Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KSAU 2002-2005
Bergabung sejak: 25 Feb 2016

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Catatan tentang Didi Kempot dari Orang yang Tak Mengenalnya

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/MAULANA SURYA
Warga melewati poster ucapan duka cita untuk mengenang penyanyi campursari Dionisius Prasetyo atau Didi Kempot yang meninggal dunia di Solo, Jawa Tengah, Selasa (5/5/2020). Didi Kempot meninggal dunia saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo, Selasa (5/5/2020), dan rencananya akan dimakamkan di tempat kelahiran Ngawi, Jawa Timur.
Editor: Heru Margianto


SUDAH cukup banyak tulisan bagus mengenang Didi Kempot yang beredar dari orang-orang terkenal dan para penulis beken. Akan tetapi, tetap saja saya tidak dapat membendung hasrat untuk juga ikut menulis tentang Didi Kempot.

Terus terang saya tidak begitu mengikuti perjalanan sukses karier Didi Kempot sebagai maestro penyanyi khas berbahasa Jawa.

Selintas saya mengenal dan mendengar sayup-sayup nama Didi Kempot sebatas nama beken yang menjadi bagian penerus dari “sisa-sisa” ketenaran pagelaran Srimulat yang kesohor.

Pagi hari itu, mendengar kabar meninggalnya Didi Kempot, saya langsung meneruskannya ke istri saya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Wah, dia penyanyi sedang top-top nya belakangan ini dan penggemarnya kelompok milenial kampus," begitu respons istri saya.

Penasaran, saya segera membuka banyak tulisan dan video tentang Didi Kempot. Berjam-jam hingga buka puasa diselingi mengikuti berita duka dan siaran mengenang almarhum, saya akhirnya memperoleh kesan yang sangat khusus dari keberadaan Didi Kempot sebagai penyanyi kondang kesayangan publik.

Setidaknya Didi Kempot pernah tampil dihadapan dua orang Presiden, yaitu Presiden Suriname dan Presiden Republik Indonesia.

Keistimewaanya sebagai pelantun lagu sudah banyak ditulis orang. Dalam tulisan ini saya hanya ingin menggoreskan sedikit kesan saja yang langsung terekam dalam hati seusai menjelajah beberapa tulisan, berita, dan video mengenai Didi Kempot.

Bahasa Jawa

Yang sangat mengesankan sekali adalah bahasa yang digunakannya dalam bernyanyi, yaitu bahasa Jawa yang biasa digunakan di jalanan.

Saya bukan orang Jawa, tetapi saya lahir di Yogyakarta dan melewati rentang waktu yang terputus-putus menetap di kota itu dengan jumlah total lebih kurang 10 tahun.

Saya pun tidak mahir berbahasa Jawa. Namun, ada banyak kata-kata dalam bahasa Jawa yang menancap dalam hati saya karena begitu tepat mewakili rasa dan sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.

Kita mulai saja dengan kata ambyar. Itu kata-kata yang mewakili makna bubar total, tidak keruan, amburadul, hancur lebur, dan pasti tidak bisa diperbaiki lagi.

Ambyar mewakili itu semua.

Guru saya pernah bercerita didepan kelas tentang bingungnya seorang dokter bila menerima pasien orang jawa.

Sang Pasien mengatakan, “Dok, saya geringgingen”.

Nah lho, pusinglah Si Dokter untuk menerjemahkan keluhan pasien dalam mendiagnosa penyakitnya untuk mencarikan “drug of choice”, obat yang tepat bagi sang pasien.

Geringgingen itu mewakili banyak hal seperti keringat dingin, agak menggigil, meriang dan lain-lain rasa tidak enak di badan.

Banyak kata-kata bahasa Jawa populer atau bahasa Jawa jalanan yang sangat mewakili perasaan dan menancap dalam sekali di hati.

Mumet misalnya, yang tidak hanya mewakili pusing dan kehabisan akal akan tetapi juga bisa mewakili rasa kecewa yang menyertainya.

Belum lagi istilah awakku remuk atau pinggang pedhot, dan masih banyak lainnya, yang sekali lagi selain mewakili sekian banyak maksud dalam mengutarakan “rasa” juga sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.

Mungkin saja saya keliru, akan tetapi saya memahaminya seperti itu dan senang sekali mendengar istilah-istilah tersebut karena merasa terwakili untuk mengutarakan rasa hati dalam kata-kata.

Terminolgi ambyar, remuk, pedhot, mumet, nelongso dan banyak lainnya terasa sekali sangat representatif mewakili rasa “kecewa” dalam menghadapi kenyataan yang tidak nyaman.

Mohon dimaafkan apabila persepsi saya keliru karena memang saya tidak menguasai bahasa Jawa, tetapi itulah yang saya rasakan.

Meriangkan patah hati

Kembali mendengarkan lagu-lagu Didi Kempot yang lirik syairnya banyak mengutarakan kekecewaan dan patah hati, sehingga memperoleh gelar "The Godfather of Broken Heart", kiranya persepsi saya tidak keliru-keliru amat.

Sebagian besar lagu-lagu Didi Kempot berirama mirip mirip dengan lagu “Cucak Rowo” yang iramanya dikenal secara universal dan selalu disertai nuansa jenaka.

Inilah kunci mengapa lagu-lagu Didi Kempot tidak dikategorikan ke lagu cengeng, walau berisi banyak hal tentang patah hati.

Bahkan sebaliknya, karena teriakan kekecewaan yang dilantunkan dalam irama gembira mengundang joget, maka jadilah ia sebuah paket “perangsang semangat” agar tidak mudah patah arang.

Lagu patah hati namun tidak diutarakannya dalam lorong yang mengantar ke patah semangat.

Wajah Sang Maestro yang baru berusia 53 tahun sekilas terlihat lebih tua dari usianya.

Tetapi bila ditekuni lebih dalam pada raut garis wajahnya dalam ekspresi saat menyanyikan lagu, serta merta terlihat sebagai sebuah “aura” yang mengajak untuk tidak cepat menyerah menghadapi kenyataan yang pahit. Terlihat jelas dalam adegan lagu “Pamer Bojo”, “Sewu Kuto” dan lainnya.

Pada titik inilah, maka saya menjadi mengerti kenapa isteri saya mengatakan bahwa Didi Kempot tengah menjadi idola pemuda milenial. Penggemarnya merasa “sangat” terwakili dengan lagu-lagu yang dibawakan Didi Kempot.

Mengutarakan kekecewaan akan tetapi dalam kemasan irama joget. Rasa Kecewa, sedih akan tetapi tidak dinyatakan dengan ratapan sahdu mendayu-dayu berurai air mata.

Walau air mata kerap tak terbendung juga dalam irama riang gembira yang mengundang gerak untuk menari atau berjoget ria ditengah syair yang mewakili rasa nelongso.

Tidak itu saja, Didi Kempot juga sangat menguasai stage acting beraksi di panggung sekaligus berinteraksi dengan para penggemarnya sepanjang penampilan di pentas terbuka.

Gayanya mengingatkan kepada gaya Andre Rieu sang konduktor sekaligus pemain biola ketika memimpin pagelaran musik klasik dari Johann Strauss Orchestra.

Demikian pula kepercayaan diri yang sangat mapan dalam berhadapan dengan Presiden Suriname dan Presiden Jokowi ditengah-tengah pagelarannya. Didi Kempot sangat santai namun tidak meninggalkan etika bahasa tubuh dimuka orang yang dihormati.

Kita semua merasa kehilangan Sang Maestro yang telah pergi secara tiba-tiba dan mengagetkan banyak penggemarnya ditengah-tengah dunia yang sedang “ambyar” diserang wabah Corona-Covid 19.

Selamat Jalan Didi Kempot. Selamat jalan Sang Maestro!

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi