SEJARAH mencatat, perempuan tidak dapat dipisahkan dari tindakan diskriminasi, sejak zaman Kartini hingga kini.
Pasca-kemerdekaan Indonesia, pemerintah menyusun sejumlah aturan. Salah satunya meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU Nomor 7 tahun 1984.
Perjuangan Kartini dan perempuan-perempuan setelahnya membawa terang pada wajah perempuan Indonesia.
Tak sedikit prestasi yang ditorehkan. Para perempuan Indonesia menunjukkan mampu duduk di struktur pemerintahan. Dari lingkup terkecil, ketua RT, hingga lingkup nasional sebagai presiden.
Sebagian bergelut di bidang akademik. Ada yang menjadi peneliti hingga profesor, ada yang memilih bekerja di sektor formal maupun informal dan lain sebagainya.
Baca juga: Kartini dari Malang: Cerita Roos Nurningsih yang Menginspirasi Milenial Lewat Jamu
Regulasi yang tak melindungi perempuan
Pada sisi lain, masih ada sisi gelap di sebagian wajah perempuan. Sedikitnya, terdapat tiga rupa.
Pertama, regulasi belum mampu meminimalkan kekerasan terhadap perempuan.
Data Komnas Perempuan menyebutkan,kekerasan terhadap perempuan selama 12 tahun terakhir naik sebesar 792 persen.
Tujuh puluh lima persen di antaranya terjadi di ranah privat dengan korban terbanyak perempuan dan anak perempuan (2020).
Kedua, kebijakan dalam penanganan bencana juga belum mampu mengakomodasi kebutuhan perempuan.
Kajian Kemitraan dan Yayasan Sikola Mombine tahun 2019, menemukan, selain jumlah korban gempa di Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong lebih banyak perempuan, mereka juga mengalami derita pasca-bencana.
Dari menghadapi berbagai kekerasan (domestik dan seksual), ketidaknyamanan privasi di shelter pengungsian, beban ganda kehidupan keluarga, beban ekonomi yang sulit, hingga terbatasnya pemenuhan kebutuhan sanitasi.
Kondisi yang sama juga berpeluang besar terjadi pada saat pandemi corona melanda. Apalagi, banyak dari tenaga medis kita adalah perempuan.
Ketiga, regulasi belum mampu mengejawantahkan cita-cita Kartini 100 tahun lalu, yakni akses pendidikan setara.
Data Badan Pusat Statitisk (BPS) pada 2018 menunjukkan kemampuan melek huruf perempuan usia 15 tahun ke atas sebesar 93,99 persen dan laki-laki mencapai 97,33 persen.
Perbedaan angka melek huruf antara perempuan dan laki-laki semakin rendah seiring meningkatnya kesejahteraan.
Pada tingkat kesejahteraan terendah, perbedaan angka melek huruf perempuan dan laki-laki mencapai 6,21 persen. Sementara, pada tingkat kesejahteraan tertinggi, perbedaannya hanya 1,06 persen.
Data jenjang pendidikan tingkat SLTA ke atas, jumlah perempuan sebanyak 32,53 persen dan laki-laki sebanyak 37,70 persen.
Kondisi ini memprihatinkan, mengingat peran mereka semakin signifikan di masa pandemi corona, di mana setiap anak usia sekolah diwajibkan belajar dari rumah dan memerlukan bimbingan orangtua, terutama ibu.
Baca juga: Pesan Menteri PPPA di Hari Kartini: Mari Pantang Menyerah!
Perempuan di parlemen harus menjawab keraguan
Kuota 30 persen untuk perempuan di parlemen kemudian diakomodasi dalam berbagai regulasi, salah satunya UU Pemilu dan menjadikan keterwakilan perempuan di parlemen semakin bertambah jumlahnya.
Pada Pemilu 1999-2004, jumlah anggota perempuan di parlemen 9 persen (46 orang), kemudian bertambah menjadi 11 persen pada pemilu berikutnya.
Pada Pemilu 2009, jumlah perempuan di parlemen bertambah lagi menjadi 18 persen (103 orang), dan pada Pemilu 2019 bertambah menjadi 20,5 persen atau 118 orang.
Namun, peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen tidak sepenuhnya menjadi kabar gembira.
Mengapa?
Hasil kajian Puskapol UI (2019) menunjukkan, sebanyak 53 persen anggota legislatif perempuan di DPR RI memiliki latar belakang aktivis partai politik, baik sebagai pengurus partai maupun yang sudah punya pengalaman panjang dalam kompetisi pemilu.
Baca juga: Unjuk Gigi Kaum Perempuan di Parlemen, dari Anggota Termuda hingga Ketua DPR
Pada saat yang sama, mereka yang dikategorikan sebagai pengurus partai sebagiannya memiliki hubungan kekerabatan dengan elite partai.
Adapun 41 persen lainnya adalah mereka yang memiliki hubungan kedekatan, ataupun kekerabatan politik dengan elite partai maupun elite lokal.
Sisanya, 6 persen dari kalangan profesional yang baru pertama kali ikut dalam kompetisi pemilu.
Profil ini menimbulkan kecurigaan publik mengenai semangat afirmasi yang diperjuangkan selama ini ditunggangi oleh elite partai untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan dan menguatkan oligarki politik.
Jika memang demikian yang terjadi, maka berapa pun jumlah perempuan di parlemen tidak akan membawa perubahan signifikan.
Pada akhirnya, mereka harus tunduk pada keinginan kerabat yang memberikan kesempatan untuk menjadi wakil rakyat.
Agar tidak menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan publik, kecurigaan ini harus ditepis.
Perempuan di parlemen harus menjawab semua keraguan dengan kerja nyata, bersatu dan merumuskan agenda bersama di bidang pengarusutamaan gender.
Salah satunya dengan segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Selain jumlahnya yang kian bertambah, perempuan di parlemen periode ini memiliki modal besar lain, yakni dengan terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR, perempuan dengan rekam jejak mumpuni di isu perempuan dan pemerintahan.
Lebih dari seratus tahun lalu, Kartini, -yang notabene keturunan priyayi- menolak diam dan berjuang melawan ketidakadilan yang dialami perempuan pada zamannya.
Akankah mereka yang saat ini duduk di parlemen mengikuti jejak langkah Kartini, memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan?
Baca juga: Tiga RUU Ini Gagal Masuk Prolegnas, Diduga karena Minim Perempuan di Parlemen
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.