Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sesepuh Sebut Karma Baik, Apa Penjelasan Rendahnya Kasus Covid-19 di Bali?

Baca di App
Lihat Foto
Kemdikbud
Tari Legong, ciri khas daerah Bali.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Pandemi virus corona Covid-19 mendera hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.

Wabah ini pertama kali dilaporkan di Wuhan, China dan kemudian kemudian menyebar ke berbagai negara-negara lainnya di belahan dunia.

Bali, merupakan kawasan wisata yang menjadi destinasi favorit wisatawan mancanegara saat mengunjungi Indonesia. Wisman dari berbagai macam negara bisa dengan mudah ditemui di sana.

Ada 900.000 turis asing hingga Februari

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Bali mencatat pada Januari 2020, total warga negara asing yang masuk Bali mencapai 542.230. 

Dari jumlah tersebut warga China mendominasi dengan jumlah 113.646. Kemudian, diikuti Australia sebanyak 105.575 dan India 30.324. Selebihnya berasal dari Rusia, Korea Selatan, Inggris, hingga Amerika Serikat.

Baca juga: Bali Jadi Pulau Paling Populer di Dunia

Kemudian pada Februari 2020, jumlah warga asing yang masuk ke Bali turun menjadi 367.107 orang. Tiga besar negara lainnya yakni Autralia 80.077, India 30.056, dan Jepang 22.688. Sementara warga China yang ke Bali pada Februari jumlahnya 4.820 orang.

Namun meskipun banyak dikunjungi wisatawan asing termasuk dari China, angka kasus Covid-19 di Pulau Dewata itu terpantau cenderung rendah jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.

Kasus virus corona 237 positif

Berdasarkan data Pemerintah melalui laman covid19.go.id per Minggu (3/5/2020) total kasus di Bali ada di angka 237, jauh di bawah DKI Jakarta yang mencapai 4.397 kasus. Angka kematian juga masih ada di angka yang relatif rendah, yakni 5 kasus, sementara lebih dari 120 kasus telah dinyatakan sembuh.

Padahal, sebelumnya Bali diprediksi akan menjadi salah satu titik persebaran terparah Covid-19 di Indonesia. Lalu, apa penjelasan yang dapat disampaikan untuk kondisi ini?

Dikutip dari Aljazeera, Sabtu (2/5/2020) tanda-tanda penyebaran masif virus corona di Bali tidak begitu terlihat meskipun setelah muncul pelarangan wisatawan asing. Kehidupan di ibu kota Provinsi, Denpasar, juga berlangsung dengan normal.

Baca juga: Kunjungan Turis Asing ke Bali Anjlok Hampir 100 Persen

Berbagai pendapat mengemuka

Dalam diskusi yang muncul, ada pendapat yang menyebutkan imunitas penduduk dan sisi mistis dari pulau itu yang membuat Bali minim kasus Covid-19.

Pimpinan Masyarakat Hindu Indonesia, Gede Wanasari mengatakan Bali bisa selamat karena karma baik dan doa-doa yang dipanjatkan masyarakatnya.

Dia juga menyebut masakan tradisional masyarakat Bali banyak terbuat dari bahan-bahan herbal yang baik untuk meningkatkan kekebalan tubuh.

Sementara dari perspektif medis, Ahli Epidemiologi dari Universitas Padjadjaran, Dr. Panji Hadisoemarto tidak menampik imunitas masyarakat Bali berperan besar dalam menahan persebaran penyakit di pulau itu.

"Ketika Covid-19 pertama kali diidentifikasi di Wuhan, saya pikir Bali akan menjadi salah satu tempat pertama yang terkena dampak paling parah, karena semua turis China (ada di sana)," kata Panji.

"Saya salah, dan saya mulai mempertanyakan asumsi di balik model-model ini karena laju penularannya jauh lebih rendah dari yang diperkirakan. Tetapi pertanyaan sebenarnya adalah, apakah ini benar atau hanya pelaporan yang kurang valid?" lanjutnya.

Diketahui, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang paling sedikit melakukan pengujian sampel untuk melacak keberadaan virus di tengah warganya.

Baca juga: Benarkah Bali Miliki Kekebalan Misterius terhadap Virus Corona? Ini Penjelasan Ahli

Tak ada tanda-tanda darurat kesehatan

Di Rumah Sakit Universitas Udayana, Aljazeera yang melakukan kunjungan pekan lalu tidak menemukan keberadaan pasien yang berada di luar ruang perawatan.

Pun di RS Sanglah, rumah sakit terbesar di pulau itu, ada 9 orang terlihat menunggu namun semuanya tidak menunjukkan gejala-gejala penderita Covid-19 seperti batuk kering.

Sementara itu, penggali kubur di Pemakaman Muslim Kampung Jawa dan Krematorium Taman Mumbul, salah satu pemakaman terbesar di Bali mengatakan mereka tidak lebih sibuk dari biasanya, walaupun pandemi sudah dimulai.

Kesalahan diagnosis

Meskipun demikian, Panji mengatakan ada dua kemungkinan yang bisa menjawab pertanyaan itu.

Pertama, bisa jadi karena memang benar tidak terjadi penularan di sana. Atau yang kedua, karena banyaknya masyarakat yang terinfeksi namun tidak menunjukkan gejala berarti.

"Apakah itu ada hubungannya dengan gen, gaya hidup di Bali atau bagaimana virus berperilaku di daerah tropis?" kata Panji.

Baca juga: Update Covid-19 di Jatim, DIY, Bali, NTT, NTB, Kalbar, dan Kalsel 2 Mei 2020

Sementara itu, Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dr. Dicky Budiman mempercayai sebenarnya jumlah kasus Covid-19 di Bali jauh lebih tinggi dari perhitungan resmi yang dipublikasikan.

Kasus-kasus itu tidak terdeteksi, akibat minimnya pengujian dan pelaporan kondisi ke petugas medis. Kultur adat di sana memengaruhi ini, mereka masih banyak melakukan penyembuhan secara tradisional menggunakan bahan herbal.

Banyak juga kasus Covid-19 di Bali yang menurut Dicky salah didiagnosis sebagai demam berdarah.

"Ada jumlah kasus demam berdarah yang luar biasa tinggi di Bali saat ini, lebih dari 2.100 kasus dan saya percaya itu. Karena pengujian untuk demam berdarah lebih mudah, lebih murah dan lebih cepat daripada pengujian untuk Covid-19," ujar Dicky.

Tidak bergejala

Pada beberapa kasus, Covid-19 memang bisa terjadi tanpa menunjukkan gejala apapun atau asimptomatik.

Dicky mengatakan tingkat kematian Covid-19 yang luar biasa rendah di Bali dapat dikaitkan dengan wabah asimptomatik.

"Kami tahu 80 persen dari semua kasus di dunia tidak menunjukkan gejala karena mereka terkait dengan orang dewasa muda. Saya percaya itu juga terjadi di Bali, sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala karena demografi anak muda," ucap Dicky.

Ahli virologi dari Universitas Udayana, Prof. Gusti Ngurah Mahardika juga percaya bahwa demografi pendududuk di pulau Bali berperan penting.

"Jika Anda melihat struktur usia di Bali, usia rata-rata 30 tahun. Tetapi jika Anda membandingkannya dengan Amerika di mana 16 persen populasi berusia lebih dari 70 tahun dan di Italia 20 persen, itu memberikan penjelasan yang masuk akal tentang rendahnya jumlah kasus yang dilaporkan dan tingkat kematian yang rendah di Bali," jelas Mahardika.

Teori cuaca panas

Di sisi lain, Mahardika menyebut virus tidak menular secara efektif di iklim tropis seperti Bali.

"Saya telah membuat makalah yang menyebut Covid-19 mungkin sensitif terhadap panas dan kelembaban seperti yang telah dilaporkan terjadi pada virus corona penyebab MERS dan SARS," ungkapnya.

Presiden Jokowi juga pernah menyebutkan peran teori ini kepada para wartawan, pekan lalu.

"Semakin tinggi suhunya, semakin tinggi kelembaban dan paparan langsung sinar matahari akan semakin memperpendek masa hidup Covid-19 di udara dan pada permukaan yang tidak berpori. Ini adalah berita baik bagi Indonesia," kata Jokowi.

Baca juga: Epidemiolog: Cuaca dan Geografis Indonesia Tak Signifikan Hambat Penyebaran Corona

Namun, pada kenyataannya teori ini tidak berlaku dengan pandemi Covid-19 yang ada di Singapura, negara yang sama-sama memiliki iklim panas.

Di sana terjadi lompatan kasus baru sebanyak 1.400 kasus pada 20 April kemarin, meski negara kota itu telah melakukan upaya penutupan yang ketat dari masuknya warga dunia.

Hal yang sama juga terjadi di Brasil yang juga memiliki kondisi meteorologis serupa. Di sana, mayat-mayat menumpuk di truk berpendingin, kuburan masal dibuat, dan sistem kesehatan telah runtuh.

Tidak ada keajaiban

Menanggapi hal itu, Mahardika mengaku sempat bingung melihat kondisi di Brasil tersebut.

Menurut dia, satu-satunya variabel yang masih mungkin untuk diperhitungkan adalah budaya dan gaya hidup masyarakat Brasil yang lebih banyak melibatkan kontak fisik erat antar masyarakat, dibandingkan dengan masyarakat Bali.

Namun ia memberikan penegasan, bahwa semua itu merupakan dugaan, karena keterbatasan pengujian yang dilakukan.

"Tidak ada transparansi data di Indonesia, jadi yang bisa kita lakukan hanyalah berspekulasi. Tapi satu hal yang pasti: Tidak ada keajaiban (terkait Covid-19) di Bali," tegasnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi