Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjawab Tudingan Virus Corona Tidak Berbahaya dan Teori Senjata Biologis

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Moch Asim
Petugas kesehatan beraktivitas di ruang deteksi polymerase chain reaction (PCR) laboratorium biomolekuler Rumah Sakit Pelindo Husada Citra (PHC), Surabaya, Jawa Timur, Selasa (12/5/2020). Laboratorium biomolekuler PCR tersebut berfungsi untuk melakukan uji laboratorium virus corona atau COVID-19 melalui metode tes swab dengan kapasitas 500 tes perhari. ANTARA FOTO/Moch Asim/hp.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Kasus virus corona secara global telah menginfeksi sebanyak 4,6 juta orang di seluruh dunia. Sebanyak 308.984 orang telah meninggal dan 1,7 juta lainnya sembuh.

Virus corona penyebab penyakit Covid-19 yang dilaporkan pertama kali di Wuhan, China ini sudah menyebar hampir di seluruh dunia dalam waktu hampir lima bulan terakhir.

Meskipun demikian, masih ada sejumlah pihak yang meragukan adanya virus dengan nama SARS-CoV-2 tersebut. Termasuk tudingan bahwa virus corona adalah virus yang biasa saja, hingga adanya konspirasi atau sebuah rekayasa.

Baca juga: Berkaca dari Indira Khalista, Mengapa Masih Banyak Masyarakat yang Ogah Pakai Masker?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Senjata biologi

Bahkan ada yang menyebut bahwa virus corona Covid-19 itu adalah senjata biologis.

Mengenai pendapat-pendapat tersebut, epidemiolog Universitas Giffith Australia Dicky Budiman mengatakan, Covid-19 menurutnya jauh dari tudingan sebagai senjata biologis.

Sebab apabila dilihat hinga saat ini angka kematian akibat virus corona secara global sekitar 5 persen.

Sementara menurut Dicky, apabila memang dikehendaki sebagai senjata biologi tentu masih ada sejumlah virus yang tingkat kematiannya lebih tinggi dibandingkan Covid-19.

Menurut data Asian Development Bank, virus SARS memiliki tingkat kematian lebih tinggi yaitu 10 persen. Sementara yang lebih mematikan lagi ada MERS sekitar 35 persen dan Ebola 50 persen.

"Kalau menurut ilmu global security, Covid-19 tidak efektif dijadikan senjata biologis. Sebab ada virus yang angka kematiannya lebih tinggi bisa di atas 50 persen. Artinya kalau ada dua orang yang terinfeksi salah satunya akan meninggal," kata Dicky dalam kajian bersama KH Abdullah Gymnastiar, Sabtu (15/5/2020).

Baca juga: Dari Senjata Biologis hingga 5G, Ini Teori Konspirasi Sesat tentang Corona

Banyak dijumpai di masyarakat

Kaitanya dengan bahaya virus corona, dokter spesialis bedah umum di RSUD 45 Kuningan dr. Asep Hermana Sp.B mengatakan, ketidakpercayaan terhadap bahaya Covid-19 banyak dijumpai di masyarakat.

Namun hal itu bisa dibantah apabila melihat banyaknya korban meninggal, termasuk sejumlah tenaga medis yang merawat pasien Covid-19.

"Kenyataanya ada, di lapangan kasus dan kematian ada. Bisa lihat di ruang-ruang isolasi juga ada. Tapi sudah dibeberkan data, juga masih ada yang tidak percaya (kalau Covid-19 berbahaya)," tutur Asep.

Sehingga menurut Asep, daripada berdebat tentang hal-hal yang tidak diperlukan, lebih baik fokus diarahkan pada bagaimana menyelesaikan penyebaran virusnya.

Sementara Dicky mengatakan, dalam sejarah setiap pandemi selalu ada tudingan teori konspirasi dan xenophobia mengarah pada satu ras tertentu, seperti saat ini mengarah pada orang-orang China.

"Saat munculnya HIV, Uni Soviet menyebut Amerika yang membuat virus ini, sementara ras yang dituduh sebagai penyebarnya dari orang kulit hitam. Kondisi yang sama juga terjadi saat ini," jelas Dicky.

Karena itu, dia menilai, fokus utama masyarakat adalah melakukan strategi pandemi yang dalam sejarah intinya tetap sama yaitu testing, tracing dan isolasi atau karantina.

Baca juga: Seperti Indira Kalistha, Kenapa Banyak Orang Abai Pandemi Corona?

Penyangkalan dan anggap remeh

Dicky juga mengatakan, penyangkalan dan menganggap remeh penyakit justru akan semakin membahayakan. Sebab perkembangan virus tidak menunggu waktu dan berjalan eksponensial.

Salah satu yang dapat menjadi contohnya adalah bagaimana Amerika Serikat saat ini dalam menghadapi pandemi.

"Efek penyangkalan dan tidak adanya transparansi, membuat kepercayaan jadi hilang. Strategi pandemi yang harusnya dijalankan jadi miskomunikasi," kata dia.

Sedangkan pembenaran bahwa tidak semua informasi disampaikan agar tidak menyebabkan panik, menurut Dicky tidak tepat. Menurutnya yang disebut komunikasi emergency pandemi, harus dijelaskan apa bahaya yang akan terjadi.

"Sehingga semua pihak dapat memahami potensi bahaya bersama-sama yang kemudian disampaikan pula strategi penanganannya," jelas Dicky.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi