AKHIR-akhir ini reputasi kelelawar babak-belur akibat dituduh sebagai biang-keladi pagebluk virus Corona.
Kelebihan
Kelelawar adalah sejenis satwa mamalia ordo chiroptera dengan kaki depan dan kaki belakang terhubung oleh sejenis membran atau patagium berbentuk mirip sayap burung.
Daya manuver terbang kelelawar bahkan menggunguli burung sebab dilengkapi indra-sonar yang berfungsi sebagai radar.
Kelelawar mampu terbang di kegelapan malam hari dengan mengandalkan gema atau pantulan suara pada lingkungannya.
Pendek kata kelelawar memiliki kelebihan-daya yang tidak dimiliki jenis mahluk hidup mana pun juga. Termasuk manusia.
Kelelawar menjadi sedemikian legendaris sehingga mengilhami Bram Stoker menggubah fiksi horor Dracula.
Kelelawar juga menginspirasi sosok tokoh komik Batman yang akhir-akhir ini popularitasnya di layar-lebar melampaui Superman.
Mitologi China juga punya siluman kelelawar. Maka banyak film horor China menampilkan tokoh vampir China yang juga hanya berkeliaran di malam hari serta bertaring seperti Dracula dari Transilvania namun bermata sipit.
Sayang di Wayang Purwa tidak ada tokoh dewa atau dendawa kelelawar. Atau ada namun saya belum tahu.
Manfaat
Kelelawar berterbangan di segenap pelosok planet bumi kecuali di kawasan ekstrem dingin seperti kawasan kutub Utara dan Selatan.
Di Tanah Hijau (Greenland) konon tidak ada kelelawar. Di Iceland, saya juga tidak melihat kelelawar.
Di dalam ekosistem, kelelawar memegang peran penting untuk polinasi bunga dan menyebar bibit tanaman.
Perkembang-biakan beberapa jenis tanaman tropikal tergantumg sepenuhnya pada kelelawar . Kelelawar menjaga keseimbangan ekologis dengan memangsa serangga perusak tanaman sehingga manusia tidak perlu menggunakan pestisida.
Kotoran kelelawar bisa diolah menjadi pupuk yang didayagunakan manusia untuk memupuk kesuburan tanaman perkebunan.
Beberapa gua Pacitan dan Bali di mana para kelelawar bermukim diangkat menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi para turis sebelum prahara Corona tentunya.
Wuhan
Di awal tahun 2020 mendadak popularitas kelelawar mengglobal akibat dituduh sebagai biang-keladi malapetaka wabah virus Corona. Tuduhan itu berdasar dugaan bahwa virus Corona berasal dari kota Wuhan, provinsi Hubei, Republik Rakyat China.
Konon penderita pertama penyakit menular akibat angkara murka virus Corona adalah warga Wuhan akibat makan daging kelelawar yang memang disajikan di menu restoran aneka-ragam satwa di pasar tradisional Wuhan.
Konon virus yang berada di dalam tubuh kekelawar pindah ke tubuh manusia yang menyantap hidangan daging kelelawar.
Apabila memang begitu itu, sebenarnya yang lebih layak dikecam bukan kelelawar yang dimakan namun manusia yang memakan. Dapat diyakini tidak ada kelelawar menginginkan dirinya dimakan oleh manusia.
Kelelawar sudah sengaja menghindari manusia dengan menampilkan wajah yang meringis mengerikan dan selalu tidur di siang hari di dalam gua sambil hanya terbang ke luar gua pada malam hari ketika manusia lazimnya sedang tidur.
Sifat nokturnal kelelawar memang secara kodrati dihadirkan agar tidak ditangkap apalagi dimakan oleh manusia.
Adalah naluri manusia sebagai omnivora alias pemakan segala yang menjerumuskan manusia rakus memakan kekelawar padahal masih banyak daging satwa lain yang lebih layak dimakan.
Apabila memang benar virus Corona berasal dari kelelawar, pada hakikatnya tidak layak manusia memfitnah kelelawar sebagai biang-keladi pagebluk wabah virus Corona.
Selayaknya manusia menyalahkan sesama manusia sendiri yang terlalu rakus makan kelelawar yang sebenarnya bukan untuk dimakan manusia!
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.