Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelusuri Jejak Kembang Api dan Petasan Saat Datangnya Lebaran

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Foto dirilis Rabu (24/7/2019), memperlihatkan seorang Jawara Betawi unjuk kebolehan dengan menempelkan dan menyalakan petasan di tubuhnya saat Lebaran Betawi di Monas, Jakarta. Lebaran Betawi yang telah berlangsung ke-12 kalinya ini untuk pertama kalinya digelar di Monas pada tahun ini, menampilkan berbagai kesenian, kuliner, hingga rumah khas Betawi
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Salah satu yang menjadi ciri khas datangnya bulan Ramadhan dan Lebaran adalah adanya petasan dan kembang api.

Menyalakan kembang api dan petasan biasanya dilakukan petang dan malam hari, baik di kota maupun di desa. 

Sementara ketika datang Lebaran, jalan-jalan di desa biasanya penuh dengan serpihan kertas bekas ledakan petasan.

Bahkan pada tahun-tahun 60'an, petasan menjadi salah satu masalah nasional saat Ramadhan dan Lebaran sebab banyaknya jatuh korban.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Lima Kios Ludes Terbakar di Bekasi, Diduga akibat Petasan yang Dimainkan Anak-anak

Dilarang

Seperti diberitakan Harian Kompas 23 November 1967, Gubernur DKI Jakarta melarang membuat, menyimpan dan memperdagangkan mercon dan kembang api. Termasuk menyalakannya.

Hukuman pidana tindakan tersebut tercantum dalam Vuurwerkordonantia 1932 Stb 3 1932 No 143 jo Stbl 1933 no 9.

Kemudian pada 31 Desember 1968, dilaporkan 426 orang luka-luka dan 2 orang meninggal karena petasan saat menyambut Idul Fitri tahun itu.

Harian Kompas 24 November 1969 menulis, ada 172 korban luka karena petasan di Bandung saat bulan puasa baru berjalan 11 hari. Satu korban tewas dan tiga orang harus kehilangan beberapa jarinya karena ledakan petasan.

Awal mula petasan dan kembang api

Dikutip dari American Pyrotechnics Safety and Education Foundation, sekitar tahun 800 masehi, ahli kimia di China mencampurkan kalium nitrat, sulfur, arang, dan berhasil membuat mesiu mentah.

Para ahli kimia tersebut konon sedang berusaha menciptakan resep kehidupan abadi. Orang-orang China percaya bahwa ledakan bisa mengusir roh jahat.

Meskipun tujuan utama gagal, namun apa yang mereka ciptakan mampu mengubah dunia saat ini.

Baca juga: Kok Bisa Kembang Api Meledak dengan Warna Cantik?

Untuk menciptakan kembang api pertama di dunia ini, orang China membungkus mesiu ke dalam tunas bambu lalu melemparkannya ke dalam api sehingga menimbulkan ledakan kencang.

Setelah itu, kembang api berevolusi. Tunas bambu digantikan dengan tabung dari kertas. Namun, kali ini mereka tidak langsung melemparkan tabung ke dalam api, melainkan menggunakan kertas tisu sebagai sumbu.

Dilansir dari National Geographic (4/6/2019), Pada abad ke-10, orang-orang China mulai menyadari bahwa mereka dapat membuat bom dari mesiu. Mereka pun terbiasa melekatkan petasan ke panah sebelum menembak musuh.

Dua ratus tahun berikutnya, kembang api dikembangkan menyerupai roket: ia dapat dilepaskan ke area lawan tanpa menggunakan bantuan panah. Teknologi ini masih digunakan sampai sekarang–terutama saat acara pertunjukkan kembang api.

Simbol perayaan

Pada 1295, Marco Polo membawa kembang api dari China ke Eropa. Kemudian, sekitar abad ke-13, bubuk mesiu dan resep untuk menciptakannya pun tersebar di Eropa hingga Semenanjung Arab.

Menyebar melalui para diplomat, penjelajah dan misionaris Perancis.

Dari sana lah, Barat mulai mengembangkan mesiu menjadi senjata yang lebih kuat seperti meriam dan senapan.

Meski begitu, orang-orang Barat tetap mempertahankan ide orisinal kembang api dan menggunakannya saat perayaan.

Baca juga: Meriam Blek, Mainan Pengganti Petasan Saat Natal Kreasi Anak-anak NTT

Kembang api pertama di Kerajaan Inggris dinyalakan untuk merayakan pesta pernikahan Henry VII pada 1486.

Dari awalnya di China untuk meramaikan setiap hari besar dan hajatan, budaya menyalakan petasan tersebut juga akhirnya menyebar ke banyak negara, termasuk Indonesia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi