Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pandemi Virus Corona, Mungkinkah Tak Terima Tamu Saat Lebaran?

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Silaturahim Lebaran
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran tahun ini akan dirayakan secara berbeda oleh umat Muslim di Indonesia dan dunia.

Situasi pandemi virus corona membuat pergerakan masyarakat dibatasi.

Shalat Idul Fitri disarankan di rumah, demikian pula silaturahim Lebaran yang dianjurkan dilakukan secara virtual.

Ada kekhawatiran, jika Lebaran berjalan seperti tradisi selama ini, saling berkunjung dan berkumpul keluarga besar, akan berpotensi penyebaran virus corona.

Di media sosial Twitter, sejumlah warganet mengungkapkan kekhawatiran soal ini.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka berharap ada ketegasan dari pemerintah serta kesadaran dari masyarakat agar tidak terjadi lonjakan kasus Covid-19 pasca-Lebaran.

Baca juga: Imbauan Menag: Dari Shalat Id di Rumah hingga Silaturahim lewat Medsos

Dengan kondisi kuatnya tradisi masyarakat Indonesia, mungkinkah Lebaran kali ini meminimalkan atau bahkan tak menerima tamu di rumah?

Sulit menolak tamu

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si, mengatakan, tidak bisa dipungkiri bahwa menolak kunjungan tamu ke rumah, baik itu saudara atau tetangga akan sulit dilakukan,.

Apalagi masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, memiliki rasa pakewuh atau sungkan yang tinggi.

Dalam situasi Lebaran di tengah pandemi virus corona saat ini, Drajat berpandangan, peran pemerintah sangat dibutuhkan.

Menurut dia, pemerintah bisa menggandeng ulama, tokoh masyarakat serta aparatur RT dan RW untuk mengingatkan masyarakat agar tetap menjaga protokol kesehatan.

"Prinsipnya bukan pada bersalaman atau berpelukan, tetapi yang utama adalah rasa penghormatan dan saling memaafkan," kata Drajat.

Drajat mengatakan, akan sulit untuk melarang masyarakat melakukan silaturahim saat Lebaran.

Yang bisa dilakukan adalah memberikan imbauan untuk tetap melakukan langkah pencegahan penularan seperti menjaga jarak aman, serta sebisa mungkin menghindari sentuhan tangan.

Selain itu, masyarakat juga harus selalu diingatkan untuk mengenakan masker serta mencuci tangan sebelum dan setelah bertamu.

"Tradisi (silaturahim) tetap akan berjalan, untuk halal bi halal, selama bisa menjaga jarak dan menghindari bersentuhan tangan itu tidak masalah," kata Drajat.

Baca juga: Hal yang Boleh dan Tak Boleh Dilakukan Saat Silaturahim Lebaran di Jabodetabek

Asal mula tradisi halal bi halal

Selain tradisi mudik atau pulang ke kampung halaman, perayaan Lebaran juga identik dengan halal bi halal atau saling memaafkan.

Tradisi ini biasanya dilakukan selepas shalat Idul Fitri. Pada kesempatan ini, sesama anggota keluarga akan saling meminta maaf satu sama lain.

Di wilayah Jawa Tengah, seperti Surakarta dan sekitarnya, orang tua akan duduk di kursi sementara anak-anaknya bersimpuh dan mencium tangan kedua orang tuanya. Hal ini biasa disebut sebagai sungkeman.

Setelah ritual saling memaafkan ini, kemudian akan dilanjut dengan acara makan bersama.

Menu yang disajikan biasanya terdiri dari opor ayam, gudeg, sambal goreng krecek dilengkapi dengan lontong atau ketupat.

Selain dilakukan bersama keluarga, tradisi saling memaafkan ini biasanya juga melibatkan tetangga di sekitar rumah.

Orang-orang biasanya akan berkunjung ke rumah orang yang paling tua atau yang paling dihormati untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang lalu.

Drajat menyebutkan, tidak ada kepastian sejak kapan budaya ini berkembang di masyarakat.

"Walaupun ada cerita, tahun 1948 dari K.H. Wahab Hasbullah yang dulu berdialog dengan Bung Karno untuk mencari jalan keluar dari disintegrasi bangsa," kata Drajat.

K.H. Wahab Hasbullah kemudian mengusulkan adanya suatu bentuk rekonsiliasi nasional dalam bentuk kultural, yaitu dengan memanfaatkan momen lebaran untuk saling memaafkan.

Bung Karno kemudian menerima usulan ini dan oleh Bung Karno kemudian diusulkan bahwa tradisi ini dinamai halal bi halal yang masih dilakukan hingga sekarang.

Namun, masih belum bisa dipastikan bahwa hal tersebut merupakan latar belakang dari kemunculan budaya ini.

"Hanya begini, sebagai sebuah budaya, maka (halal bi halal) bisa bertahan karena ada nilai-nilai yang dijunjung tinggi di dalamnya," kata Drajat.

Dia menjelaskan, ada nilai-nilai penghargaan dan penghormatan terhadap orangtua dan juga saudara. Konsepsi tentang penghormatan inilah yang kemudian membuat tradisi ini tetap lestari.

Baca juga: Cara Menolak Kunjungan Lebaran di Tengah Pandemi Covid-19

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi