Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buya Syafii Maarif: Harus Mencintai Negeri Ini Meskipun Ruwet

Baca di App
Lihat Foto
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Tokoh masyarakat Buya Syafii Maarif memberikan paparannya pada acara Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, di Jakarta, Senin (18/4/2016).
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Aku lahir di bumi Calau, Sumpur kudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935.

Sumpur Kudus "Makkah Darat" (Makah Darek dalam Bahasa Minang) adalah bumi bersejarah.

"Makkah Darat" adalah ungkapan yang sering diulang-ulang tidak saja oleh kaum elit nagari itu, rakyat jelata pun tak lupa pula menyebutnya.

Kutipan tersebut ada dalam buku otobiografi Buya Ahmad Syafii Maarif: Titik-titik Kisar di Perjalananku.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari ini, Buya Syafi'i tepat berusia 85 tahun. Dalam sebuah kesempatan, dia mengatakan bahwa memperingati ulang tahun bukan kebiasaanya.

“Itu bukan tradisi saya,” ujar Buya dikutip dari Kompas.com (31/5/2017).

Baca juga: Buya Syafii Maarif Rindu Bersepeda dan Makan Tengkleng

Sosok sederhana

Kendati demikian, banyak contoh dan teladan moral yang dapat dipetik dari sosok yang dikenal sangat sederhana itu.

Seperti salah satunya masih tetap menyukai hobinya bersepeda setiap hari di komplek rumahnya di daerah Nogotirto, Gamping, Sleman, DIY.

Bersepeda, juga disebut Buya Syafii sebagai salah satu resep tetap sehat dan bugar. Selain juga membaca buku untuk mempertajam daya ingat serta menjaga pikiran selalu tenang.

Kesederhanaan sudah menjadi pembawaan Syafii sejak muda. Ia lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan Fathiyah. Ahmad Syafii Maarif merupakan bungsu dari 4 bersaudara seibu seayah, dan seluruhnya 15 orang bersaudara seayah berlainan ibu.

Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal. Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A. Wahid.

Pada usia 28 tahun, Syafii menikah dengan Nurkhalifah yang berjarak 9 tahun. Nurkhalifah sering dipanggilnya Lip atau si kecil.

"Aku dinikahkan oleh Engku kadi Sumpur Kudus, tokoh spiritual Perti sesudah salat Jumat di masjid Rajo Ibadat, 5 Februari 1965 di rumah si kecil... tapi jelas tidak ada kemewahan dalam seremoni itu," tulis Syafii dalam otobiografinya.

Baca juga: Buya Syafii: Hati-hati dalam Berbicara

Serba kekurangan

Mungkin banyak orang mengenal Buya Syafii sebagai tokoh nasional yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia.

Namun tidak banyak yang tahu bahwa masa-masa awal pernikahannya dan Nurkhalifah dipenuhi banyak cobaan. Salah satunya kondisi perekonomian mereka yang serba kekurangan. Terutama saat keduanya awal-awal berada di Yogyakarta. 

Untuk menghemat ongkos, dia harus mengayuh sepeda dari Kotagede ke IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) sejauh 7 kilometer. Sepeda butut yang menurutnya sudah tidak nyaman dipakai. Saat itu Syafii masih harus menyelesaikan studi doktoral di IKIP Yogyakarta.

Akhirnya karena kondisi ekonomi, sang istri terpaksa harus pulang ke Padang bersama anak pertama mereka.

Karena kondisi itu, saat meninggalnya anak pertama mereka yaitu Salman pada usia 20 bulan, Syafii tidak berada di samping istri dan anaknya.

Sebab dia berada di Yogyakarta untuk menyelesaikan studi doktoral di IKIP Yogyakarta, sementara Nurkhalifah berada di Padang.

Anak kedua mereka Iwan, juga hanya berumur dua tahun dan meninggal pada Oktober 1973.

Pasangan Syafii dan Nurkhalifah hanya memiliki putra semata wayang yaitu Mohammad Hafiz yang lahir pada 25 Maret 1974.

Buya Syafii mengaku sangat bersyukur mempunyai istri yang sangat pengertian, yang telah menemaninya mengarungi susah manisnya kehidupan berumah tangga.

Baca juga: Buya Syafii: Di Mana-mana Komunisme Sudah Runtuh Kok...

Sempat diterpa hoaks

Bahkan dalam sebuah wawancara, Buya Syafii masih selalu heran kepada istrinya.

Sebab istrinya termasuk perempuan yang cantik, terpandang, dan dari keluarga saudagar kaya, namun mau menikah dengannya dan menjalani masa-masa keprihatinan pada awal pernikahan di Yogyakarta.

"Dia bunga desa di sana dan sementara secara materi saya tak punya bekal apapun, termasuk tidak punya persiapan untuk sekadar membayar mas kawin," kata dia.

Seperti dikutip dari otobiografinya, setahun sebelum menikah atau selama bertunangan, Buya diterpa kabar bohong atau sekarang dikenal dengan hoaks.

Kabar hoaks yang menyebar di kampung halamannya menyebutkan Buya sudah mempunyai anak di Baturetno dan Lombok. Kabar itu sempat membuat calon istrinya menderita dan tertekan.

"Istri saya termasuk bunga desa dan anak orang terpandang. Kok bisa dapat saya anak piatu yang miskin, mungkin di situ ada yang tidak senang. Nah, waktu itu saya lama merantau, dikata sudah punya anak di Lombok atau Baturetno," ungkap Buya.

Menurut Syafii, kabar tersebut jelas-jelas bohong. Sebab untuk menghidupi dirinya sendiri saja di perantauan serba kekurangan.

Bahkan cincin pertunangan yang dipasang di jari istrinya, dibeli sendiri oleh Lip.

"Jodoh memang tidak dapat direncanakan. Begitulah aku dan si kecil akhirnya berumah tangga setelah diterpa berbagai info yang negatif. Tetapi pertunangan tidak sampai kandas di tengah jalan," tulis dia dalam biografinya.

Baca juga: Nasihat Buya Syafii Maarif kepada Jokowi

Mencintai Indonesia meski ruwet

Buya Syafii juga dikenal sebagai tokoh yang selalu menjaga kebhinekaan dan kemajemukan. Dalam peluncuran otobiografinya 8 Juni 2006 Buya Syafii mengatakan kemajemukan Indonesia kini menjadi arena pertikaian karena masyarakat tidak beragama secara dewasa dan autentik.

"Dewasa artinya orang tampil lapang dada. Kita harus lapang dada, langit ini untuk semua orang termasuk mereka yang tidak percaya pada Tuhan," kata Syafii.

"Kita harus mencintai negeri ini dengan tulus meskipun saat ini keadaannya kacau dan ruwet," lanjut Syafii.

Menurut dia harus selalu ada optimisme untuk menjaga Indonesia, sebab banyak anak muda yang kini juga memiliki idealisme tinggi, hanya memang perlu menunggu waktu.

"Oleh sebab itu keutuhan bangsa harus dijaga. Kalau bangsa tidak utuh generasi berikutnya akan berserakan. Ini yang saya khawatirkan," kata Syafii.

Maka menurutnya, proses pencerahan harus terus dilakukan.

"Ibarat membangun rumah, paling-paling yang bisa kita bawa hanya sebuah batu bata, tapi jangan tidak ikut membangun rumah itu," tutur suami Nurkhalifah (76) yang jika di rumah masih ikut mencuci piring itu.

Ditanya pencapaian saat ini, Syafii mengatakan, dia banyak bersyukur dengan apa yang dilaluinya.

"Saya ini orang kampung, orang udik, bisa bertemu dengan orang-orang penting bagi saya adalah sebuah kebahagiaan. Mungkin dengan otobiografi ini siapa tahu, di sana ada kedip-kedip bintang yang sangat kecil. Saya tidak tahu, semua terserah pada orang lain," kata Syafii.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi