Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 21 Nov 2018

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Agar Penjara Tak Jadi Pusat Pandemi Covid-19

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/BASRI MARZUKI
Sejumlah warga binaan yang memenuhi syarat pembebasan berjalan keluar melewati pintu besi di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIA Maesa, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (2/4/2020). Kemenkum dan HAM mengeluarkan dari penjara 30.000 tahanan dewasa dan anak di seluruh Indoensia lebih cepat dari masa hukumannya dengan proses asimilasi dan integrasi di rumah untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Editor: Heru Margianto


COVID-19 adalah pandemi yang nyaris melumpuhkan dunia sekarang. Clear and present danger. Segala hajatan besar, semisal olimpiade, kompetisi liga sepak bola, semuanya, apa boleh buat, harus ditunda. Termasuk ibadah haji tahun ini, ditiadakan.

Masalahnya, Covid-19 menyebar ke mana-mana melalui interaksi manusia. Segala bentuk kesopan-santunan atau simbol interaksi, seperti jabat tangan, berangkulan dan ciuman, harus dinihilkan dulu. Mengobrol dekat pun dilarang.

Pendeknya, hidup menjadi renggang. Seluruh pemerintahan di dunia menganjurkan rakyatnya untuk menjauh dari keramaian, menghindari kerumunan, bahkan berdiam di rumah berpekan-pekan lamanya.

Ironinya, hingga kini, vaksin pencegahan dan obat penyembuhan, belum ditemukan untuk dipakai secara massal.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Maka, satu-satunya yang dapat dilakukan umat manusia adalah berusaha memutus mata rantai penularan virus dengan cara menjaga jarak satu dengan yang lain, hidup dengan gaya hidup sehat, dan menjaga imunitas tubuh.

Sekolah-sekolah diliburkan, kantor-kantor ditutup dan para pegawai bekerja dari rumah, bahkan umat beragama kini diminta untuk beribadah di rumah. Semua berpacu dengan waktu.

Risiko di Lapas dan Rutan

Sayangnya, segala imbauan untuk menghindari kerumunan dan menjaga jarak itu tidak selamanya dapat diterapkan.

Di lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan), misalnya, bagaimana mungkin menjaga jarak di ruang-ruang tahanan dan lembaga pemasyarakatan kelebihan penghuni?

Kini di seluruh negeri, rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan kita sedang dihuni lebih 170 ribu orang, sementara kapasitas hanya sekitar 90 ribu orang.

Karena itu, di tengah pandemi Covid-19, penjara jadi tempat yang sangat berisiko. Ada banyak penjara yang tak layak huni lantaran kelebihan kapasitas. Physical distancing mustahil diterapkan.

Tak heran jika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak pemerintah-pemerintah negara di dunia untuk membebaskan narapidana berisiko rendah.

Itulah sebabnya, Jerman, Iran, Kolombia, Italia, Turki, dan negara-negara lain serentak memilah para narapidana dan membebaskan mereka demi menekan laju penularan Covid-19.

Di Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Surat Keputusan Menkumham itu segera diikuti dengan pembebasan lebih dari 38.000 narapidana yang memenuhi syarat dari berbagai lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.

Syaratnya: telah menjalani 2/3 masa pidana pada 31 Desember 2020 mendatang bagi narapidana dan telah menjalani 1/2 masa pidana pada 31 Desember 2020 mendatang bagi anak.

Ketentuan ini tentu saja dengan pengecualian, yakni tidak berlaku bagi narapidana tindak pidana luar biasa seperti teroris, narkoba dan korupsi, sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.

Kini, segala niat baik dan ikhtiar mengerem penyebaran Covid 19 melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM tersebut, disoal lagi. Malah ada sejumlah kelompok masyarakat yang membawa SK tersebut ke pengadilan.

Apa yang salah dengan kebijakan itu?

Cara pandang

Tidak ada yang salah dengan kebijakan pemerintah tersebut. Yang keliru adalah cara pandang kita.

Jalan pikiran sebagian orang, khususnya yang protes, justru itu yang harus dibenahi secara asasi. Ada yang menolak kebijakan tersebut karena ada narapidana yang baru saja dilepaskan, langsung berbuat kriminal lagi.

Terminologi residivis, narapidana kambuhan, sudah ada sejak dari dulu, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, apalagi masa Covid 19 sekarang.

Lagi pula, orang yang ditangkap karena menjadi residivis, hanya 39 orang, dibanding yang dikeluarkan, 38 000 orang. Persentasenya sangat sedikit.

Maka, sangat tidak logis bila menyoal kebijakan pelepasan napi tersebut dengan alasan adanya residivis. Ada atau tidaknya Covid 19 yang menjadi alasan pembebasan tersebut, residivis selalu ada. Itu terjadi di mana-mana di dunia ini.

Kebijakan Menteri Hukum dan HAM ini, justru seyogianya diacungi jempol. Ia memberi langkah konkret untuk menghilangkan kekhawatiran dan menihilkan kecemasan atas pengembangbiakan dan penularan Covid-19 secara massal dan cepat.

Ada sekitar 170 ribu penghuni lapas dan rumah tahanan di seluruh Indonesia sekarang.

Dengan mengeluarkan 38 ribu orang, dengan mudah kita nujum, tingkat kerumunan di dalam, telah mengalami penurunan drastis. Ruang gerak sudah mulai luas. Kesumpekan terurai. Keterhimpitan sudah mulai longgar.

Bukankah itu semua menjadi faktor penyebab berkecambahnya Covid-19?

Yang lain membangun alibi. Mereka dikeluarkan, berarti mereka akan potensial mengembangbiakkan virus di rumah dan lingkungannya.

Sebesar besarnya anggota keluarga di rumah, jumlah penghuni sebuah rumah, tidak pernah berpuluh-puluh.

Di dalam LP atau tahanan, manusia satu bisa berinteraksi dengan ratusan, bahkan ribuan orang dalam lingkup ruang yang sempit.

Apakah ada jaminan, mengeluarkan mereka berarti mata rantai penyebaran Covid 19 bisa dicegah?

Tentu tidak ada jaminan, tetapi ada harapan. Ikhtiar itu jauh lebih mulia dari pada kepasrahan. Ikhtiar jauh lebih suci daripada sekedar mengkhayal, lalu menggerutu.

Saya pun teringat ajaran guru mengaji saya ketika saya masih di sekolah dasar di kampung. “Niat baik itu adalah bagian dari keimanan,” katanya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi