Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ilmuwan Harvard Kembangkan Masker yang Mampu Deteksi Virus Corona

Baca di App
Lihat Foto
SCMP
Ilustrasi - Masker karya seniman Donatas Dubauskas.
|
Editor: Sari Hardiyanto

 

KOMPAS.com – Peneliti dari Harvard dan MIT saat ini tengah mengembangkan masker wajah yang mampu mendeteksi orang yang positif terinfeksi virus corona.

Nantinya, mereka yang positif terkena virus SARS-CoV-2 akan membuat sensor masker menyala.

Teknologi ini merupakan pengembangan dari temuan peneliti utama, Jim Collins yang sudah melakukan penelitian sebelum virus corona muncul.

Baca juga: Melihat Kondisi Mumbai, Kota Paling Terpukul Covid-19 di India...

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penemuan bermula pada 2014, Laboratorium Bioteknologi di MIT mulai mengembangkan sensor yang dapat mendeteksi virus ebola yang dibekukan di atas selembar kertas.

Kemudian pada 2016, tim kecil ilmuwan dari MIT dan Harvard mengembangkan temuan itu dan untuk pertama kalinya menerbitkan penelitian mereka yang telah dilengkapi dengan rancangan teknologi untuk mengatasi ancaman virus Zika.

Kini para peneliti menyesuaikan penelitian dengan kondisi pandemi virus corona yang saat ini ada.

Baca juga: WHO Tegaskan Vaksin Covid-19 Tak Akan Tersedia Sebelum Akhir 2021

Deteksi suhu

Mereka, merancang masker wajah yang mampu menghasilkan sinyal fluorescens saat seseorang dengan virus corona benapas, batuk atau bersin.

Harapannya, apabila teknologi ini berhasil, mereka bisa mengatasi kekurangan dari metode screening yang dilakukan dengan pemeriksaan suhu.

Sebagaimana diketahui, deteksi awal suhu kerapkali gagal mendeteksi mereka yang terinfeksi terutama bagi mereka yang tidak menunjukkan gejala.

“Anda bisa membayangkannya, ini digunakan di bandara saat orang-orang melewati kemananan, atau saat orang-orang tengah menunggu di pesawat,” ujar Collins sebagaimana dikutip dari Business Insider, Rabu (13/5/2020).

"Kamu atau aku bisa menggunakannya dalam perjalanan ke dan dari kantor. Rumah sakit dapat menggunakannya untuk pasien ketika mereka masuk atau menunggu di ruang tunggu sebagai deteksi awal siapa yang terinfeksi,” lanjutnya.

Baca juga: Berkaca dari Vaksin HIV, Bagaimana jika Vaksin Corona Tidak Berhasil Ditemukan?

Ia juga berharap, nantinya dokter bisa menggunakannya untuk mendiagnosis pasien tanpa harus mengirim sampel ke laboratorium.

Collins menyampaikan, proyek penelitian labnya saat ini masih tahap awal, tetapi menurutnya hasilnya nanti akan sangat menjanjikan.

Dalam beberapa minggu terakhir ia dan timnya telah menguji kemampuan sensor untuk mendeteksi virus corona baru dalam sampel air liur ukuran kecil.

Tim juga tengah melakukan beberapa eksperimen terkait desain produk.

Mereka tengah mempertimbangkan apakah akan menanamkan sensor di bagian dalam masker atau mengembangkan modul yang nantinya dapat dipasang ke masker yang dijual bebas.

Mereka berharap projek ini dapat menunjukkan perkembangan yang baik beberapa minggu ke depan.

"Begitu kita berada di tahap itu, maka yang menjadi masalah selanjutnya adalah menyiapkan uji coba dengan individu yang terinfeksi untuk melihat apakah itu akan bekerja dalam pengaturan dunia nyata," kata Collins.

Baca juga: AS Kebut 8 Vaksin Virus Corona yang Diklaim Dapat Tersedia pada Akhir Musim Gugur

Identifikasi virus

Teknologi ini sendiri disebut sudah terbukti mampu untuk mengidentifikasi virus secara umum.

Pada 2018, sensor laboratorium telah dapat mendeteksi virus penyebab SARS, campak, influenza, Hepatitis C, West Nile dan penyakit lain.

"Kami awalnya melakukan ini di atas kertas untuk membuat diagnostik berbasis kertas yang murah. Kami telah menunjukkan ini bisa digunakan pada plastik, kuarsa, dan juga kain,” kata dia.

Sensor buatan Collins sendiri terdiri dari bahan genetik DNA dan RNA yang berikatan dengan virus.

Baca juga: Saat AS Mulai Distribusikan Remdesivir untuk Pasien Covid-19 di 6 Negara Bagian...

Bahan tersebut dibekukan dan dikeringkan di atas kain menggunakan mesin yang disebut lyophilizer yang nantinya menyedot uap air dari bahan genetik tanpa membunuhnya.

Bahan itu dapat stabil di suhu kamar selama beberapa bulan sehingga umur simpan masker bisa tahan lama.

Sensor memerlukan dua hal pengaktif. Yang pertama adalah kelembaban yang dikeluarkan tubuh melalui partikel pernapasan seperti lendir atau air liur.

Sedangkan yang kedua adalah perlunya deteksi urutan genetik virus.

Baca juga: 3 Alasan Mengapa Pembuatan Vaksin Corona Butuh Waktu yang Lama

Sinyal cahaya 

Collins mengatakan sensornya hanya perlu mengidentifikasi segmen kecil urutan virus untuk mendeteksi virus.

Saat virus terdeteksi, maka akan mengeluarkan sinyal cahaya alam satu hingga tiga jam.

Sinyal itu tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, sehingga dibutuhkan perangkat yang disebut flourimeter untuk mengukur cahaya itu.

Di luar laboratorium Collins menyampaikan pejabat publik dapat menggunakan alat handheld flourimeter yang berharga sekitar satu dolar AS atau sekitar Rp 15 ribu untuk memindai masker seseorang.

Tim juga tengah mengembangkan sensor perubahan warna dari kuning ke ungu.

Collins dianggap sebagai pelopor biologi sintetis yang meniru sistem yang ada di alam.

Pada 2018, labnya mendapatkan hibah dari Johson & Johnson untuk mengembangkan sensor deteksi virus yang dapat diaplikasikan pada jas laboratorium.

Sensor temuan Collins menawarkan bentuk deteksi yang lebih murah cepat dan sensitif dibanding tes diagnostik tradisional.

Sensor lab yang ia ciptakan untuk deteksi Zika misalnya, dapat mendiagnosis dengan waktu dua hingga tiga jam.

Dalam kasus Zika, sensornya saat itu mampu mendeteksi virus dari strain Afrika, Asia dan Amerika.

Meskipun saat ini Lab MIT masih menguji segmen virus corona, tapi ada peluang nantinya alat mampu menguji virus corona dari berbagai strain juga.

Baca juga: Bolehkah Menggunakan Obat Tetes Mata, Telinga, dan Hidung Saat Puasa?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi