Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjelasan Lapan tentang Fenomena Lockdown Matahari, Apa Dampaknya?

Baca di App
Lihat Foto
NASA/GSFC/Solar Dynamics Observatory/Handout via REUTERS
Semburan matahari berukuran sedang (M2) dan pengusiran massa koronal (CME) meletus dari wilayah aktif Matahari yang sama pada tanggal 14 Juli 2017.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

 

KOMPAS.com – Saat ini matahari memasuki fase minimum matahari, dimana aktifitas permukaan matahari berkurang ditandai dengan berkurangnya bintik hitam matahari.

Belakangan media luar mengistilahkan, fase minimum matahari ini dengan istilah “lockdown matahari”.

Terkait dengan kondisi lockdown matahari ini, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) memberikan penjelasannya.

“Fase lockdown itu istilah yag salah kaprah ya, (yang betul) fase minimum iya,” ujar Kepala Bidang Diseminasi Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Emanuel Sungging saat dihubungi Kompas.com Senin (18/5/2020).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Ilmuwan: Matahari dalam Fase Lockdown, Waspadai Berbagai Bencana

Aktivitas matahari berkurang

Pihaknya menjelaskan, fase minimum matahari muncul ketika tanda-tanda aktivitas matahari sangat berkurang yaitu ketika bintik matahari lama tidak terlihat dari piringan matahari.

“Berlangsungnya bisa lama, bisa sebentar, kami belum benar-benar memahami,” lanjut dia.

Sungging mengatakan, kondisi saat ini memang tengah berada dalam kondisi minimum matahari.

Adapun berdasarkan data dari Pusat Prediksi Cuaca Luar Angkasa Amerika Serikat (SWPC NOAA) kondisi minimum matahari terjadi pada April 2020 dan diperkirakan akan berlangsung kurang lebih selama 6 bulan.

Lebih lanjut, Sungging menjelaskan, bintik matahari berkaitan dengan aktivitas matahari yang biasanya memiliki siklus 11 tahun matahari.

“Ada kalanya dia penuh bintik, ada kalanya kosong, nah kalau lagi banyak bintik, artinya Matahari sedang aktif, dan itu bisa berdampak pada teknologi antariksa,” ujar dia.

Selanjutnya apabila matahari sedang mengalami minim aktivitas, Sungging menyebut bisa tanpa bintik matahari sama sekali.

Adapun siklus 11 tahun tersebut merupakan rerata yang berarti waktu periodesasinya bisa kurang dan bisa lebih. Siklus sebelumnya merupakan minimum siklus ke-24 yang berawal di sekitar tahun 2009-2010.

Sedangkan yang saat ini terjadi merupakan minimum siklus ke-25 yang terjadi pada 2020.

Baca juga: Fenomena Matahari Solar Minimum, Lapan: Tidak Benar Timbulkan Bencana di Bumi

Dampak yang terjadi

Pihaknya menyebut, siklus minimum matahari biasanya berpotensi menimbulkan gangguan pada operasional satelit-satelit dan kegiatan lain yang terdampak keantariksaan seperti komunikasi jarak jauh serta akurasi GPS.

Berdasarkan catatan sejarah, Sungging menyebut fenomena minimum matahari juga pernah terjadi pada abad pertengahan yang dikenal dikenal sebagai Maunder Minimum .

Saat itu jumlah bintik Matahari sangat sedikit sekali selama lebih dari setengah abad.

Dampaknya saat itu adalah terjadinya peristiwa yang disebut sebagai Zaman Es Kecil (Little ice age).

“Tentunya pada jaman itu belum ada isu pemanasan global, jadi faktor antropogenik masih dapat diabaikan. Kalau sekarang, masih terus dilakukan kajiannya,” jelas Sungging.

Meski demikian, Sungging mengatakan ini adalah kondisi normal dari matahari karena masih terdapat grafik yang naik turun dari minimum menjadi maksimum dan kembali menjadi minimum lagi.

“Kalau tidak ada naik menuju maksimum, dan terus saja berada di minimum (karena tidak ada bintik Matahari yang muncul), nah itu baru dapat dikatakan kondisi yang tidak normal,” jelas dia.

Baca juga: Letusan Gunung di Indonesia Ini Ilhami Penemuan Sepeda 200 Tahun Lalu

Terus memantau

Lebih lanjut, ia mengatakan LAPAN, senantiasa memantau kondisi matahari dan akan memberitahukan apabila terdapat informasi yang penting kepada masyarakat.

Adapun untuk informasi selengkapnya ia mengatakan, masyarakat dapat mengakses melalui laman http://swifts.sains.lapan.go.id/

Sebelumnya, melansir dari The Sun, Dr Tony Phillips seorang astronom mengatakan, saat ini tengah memasuki kondisi minimum matahari terparah dalam satu abad terakhir.

"Kelebihan sinar kosmik menimbulkan bahaya kesehatan bagi para astronot dan perubahan udara kutub, memengaruhi elektro-kimia atmosfer Bumi, dan dapat membantu memicu petir," ujarnya.

Masih melansir dari laman tersebut, para ilmuwan NASA mengkhawatirkan hal ini bisa memicu kembali terjadinya Dalton Minimum yang pernah terjadi antara tahun 1790 dan 1830.

Pada saat Dalton Minimum terjadi suhu menjadi sangat dingin, muncul letusan gunung berapi, gagal panen dan timbulnya kelaparan.

Letusan Gunung Tambora di Indonesia pada 10 April 1815, yang menewaskan sedikitnya 71.000 orang juga dianggap berhubungan dengan Dalton Minimum saat itu.

Baca juga: Matahari Lebih Pasif Dibanding Bintang Serupa, Kabar Baik untuk Kita

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi