KOMPAS.com - Hari ini 58 tahun lalu, tepatnya 14 Mei 1962, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno.
Peristiwa itu terjadi ketika pelaksanaan shalat Idul Adha di lapangan rumput antara Istana Negara dengan Istana Merdeka, Jakarta.
Maulwi Saelan dalam Penjaga Terakhir Soekarno (2014), mengatakan, seseorang tiba-tiba menembakkan pistol ke arah Bung Karno ketika shalat sedang berlangsung.
Si penembak itu berada empat baris di belakang Bung Karno.
Belakangan, diketahui bahwa si penembak mengaku kesulitan membidik sasarannya karena melihat dua orang yang mirip dengan Bung Karno.
Tembakan tersebut tak mengenai tubuh Bung Karno sedikit pun. Peluru hanya sempat menyerempet bahu Ketua DPR saat itu, Zainul Arifin.
Dua anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden, yaitu Soedrajat dan Soesilo juga terluka dalam peristiwa itu.
Selain itu, Jenderal AH Nasution yang berdiri di sebelah kiri Bung Karno juga nyaris ikut menjadi korban.
"Peluru-peluru dalam shalat Idul Idha beterbangan sebelah kiri saya, karena justru pada saat itu saya berdiri sebelah kiri Presiden," kata Nasution, dikutip dari Harian Kompas, 21 Februari 1967.
Dilansir dari Historia, Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 (1999), mengaku, telah mendapat informasi mengenai rencana pembunuhan itu satu hari sebelumnya.
Ia kemudian menempatkan beberapa anggotanya untuk menempati sejumlah pos di sekitar jemaah dan memperketat pintu masuk.
Namun, upaya pembunuhan itu pun tak terhindarkan.
Pelaku anggota DI/TII
Para pelaku penembakan itu diketahui berjumlah tiga orang, yaitu Sanusi, Kamil, dan Jaya Permana yang semuanya merupakan anggota DI/TII.
Baca juga: Peluncuran Buku Kisah Mantan Ajudan Presiden Soekarno
Setelah dilakukan pengusutan terhadap pelaku, seorang pemimpin pesantren di Bogor H Muhamad Bachrum juga ikut ditangkap.
Ia diduga menjadi otak dalam upaya pembunuhan itu dan telah memberikan undangannya sebagai akses masuk Istana saat pelaksanaan shalat.
Mahkamah Angkatan Darat kemudian menjatuhkan vonis mati kepada para pelaku, sementara H Muhamad Bachrum harus mendekam di penjara.
Setelah peristiwa tersebut, Bung Karno tak lagi shalat di tempat terbuka.
Peristiwa ini juga mendorong Jenderal AH Nasution membentuk pasukan khusus yang bertugas untuk melindungi dan menjaga keselamatan jiwa kepala negara dan keluarganya.
Harian Kompas, 6 Oktober 2019, menuliskan, pasukan itu bernama Resimen Cakrabirawa yang dibentuk lewat SK No 211/PLT/1962 tanggal 6 Juni 1962 dan dipimpin Brigjen Moh Sabur dengan Kolonel Cpm Maulwi Saelan sebagai wakilnya.
Baca juga: Museum Joang 45: Dari Hotel Mewah Zaman Belanda hingga Rencana Menculik Bung Karno