antibodi, akan tetapi sepertiganya memiliki kadar antibodi yang rendah.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalam beberapa kasus, antibodi bahkan tidak dapat terdeteksi sama sekali karena antibodi yang terbentuk sangat rendah.

Menariknya, dari mereka yang memiliki antibodi kategori rendah adalah pasien sembuh yang berusia relatif muda.

Baca juga: Bagaimana Merawat Keluarga yang Jalani Isolasi Mandiri Covid-19? Berikut Tata Caranya..

Pasien lansia antibodi tinggi

Sedangkan mereka yang berusia lebih tua cenderung memiliki antibodi lebih tinggi.

Antibodi sendiri dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh dan memiliki struktur kimia unik untuk menghambat patogen tertentu.

Tugas dari antibodi dalam menghadapi virus corona adalah memotong protein pada pembungkus virus dan mencegahnya berikatan dengan sel manusia.

Kadar yang cukup rendah dari antibodi menjadikan pasien sembuh juga memiliki perlindungan yang rendah apabila ada infeksi ulang.

"Apakah pasien-pasien ini berisiko tinggi mengalami rebound atau infeksi ulang harus dieksplorasi dalam studi lebih lanjut," tulis tim dalam peneliti sebagaimana dikutip dari SCMP.

Studi pendahuluan

Penelitian ini merupakan studi pendahuluan dan masih perlu peninjauan peneliti lain.

Meski begitu penelitian tersebut adalah pemeriksaan sistematis tingkat antibodi pertama di dunia pada pasien yang pulih dari Covid-19

Baca juga: Ada 1.426 Kasus Baru Corona, Singapura Catatkan Infeksi Harian Tertinggi

Proses penelitian ini adalah dengan mengambil sampel darah dari pasien Covid-19 yang pulih dari gejala ringan.

Pengamatan pada penelitian ini mengecualikan pasien yang dirawat di ruang intensif lantaran pertimbangan mereka telah mendapatkan antibodi tambahan dari terapi plasma darah yang disumbangkan.

Adanya hasil yang menunjukkan sepertiga dari pasien sembuh dalam penelitian ini memiliki antibodi rendah dengan titer di bawah 500 cukup membuat para peneliti terkejut.

Kategori penelitian

Dalam proses penelitian, para peneliti membagi kelompok menjadi tiga kategori yaitu lansia (60-85 tahun), paruh baya (40-59 tahun), dan muda (15-39 tahun).

Peneliti juga mengukur kadar antibodi penetralisir (NAbs) dalam darah setiap pasien.

Hasilnya orang-orang dalam kelompok usia 60-85 tahun memiliki antibodi lebih tinggi tiga kali jumlah antibodi mereka yang berusia 15-39 tahun.

Dari penelitian itu, 10 pasien dalam penelitian memiliki antibodi yang sangat rendah hingga tak dapat dideteksi di laboratorium.

Baca juga: Ada 1.290 Kematian Baru karena Virus Corona di China, Apa Penyebabnya?

Para pasien yang tampak tak mengembangkan antibodi tersebut dimungkinkan karena adanya tanggapan antibodi lain dalam metode tubuhnya dalam mengalahkan virus.

“Tanggapan kekebalan lainnya termasuk sel T atau sitokin yang juga berkontribusi dalam penelitian,” catat para peneliti.

Sel T adalah jenis sel darah putih yang membantu dalam respon imun, dan sitokin adalah jenis molekul yang dilepaskan sel saat melawan infeksi.

Adapun, jumlah antibodi rendah bisa mempengaruhi herd imunity yang terbentuk serta resistensi terhadap penyakit di kalangan populasi umum.

Padahal kekebalan kawanan atau herd imunity dapat bermanfaat untuk menghentikan penyebaran.

“Ini adalah pengamatan klinis awal kami. Masih dibutuhkan lebih banyak data terkait kekebalan kelompok dari berbagai belahan dunia,” ujar Profesor Huang Jinghe, pemimpin tim, mengatakan pada hari Selasa sebagaimana dikutip dari SCMP (7/4/2020).

"Pengembang vaksin mungkin perlu memberi perhatian khusus pada pasien-pasien ini. Jika virus yang sebenarnya tidak dapat menginduksi respon antibodi, versi vaksin yang lemah mungkin juga tidak bekerja pada pasien ini,” lanjutnya.

Baca juga: Peneliti Cambridge: Virus Corona Covid-19 Diduga Menyebar sejak September 2019

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi