KOMPAS.com - Pemerintah resmi melarang mudik Lebaran bagi masyarakat di tengah pandemi virus corona. Larangan tersebut mulai berlaku, Jumat, 24 April 2020.
Pada awalnya, larangan mudik berlaku bagi TNI-Polri dan ASN. Namun dalam perkembangannya masyarakat pun diminta untuk tidak mudik guna menekan penyebaran wabah virus corona.
Meski dilarang, masih banyak masyarakat yang nekat mudik. Tak hanya itu, bahkan ada yang sampai menyediakan jasa mudik ilegal.
Baca juga: Kenali Masa Inkubasi Virus Corona di Dalam Tubuh, Berapa Lama?
Dilansir Kompas.com Kamis (30/4/2020), bisnis jasa penyelundupan pemudik adalah angkutan mudik gelap yang dilakukan sejumlah oknum.
Penawarannya langsung melalui beberapa media sosial, seperti grub Facebook.
Beberapa waktu lalu juga sempat viral foto penumpang yang duduk di bagasi bus AKAP demi terhindar razia dan sampai ke kampung halaman.
Baca juga: Setop Penyebaran Virus Corona, Anggota dan PNS Polri Dilarang Mudik
Baca juga: Kenali Tanda dan Gejala Infeksi Virus Corona pada Anak-anak
Lalu mengapa muncul jasa mudik ilegal di Indonesia?
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono melihat ada 2 bentuk ekspresi dari jasa mudik, yaitu:
- Jasa mudik yang terkait dengan ekonomi pasar
- Jasa mudik yang terkait dengan ekonomi moral
Adapun yang terkait dengan ekonomi pasar artinya penumpang membayar untuk bisa naik angkutan truk, sembako, obat-obatan, atau angkutan yang berselang.
Angkutan berselang maksudnya hanya perjalanan pendek seperti Solo-Sragen, Ngawi-Madiun, dan lain-lain.
"Artinya jasa mudik ini ada karena kebutuhan dari masyarakat dan jumlahnya cukup besar, serta mereka (penyedia jasa mudik) punya kesempatan untuk mensuplai kebutuhan itu maka terjadilah jasa mudik," ujar Drajat pada Kompas.com, Kamis, (30/4/2020).
Baca juga: Simak, Ini 10 Cara Pencegahan agar Terhindar dari Virus Corona
Bersifat ekonomi moral
Tapi ada juga jasa mudik yang sifatnya ekonomi moral.
Hal itu terjadi ketika orang-orang yang memiliki kendaraan dimintai tolong untuk menumpang oleh para pemudik.
Para pemudik tidak ditarik biaya karena pemilik kendaraan merasa empati terhadap kebutuhan kultural yang harus dipenuhi.
"Sepertinya kalau ekonomi pasar agak sulit dihentikan karena itu mengandung efek bisnis. Itu akan terus mencari jalan keluar dan inovasi bisnis," katanya.
Baca juga: BKN Keluarkan Surat Edaran, Ini Sanksi untuk PNS yang Nekat Mudik
Bagaimana menghentikannya
Cara menghentikannya, yakni harus dengan government control atau kontrol pemerintah. Jadi dengan cara polisi menegakkan aturan, dengan penangkapan.
Ekonomi moral meskipun juga sulit, tapi bisa dihentikan dengan nasihat moral. Misalnya para tokoh agama maupun budaya mengingatkan untuk tidak membuat jasa mudik.
Menurut Drajat kedua hal itu harus dibedakan, karena kondisi keduanya bisa berkembang secara bersamaan.
Sejarah mudik
Diberitakan Kompas.com, Rabu (6/6/2018), Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno mengungkapkan, mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.
"Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam," kata Silverio.
Pada zaman dahulu, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Oleh sebab itu, pihak kerajaan menempatkan pejabat-pejabatnya ke berbagai wilayah untuk menjaga wilayah kekuasaannya.
Di waktu tertentu, imbuhnya pejabat-pejabat tersebut akan kembali ke pusat kerajaan untuk menghadap Raja dan mengunjungi kampung halamannya. Hal ini kemudian dikaitkan dengan fenomena mudik.
"Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri," kata Silverio.
Baca juga: Tetap Mudik di Tengah Pandemi Corona, Berikut Sejarah dan Asal-usul Mudik