Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pengamat masalah sosial
Bergabung sejak: 31 Des 2018

Pengamat masalah sosial keagamaan, pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.

Tentang Rumah dan Jumat Terakhir Ramadhan

Baca di App
Lihat Foto
MOHAMD ALNBARE MDA SPOKESPERSON via REUTERS
Staf medis Muslim dan Yahudi beribadah bersama dengan menghadap kiblat berlawanan, di tengah tugasnya menangani pasien Covid-19. Pria Yahudi berdiri menghadap Yerusalem, sedangkan pria Muslim berlutut di sajadahnya menghadap Mekkah.
Editor: Heru Margianto


BILA Anda bosan di rumah gara-gara wabah Corona, mungkin itu saatnya Anda bercermin pada dua perkara ini.

Pertama: bayangkan betapa bosan, sedih dan kacaunya kehidupan Anda jika harus hidup terusir di pengungsian, sedangkan kampung halaman hanya berjarak 130-an kilometer.

Tetapi Anda tidak boleh pulang untuk berladang atau kembali beternak kambing, sementara anak-anak Anda juga tak bisa pergi ke sekolah yang dulu, atau balik mengaji di surau guna melantunkan Ratib Haddad, Maulid, membaca wirid, Barzanji atau pun melantunkan Doa Kumail.

Yang di atas itu di Indonesia, yang terjadi pada ratusan pengungsi asal Sampang, Madura – yang terusir sejak belasan tahun lalu dan mulai 2011 hingga kini terpaksa tinggal di Rumah Susun Puspa Agro, Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yang kedua di Palestina: rumah Anda bukan hanya harus ditinggalkan, tetapi sudah dirangsek “tetamu” yang dulunya hanya menumpang di tetangga sebelah.

Jika masih bisa bertahan dan belum sempat terusir, Anda diperlakukan seolah penjahat, kadang bagaikan hewan yang tidak punya hak asasi manusia – tak peduli apa agama yang Anda anut.

Bagi keduanya, rumah itu kini jadi sesuatu yang mewah, sesuatu yang ideal, tempat ayah, ibu dan anak-anak berkumpul dan berbagi kehidupan; tempat mimpi terwujud dalam sebuah tetirah yang damai.

Namun, kini semua itu tak ada lagi – tergeser, di-remove, di-delete dari benak mereka.

Dari keduanya itu sebenarnya kita bisa bercermin: betapa menyenangkannya hidup di rumah sendiri, meskipun selama masih ada wabah Corona ini Anda tidak bisa bekerja di kantor atau pabrik, dan anak-anak terpaksa belajar dari rumah selama beberapa bulan.

Tetapi Anda tidak boleh punya pendapat atau pandangan yang demikian. Kalau pun boleh, Anda telah dibuat lengah, bahkan ‘tersihir’ sehingga menganggap hal itu tidak penting, tidak berpengaruh pada kehidupan kita, tidak perlu dipedulikan -- seolah itu bukan urusan kita.

Sejatinya itu bukan sikap Anda yang asli, karena sesungguhnya jiwa fitri Anda pasti menolak perlakuan demikian – Anda suka pada kedamaian, keadilan, dan peduli pada nasib sesama.

Sutradara yang mengaduk-aduk sikap

Tetapi berkat (atau lebih tepat, “akibat”) penggiringan opini oleh para ‘sutradara besar’ di luar sana (yang juga memengaruhi rekannya di berbagai negara), maka kita jadi tidak peduli, atau minimal ‘kurang’ concern.

Kata Chomsky, manufactured consent telah menggiring banyak orang jadi ‘pembebek’ setia yang menuruti apa yang diatur sang sutradara. Lewat media, penggambaran apa yang harus diperhatikan atau dianggap penting jadi mudah diatur.

Jika sang sutradara bilang urusan Palestina atau Yaman tak perlu diurus, tak perlu diperhatikan, ya begitulah kemudian sikap banyak orang di dunia.

Melalui agenda setting dan framing, segala yang media suguhkan bagi kita itulah yang kemudian ‘penting’ bagi kita; jika media bilang perkara pengungsian atau perampokan tanah itu tidak penting, maka kita pun turut melupakannya, ikut mengabaikannya – seringkali tanpa kita sadari.

Kita juga akan enggan memperingati Hari Pembebasan Jerusalem (Al-Quds) pada setiap Jumat terakhir Ramadhan.

Teori penilaian sosial

Semuanya itu mengingatkan kita pada teori penilaian sosial (social judgment theory) yang digagas pertama kali oleh psikolog sosial asal Turki Muzafer Sherif dan kawan-kawannya.

Pada intinya teori itu memperkirakan bagaimana Anda akan menilai sebuah pesan dari seseorang (saya perluas, juga dari media) dan bagaimana penilaian Anda terhadapnya akan berpengaruh pada sistem keyakinan Anda sendiri.

Sherif yang pernah belajar dari Gordon Allport di Harvard University, AS, mencontohkannya lewat eksperimen persepsi pada tiga buah mangkuk air yang masing-masing berisi air panas, air hangat dan air dingin.

Coba letakkan tangan kanan Anda di mangkuk air dingin dan tangan kiri di mangkuk air panas, lalu pindahkan keduanya ke mangkuk yang berisi air hangat yang ada di antara keduanya.

Hasilnya, persepsi Anda terhadap suhu air akan berbeda: tangan kanan akan terasa ‘lebih dingin’, dan tangan kiri Anda terasa ‘panas’ – padahal air hangat itu berada di mangkuk yang sama.

Itu stimulus fisik. Ternyata persepsi bisa juga terjadi secara sosial. Sebuah persepsi sosial bergantung pada acuan internal diri.

Dengan kata lain, acuan (rujukan) yang berada di kepala kita didasarkan pada “pengalaman” sebelumnya.

Nah, pada saat ‘pengalaman’ kita selama ini (khususnya berkat paparan media yang Anda konsumsi) menunjukkan bahwa perkara Palestina dan Yaman tidak penting, umpamanya, maka sikap Anda terhadap urusan itu pun juga masuk pada rentang ‘menerima’ atau setidak-tidaknya ‘kurang memedulikannya’.

Jangankan ikut berdemo mendukung Palestina, jika pun tahu ada Al-Quds di sana, Anda tak peduli pada upaya pembebasannya.

Campuran tiga zona

Menurut Sherif dan kawan-kawannya, sebuah sikap (attitude) merupakan hasil campuran tiga zona yang diaduk-aduk ke dalam kepala kita.

Zona pertama adalah perkara-perkara yang Anda anggap penting dan perkara lain yang Anda anggap ‘bisa diterima’. Itulah latitude of acceptance.

Ada lagi latitude of rejection, yakni pendapat (opini) yang Anda tolak, perkara-perkara yang Anda coret dari daftar di kepala Anda.

Terakhir, ada perkara yang berada di tengah-tengah: tidak Anda terima tetapi tidak juga ditolak. Didefinisikan sebagai latitude of noncommitment, pada zona ketiga ini orang tidak memberikan pendapat, semacam ‘undecided’ atau ‘no opinion’ pada sebuah perkara.

Selama ini, Zionis menggiring warga dunia dari latitude of rejection (menolak perampasan tanah) kepada acceptance (menerima pendudukan mereka di tanah Palestina).

Jika itu upaya ke arah itu tidak berhasil, minimal warga dunia didorong agar masuk dalam zona netral alias latitude of noncommitment, tidak punya pendapat – terserah deh, saya tidak punya keputusan mengenai hal ini.

Lewat penggiringan opini di berbagai media (Barat), warga dunia hendak dipengaruhi sehingga mereka masuk pada zona yang diinginkan sang sutradara: Apa pentingnya mengurusi Palestina atau Yaman, yang jauh di sana, sedangkan urusan kita di dalam negeri masih banyak?

Bagi yang dekat dengannya, semisal negara-negara Arab di Timur Tengah itu, opini diarahkan pada perkara lain yang dianggap lebih penting, semisal harga minyak, ancaman musuh yang punya mazhab berbeda, dan sebagainya.

Dengan kata lain, berdasarkan pada “pengalaman” sebelumnya – terutama akibat paparan media yang mereka konsumsi – warga dunia jadi punya rujukan yang, cepat atau lambat, telah bergeser dari pro-Palestina dan anti Zionis kepada sikap pro-Zionis, atau minimal ‘netral’ terhadapnya.

Persepsi yang bertengger di kepala kita kemudian adalah bahwa, rumah warga Palestina di Jerusalem (Al-Quds) atau Gaza tidaklah perlu diurusi, yang penting adalah rumah kita saja, tempat kita menyelamatkan diri dari Corona, tempat mimpi indah datang bertandang.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi