Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fase Minimum Matahari, Akankah Memengaruhi Gunung Api di Indonesia?

Baca di App
Lihat Foto
Antara
Pengamat kebencanaan mengatakan pemerintah perlu memikirkan langkah-langkah untuk mengantisipasi bencana alam di saat pandemi virus corona, karena ancaman bencana alam masih mengintai berbagai daerah di Indonesia.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com – Matahari saat ini tengah memasuki periode minimum matahari (solar minimum) yang belakangan banyak disebut dengan "lockdown matahari" oleh media-media asing.

Melansir dari The Sun, salah satu yang dikhawatirkan para ilmuwan terkait dengan adanya minimum matahari ini adalah potensi timbulnya bencana sebagaimana saat Dalton Minimun yang terjadi antara tahun 1970 dan 1830.

Pada saat Dalton Minimum muncul letusan besar gunung berapi, suhu yang anjlok hingga 2 derajat, kegagalan panen, dan timbulnya kelaparan.

Gunung Tambora yang meletus pada 10 April 1815 disebut-sebut juga berhubungan dengan peristiwa minimum matahari dan Dalton Minimum.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Ilmuwan: Matahari dalam Fase Lockdown, Waspadai Berbagai Bencana

Melansir dari Perspectaweather, sebuah studi mengatakan peningkatan sinar kosmik pada saat aktivitas matahari rendah diduga menjadi pemicu aktifitas vulkanik pada gunung berapi.

Lantas adanya fenomena minimum matahari yang terjadi saat ini apakah hal itu akan mempengaruhi aktifitas vulkanik di gunung-gunung berapi Indonesia?

Gunung berapi di Indonesia

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kasbani menjelaskan memang ada beberapa paper yang menunjukkan adanya korelasi antara aktivitas gunung api dengan pola aktivitas matahari.

Namun dia mengatakan masih ada banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas vulkanik gunung berapi.

“Singkatnya, aktivitas vulkanik jauh lebih dipengaruhi oleh pergerakan magma di bawah gunung itu dari pada posisi matahari terhadap bumi,” jelas Kasbani saat dihubungi Kompas.com Senin (18/5/2020).

Dia menjelaskan, penelitian terkait korelasi minimum matahari yang mempengaruhi aktivitas vulkanik ditunjukkan dengan data statistik. Yaitu saat kondisi matahari mengalami solar minimum, erupsi gunung berapi lebih banyak terjadi.

Sedangkan, saat solar maksimum (maksimum matahari) jumlah erupsi lebih sedikit.

“Secara teori fisika, memang ada rumus gaya tarik menarik antara bumi dengan benda langit lainnya, dimana jika jarak minimal maka gaya tarik menarik lebih besar. Sehingga itu disimpulkan juga menjadi faktor yang menyebabkan erupsi gunung api lebih banyak dalam periode ini (minimum matahari),” terang dia.

Baca juga: Penjelasan Lapan tentang Fenomena Lockdown Matahari, Apa Dampaknya?

Akan tetapi, Kasbani menekankan teori-teori tersebut adalah teori yang berkaitan dengan external force atau gaya dari luar gunung api.

“Artinya, teori itu tidak akan selalu terjadi. Buktinya tidak semua gunung mengalami erupsi bersama-sama,” kata dia.

Dengan demikian, ini membuktikan bahwa internal force (gaya dari dalam) gunung api adalah faktor terpenting yang menentukan sebuah gunung berapi akan erupsi atau tidak.

Lebih lanjut ia menjelaskan, erupsi gunung berapi dipicu oleh kelebihan tekanan (overpressure) akibat adanya pergerakan fluida magma.

“Tanpa adanya kondisi overpressure maka suatu gunung api, meskipun solar minimal, tidak akan erupsi. Sebaliknya, jika suatu gunung sudah sangat overpressure, meskipun solar maksimal juga tetap akan erupsi,” tuturnya.

Indonesia, sejauh ini masih memiliki 20 gunung api yang statusnya di atas normal dan masih memiliki potensi erupsi meskipun hanya erupsi kecil.

“Belum ada indikasi untuk erupsi yang besar,” lanjutnya.

Baca juga: Fenomena Solar Minimum, Selamat Datang Siklus Matahari 25

Apa itu Fase minimum matahari

Kepala Bidang Diseminasi Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Emanuel Sungging menjelaskan, fase minimum matahari muncul ketika tanda-tanda aktivitas matahari sangat berkurang.

Tanda tersebut adalah saat bintik matahari, lama tidak terlihat.

Berdasarkan data dari Pusat Prediksi Cuaca Luar Angkasa Amerika Serikat (SWPC NOAA) kondisi minimum matahari terjadi mulai April 2020 dan diperkirakan akan berlangsung kurang lebih selama 6 bulan.

Sungging menjelaskan bintik matahari berkaitan dengan aktivitas matahari yang umumnya memiliki siklus 11 tahun matahari.

“Ada kalanya dia penuh bintik, ada kalanya kosong, nah kalau lagi banyak bintik, artinya matahari sedang aktif, dan itu bisa berdampak pada teknologi antariksa,” ujar dia.

Siklus sebelumnya yang merupakan minimum matahari siklus ke-24 terjadi sekitar tahun 2009-2010.

Baca juga: Fenomena Matahari Solar Minimum, Lapan: Tidak Benar Timbulkan Bencana di Bumi

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi