Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Buruh dan Bayang-bayang RUU Cipta Kerja

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/UMARUL FARUQ
Massa buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) berunjuk rasa di Jalan Frontage Ahmad Yani, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/3/2020). Mereka mendesak pemerintah pusat membatalkan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) dengan DPR dan menghentikan rencana pencabutan subsidi sosial, menurunkan harga kebutuhan pokok.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Hari Buruh Internasional diperingati pada hari ini, 1 Mei 2020.

Setiap peringatan Hari Buruh, hal yang menjadi perhatian adalah isu-isu soal kesejahteraan buruh.

Pada 2018, misalnya, isu yang menjadi sorotan adalah Peraturan Presiden (Perpres) No 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Saat itu, pemerintah diminta lebih ketat dalam membuat aturan tentang TKA untik melindungi eksistensi tenaga kerja Indonesia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tahun ini, di tengah kekhawatiran global akan ancaman krisis ekonomi akibat pandemi virus corona, polemik RUU Cipta Kerja masih terus bergulir menghiasai peringatan Hari Buruh.

Serikat buruh hingga mahasiswa ramai-ramai menyatakan penolakannya. RUU yang terdiri dari 79 undang-undang dengan 15 bab dan 174 pasal itu dinilai semakin memojokkan para buruh.

Sekjen Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ikhsan Raharjo bahkan menilai, RUU tersebut berpotensi menciptakan perbudakan modern.

"Semangat perbudakan modern itu sangat kuat terasa dalam draf yang kita semua bisa baca hari ini," kata Ikhsan, dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 5 Maret 2020.

Baca juga: Sejarah Hari Buruh di Indonesia, Dulunya Dilarang Kini Jadi Hari Libur Nasional

Kontroversi sejumlah aturan

Ada sejumlah aturan yang menjadi sorotan.

Pertama, ketentuan pengupahan dalam RUU Cipta Kerja yang berbeda dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam draf itu, penghitungan upah berdasarkan atas satuan kerja dan satuan waktu serta berpeluang menghapuskan penghitungan upah minimum kabupaten atau kota.

Kedua, ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan soal kontrak kerja yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Artinya, semua jenis pekerjaan sah untuk mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak.

Ketiga, penghapusan pasal-pasal yang mengatur outsourcing. Hal itu berpotensi menyebabkan semua pekerjaan bisa menggunakan sistem outsourcing.

Padahal, aturan soal outsourcing yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan sudah memiliki aturan turunan yang lebih spesifik dalam Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2019.

Keempat, dihapuskannya sanksi pelanggaran pengupahan yang ada dalam Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

Penghapusan itu semakin memperbesar celah perusahaan untuk mempekerjakan buruh dengan upah di bawah minimum.

Kelima, jaminan kesehatan yang tak lagi diatur sebagai kewajiban pengusaha di draf RUU Cipta Kerja.

Baca juga: Peringati Hari Buruh, FSPMI Akan Aksi di Medsos, Tolak Omnibus Law

Desak pembatalan

Dengan sejumlah permasalahan itu, banyak pihak mendesak pemerintah untuk membatalkan pembahasan RUU Cipta Kerja.

Desakan itu di antaranya disampaikan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) yang akan terus menggaungkan kampanye pembatalan tersebut.

Menurut Ketua Umum FBLP Jumisih, kampanye tersebut sebagai salah satu strategi supaya pemerintah segera mengambil sikap yang tidak hanya menunda klaster ketenagakerjaan.

Selain itu, Jumisih mengatakan, penolakan RUU Cipta Kerja juga sebagai upaya mendorong pemerintah agar fokus dalam penanganan pandemi Covid-19.

Senada dengan FBLP, Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos juga mendesak pemerintah dan DPR untuk membatalkan pembahasan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

"Sejak dari awal selain proses dan kemudian kontennya juga sangat bertentangan dengan konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar dan kemudian Pancasila," kata Nining, dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 9 April 2020.

Menurut dia, pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19 juga tidak tepat. Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah dan DPR fokus memutus mata rantai penularan Covid-19 terlebih dahulu.

Baca juga: May Day dari Perayaan Musim Semi hingga Hari Buruh Sedunia...

(Sumber: Kompas.com/Penulis: Sania Mashabi/Tsarina Maharani/Dian Erika Nugraheny/Achmad Nasrudin Yahya | Editor: Krisiandi/Kristian Erdianto/Bayu Galih)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi