Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekhawatiran IDI karena Adanya Pelonggaran Pembatasan...

Baca di App
Lihat Foto
Twitter
Di media sosial Twitter beredar gambar penumpukan penumpang di Terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Kamis (14/5/2020).
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Pekan lalu, pemerintah resmi mengizinkan transportasi umum kembali beroperasi.

Kebijakan kembali beroperasinya transportasi umum ini dengan mempertimbangkan keberlanjutan perekonomian nasional.

Kelonggaran terhadap moda transportasi tersebut berlaku bagi warga dengan kriteria yang ditetapkan pemerintah.

Kenyataan di lapangan, terjadi antrean panjang calon penumpang pesawat di Bandara Soekarno-Hatta, hingga adanya dugaan jual beli surat keterangan bebas Covid-19 yang menjadi salah satu syarat bisa bepergian ke luar wilayah.

Sementara di daerah, menjelang Idul Fitri, sejumlah kebijakan menunjukkan pelonggaran akses keluar masuk pada zona merah seperti DKI Jakarta.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian Keluar dan/atau Masuk Provinsi DKI Jakarta dalam Upaya pencegahan Penyebaran Covid-19, warga Jakarta masih boleh bepergian di kawasan Jabodetabek.

Pergub ini melarang orang keluar masik Jakarta selama pandemi corona, tetapi tidak berlaku bagi warga ber-KTP Jakarta.

Artinya, warga masih dapat saling berkunjung dan keluar masuk wilayah Jabodetabek, termasuk saat Lebaran nanti.

Belakangan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan, mudik lokal dilarang. Ia menyarankan mudik virtual.

Baca juga: Menurut IDI, PSBB Harus Dipertahankan

Kekhawatiran penyebaran massif corona

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Ikatan Dokter Indonesia.

Anggota Bidang Kesekretariatan, Protokoler, dan Publik Relations Pengurus Besar (PB) IDI, Dr Halik Malik mengatakan, adanya pelonggaran ini membuat IDI khawatir terkait potensi penyebaran virus corona yang lebih luas.

"Kita ketahui mudik Lebaran adalah momen migrasi terbesar di Indonesia. Tentu kekhawatirannya pemudik akan membawa virus corona ke kampung halamannya," ujar Halik saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (16/5/2020).

Kondisi ini, kata dia, berisiko terjadinya potensi ledakan kasus atau second wave karena penularan massif di berbagai daerah setelah Lebaran.

"Disarankan warga Jabodetabek yang telanjur mudik untuk melakukan karantina 14 hari sesampainya di tujuan masing-masing," kata dia.

Dengan disiplin karantina, diharapkan menekan peluang penyebaran virus di kampung halaman. 

"Karantina bagi orang-orang yang mudik ini harus diawasi oleh pemerintah daerah," lanjut dia.

Halik menyebutkan, sejak awal IDI meminta ketegasan pemerinta soal larangan mudik, bukan sekadar imbauan.

"Larangan mudik itu seharusnya diberlakukan," ujar dia.

Baca juga: IDI: Kasus Covid-19 di Depok Masih Fluktuatif, Bukan Melandai

Masih perlu pembatasan di berbagai lini

PB IDI juga mengusulkan, untuk mencegah kasus Covid-19 bertambah, perlu adanya restriksi transportasi massal.

Artinya, melarang alat transportasi massal darat, laut, udara beroperasi sementara untuk menghentikan pergerakan manusia, terutama menjelang Lebaran.

"Karena kalau imbauan saja tidak efektif. Perlu restriksi tidak ada yang bisa keluar atau stop transportasi massal ke lokasi mudik. Kalau kebijakan ini diambil, episentrum wabah dapat dikunci, sehingga bisa diatasi lebih cepat, jadi harus lebih agresif dan simultan kebijakannya," kata Halik.

Selain itu, pemerintah telah mempersiapkan insentif ekonomi dan solusi lainnya agar masyarakat tidak perlu mudik pada tahun ini.

Menurut IDI, pemerintah di berbagai tingkatan melalui aparat yang berwenang tidak boleh memberi izin kegiatan kemasyarakatan yang menimbulkam keramaian atau kerumunan.

Selain itu, menindak tegas setiap kegiatan yang mengabaikan protokol kesehatan.

IDI menyarankan daerah untuk menunda pelonggaran kebijakan sampai ada kriteria dan mekanisme yang jelas terkait efektivitas dan dampak dari pelaksanaan PSBB di setiap wilayah.

PB IDI juga meminta agar pemerintah tidak melonggarkan PSBB sampai ada data pendukung yang tepat, sesuai dengan indikator dan kriteria yang ditetapkan sebelumnya.

Indikator itu baik dari sisi medis, epidemologis, dan sistem kesehatan.

Indikator-indikator tersebut menjadi basis acuan sistem-sistem lain untuk dapat dijalankan.

"Monitoring dan evaluasi penanganan corona secara nasional dan per wilayah harus dibedakan sehingga fokus intervensi kebijakan yg diberikan akan lebih spesifik berdasarkan evaluasi dan berbasis data yang akurat dan terpercaya," kata Halik.

Baca juga: Ada 25 Dokter yang Meninggal Terkait Covid-19 di Indonesia, PB IDI Bentuk Tim Khusus

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi