Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah New Normal Sama dengan Herd Immunity? Ini Penjelasan Ahli

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ARIF FIRMANSYAH
Sejumlah warga dan pengendara motor memadati kawasan Pasar Anyar, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (18/5/2020). Kawasan pasar tradisional tersebut dipadati warga yang ingin berbelanja kebutuhan lebaran meskipun Pemerintah Kota Bogor sedang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran virus Corona (COVID-19).
|
Editor: Virdita Rizki Ratriani

KOMPAS.com - Herd immunity adalah kondisi ketika sebagian besar kelompok atau populasi manusia kebal terhadap suatu penyakit karena sudah pernah terpapar dan sembuh dari penyakit tersebut.

Istilah ini mulai dikenal oleh publik setelah pandemi virus corona penyebab Covid-19 mewabah di Indonesia. Meski dinilai bisa menghambat penyebaran virus, namun strategi ini dapat memakan korban dalam jumlah besar.

Untuk mencapai herd immunity, setidaknya 70 persen dari populasi harus terinfeksi terlebih dahulu. Apabila penduduk Indonesia dianggap sebanyak 270 juta, maka sedikitnya 189 juta harus terinfeksi untuk mendapatkan herd immunity.

Kemudian, dari angka tersebut kemungkinan orang yang meninggal bisa mencapai satu juta orang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Opsi Herd Immunity, Jusuf Kalla: Jangan Coba-coba, Korbannya Banyak

Timbul spekulasi di masyarakat

Meski risiko penerapan herd immunity sangat tinggi, namun sebagian masyarakat meyakini bahwa strategi ini akan dipakai oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Hal tersebut dapat dilihat di sosial media, salah satunya postingan warganet Twitter dengan akun @ekoce:

Dear pak @jokowi. Hampir 2 bulan pak saya terpaksa tutup warung ga ada penghasilan, kalo memang ujung2 e herd immunity, kampus2 cepet disuruh masuk aja pak. Mall2 buka lagi. Biar ekonomi muter lagi. Toh kebanyakan orang indonesia kan percaya hidup mati ditangan tuhan

Unggahan tersebut kemudian ditanggapi oleh akun @rizkyfirli_97 di kolom replies:

Ujungnya pasti herd immunity sih yakin gw. Namanya juga third world country

Pemerintah sendiri telah menyatakan bahwa mereka tidak memakai strategi herd immunity dalam penanganan Covid-19, hal tersebut disampaikan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto.

"Pertanyaannya apakah kita pakai itu? Jawabannya tidak," ujar Yuri seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (13/5/2020).

Baca juga: Ingatkan Bahaya Herd Immunity, WHO: Manusia Bukan Kawanan Ternak

Kebijakan Pemerintah mengundang spekulasi

Kemunculan spekulasi terkait herd immunity tentunya tidak muncul begitu saja. 

Pemerintah justru mewacanakan pelonggaran PSBB ketika kasus angka kasus positif Covid-19 di Indonesia masih terus bertambah setiap harinya.

Pengurangan kadar PSBB dimulai dari sektor transportasi lantaran pemerintah menilai perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia menurut dia mulai melandai.

"Pengurangan pembatasan di bidang perjalanan, salah satu aspek yang diujicobakan. Ini jadi taruhan apakah nanti kita akan lakukan untuk di sektor-sektor yang lain," kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy seperti diberitakan Kompas.com (17/5/2020).

"Tidak diimplementasi dengan baik, tidak ada indikator monitoring dan evaluasinya," kata Pandu Riono, epidemiolog FKM UI mengomentari kebijakan PSBB dari pemerintah saat dihubungi Kompas.com (18/5/2020)

Wacana pelonggaran tersebut tak luput dari komentar warganet. 

Baca juga: Tanpa Vaksin, Herd Immunity Bisa Membuat Jutaan Orang Meninggal

Benarkah Herd Immunity?

Wacana pelonggaran PSBB bukanlah pemicu awal dari kemunculan spekulasi tentang penggunaan strategi herd immunity.

Pandu Riono juga menjelaskan bahwa herd immunity dan istilah new normal yang digulirkan oleh pemerintah adalah dua hal yang berbeda.

"Kalau new normal kan kalau nanti sudah dikurangi pembatasannya, maka kita akan mengadopsi perilaku hidup yang berbeda agar menekan risiko penularan virus, seperti selalu pakai masker, dan lain-lain. Itu pun akan dilakukan bertahap setelah pesyaratan pelonggaran terpenuhi," kata Pandu.

Pandu Riono mengaku sangsi bila pemerintah akan menempuh opsi herd immunity.

Baca juga: Pakar: Strategi Herd Immunity untuk Atasi Covid-19 Telan Banyak Korban

"Kalau memang ada pembiaran secara sistematik agar banyak masyarakat terinfeksi, ya bisa dianggap seperti itu. Tetapi, itu tidak mungkin karena herd immunity hanya terjadi bila lebih dari 70-80 persen penduduk indonesia terinfeksi dan punya imunitas yang berhasil hidup," kata Pandu Riono.

Menurut dia, spekulasi terkait herd immunity muncul karena tidak ada edukasi pada masyarakat, sehingga masyarakat lebih mudah dihasut dengan isu yang belum tentu benar.

Spekulasi yang beredar juga hanya menambah ketakutan di masyarakat. Pernyataan Presiden Jokowi terkait berdamai dengan Covid-19 merupakan awal mula dari munculnya spekulasi tersebut.

Selama wabah masih terus ada, Jokowi meminta seluruh masyarakat untuk tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan.

Baca juga: Jubir Pemerintah: Kita Tak Gunakan Strategi Herd Immunity untuk Hadapi Covid-19

"Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan," katanya di Istana Merdeka, Jakarta, dalam video yang diunggah Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden pada Kamis (7/5/2020) dikutip dari Kompas.com.

Meskipun, pernyataan tersebut "dikoreksi" oleh istana pada esok harinya, berdamai dengan Covid-19 dibilang artinya kita berada dalam keadaan “new normal”.

Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmita, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19.

 Baca juga: Istana: Tak Benar Ada Strategi Herd Immunity

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Sumber: Kompas.com
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi