KOMPAS.com - Laporan mengenai dugaan penyelewengan dana bantuan sosial (Bansos) kerap memenuhi pemberitaan media.
Tak hanya sekali, penyelewengan itu bahkan terjadi dari dulu hingga saat ini, meski dana tersebut diperuntukkan untuk korban bencana.
Dengan nilai anggaran yang fantastis, seperti dana bansos virus corona, banyak oknum tergiur untuk ikut menikmati dana itu.
Baca juga: Bukan China, India Jadi Episentrum Baru Virus Corona di Asia
Lantas mengapa masalah klasik itu terus terjadi tanpa ada perbaikan dan solusi?
Database yang kacau
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, problem dasar dari penyelewengan dana bansos ini adalah data penerima yang selalu bermasalah.
"Problem-nya dimulai dari masalah klasik, yaitu data penerima bansos yang simpang siur, selalu terjadi penerima ganda atau datanya fiktif," kata Donal saat dihubungi Kompas.com, Minggu (17/5/2020).
Menurutnya, data penerima bansos itu selalu bermasalah baik di tingkat daerah maupun pusat. Namun, masalah itu tak pernah diperbaiki.
Donal mengatakan, pemerintah bukan tak memiliki anggaran, tapi tak ada iktikad baik dari mereka untuk memperbaiki masalah ini.
"Jadi secara keseluruhan, kita itu punya masalah pada big data kependudukan, data pajak, data bansos, data masyarakat miskin, seluruh masalahnya database," jelas dia.
Baca juga: Viral Prank Sembako Sampah, Ferdian Paleka, dan Ketiadaan Empati...
Moral hazard
Selaian masalah data, Donal menyebut masalah bansos ini juga berkaitan erat dengan moral hazard.
Artinya, para penyalur bansos juga seringkali menggunaan kesempatan itu untuk mendapatkan keuntungan.
Senada dengan Donal, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril juga menyebut data yang tak pernah beres sebagai biang dari penyelewengan bansos.
Ia menjelaskan bahwa ketidakberesan data kemudian membuat para pengambil kebijakan bersembunyi di balik data-data itu untuk memanfaatkan kesempatan.
"Data yang tidak beres itu membuat para pengambil kebijakan bisa memperbesar jumlah penerima dan jumlah anggaran yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan," kata Oce saat dihubungi Kompas.com, Minggu (17/5/2020).
Baca juga: Lebih Dekat dengan Bilik Swab Ciptaan Dosen UGM
Tak ada lembaga khusus
Oce mengatakan, masalah-masalah tersebut seharusnya bisa diatasi jika ada satu lembaga atau leading sektor untuk menangani bansos, khususnya di saat darurat seperti saat ini.
Selama ini, ada banyak lembaga yang menangani dan mengklaim memiliki program bansos. Hal itu justru semakin sulit untuk menyatukan dan mengkonsolidasikan data tersebut.
"Sekarang itu banyak lembaga yang mengklaim dan memiliki anggaran masing-masing untuk bansos. Lembaga-lembaga itu tak mau melepas program ini kepada satu lembaga khusus," kata Oce.
Menurutnya, banyaknya lembaga yang tak mau melepas program itu karena birokrasi Indonesia yang masih menggunakan prinsip "di mana ada program, di situ ada uang."
Baca juga: Selain Jiwasraya, Berikut Kasus Korupsi Terbesar di Indonesia
Lemahnya pengawasan
Selain memudahkan pengawasan, kontrol, dan audit, adanya leading sektor juga meminimalisir adanya perbedaan data antar lembaga yang kerap jadi cela penyelewengan.
"Ini membutuhkan keputusan politik untuk membentuk satu leading sektor, sehingga kebijakannya sama, data yang dirujuk sama, kalo ada perbedaan data biar selesai di koordinasi mereka, tapi keluar dengan satu data di tingkat pemerintah," terang dia.
"Jadi itu juga memudahkan pengawasan, kontrol, audit, kalau ada laporan-laporan. Jadi semua bisa terkoordinasi dengan baik," sambungnya.
Menurut Oce, lemahnya pengawasan dapat dilihat dari tidak adanya skema yang serius dari pemerintah.
"Pemerintah tidak membuat skema yang serius untuk mengawasi dana bansos, penyalurannya, apakah itu bener-benar sampai ke masyarakat, pelaporannya, audit kontrol, itu tidak pernah ada skema yang khusus diperuntukkan dana bansos," jelas dia.
Padahal, Oce menyebut dana bansos merupakan sektor yang paling rawan dikorupsi dan diselewengkan sejak dulu.
Baca juga: Pusaran Kasus Korupsi Jiwasraya dan Dugaan Korupsi di PT Asabri
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.