Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekilas tentang Kasus Nurhadi, Mantan Sekretaris MA yang Sempat Menjadi Buronan KPK...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Reno Esnir
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman (kiri) berjalan memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Selasa (6/11/2018). Foto diambil saat Nurhadi diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro, dalam tindak pidana korupsi memberi hadiah atau janji terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi Abdurachman ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah menjadi buron sejak Februari 2020.

Nurhadi diduga terjerat kasus suap dan gratifikasi senilai total Rp 46 miliar dalam kurun waktu 2011-2016 lalu.

Nurhadi ditangkap di sebuah rumah di kawasan Simprung, Jakarta Selatan pada Senin (1/6/2020) malam.

Berikut sekilas tentang kasus korupsi Nurhadi:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dugaan keterlibatan Nurhadi

Pada Januari 2019 lalu, Nurhadi pernah menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk terdakwa mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro.

Eddy Sindoro merupakan terdakwa dalam kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.

Kasus tersebut diketahui telah bergulir sejak 2016 dan Eddy telah ditetapkan sebagai tersangka.

Baca juga: Profil Nurul Ghufron, Pimpinan KPK Termuda yang Hampir Batal Dilantik

Kemudian, kasus suap tersebut juga bersangkutan pada sejumlah perkara yang melibatkan penangkapan pegawai PT Artha Pratama Anugerah, Doddy Aryanto Supeno.

Dalam persidangan terhadap Doddy, Nurhadi mengakui bahwa Eddy Sindoro pernah memintanya untuk membantu mengurus salah satu perkara pengajuan peninjauan kembali (PK).

Namun, Nurhadi mengatakan tidak dapat mengingat perkara apa yang dmintakan oleh Eddy Sindoro.

Ia hanya mengingat, perkara yang dimaksud Eddy terkait upaya PK salah satu pihak MA. Pengajuan PK yang dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Baca juga: Cerita soal Banjir Jakarta, dari Rebutan Sampah hingga Evakuasi Tahanan KPK

Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka

Selanjutnya, Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka setelah adanya pengembangan dari kasus suap pengurusan perkara perusahaan Lippo Group.

Tak hanya Nurhadi, ada dua orang yang juga ditetapkan sebagai tersangka, yakni menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto.

KPK menyebutkan, Nurhadi terjerat kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait tiga perkara di pengadilan yakni perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat nusantara, sengketa saham di PT MIT, dan perkara sengketa lahan di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.

Kemudian, KPK pun menggeledah rumah Nurhadi dan menyita sejumlah dokumen dan barang bukti terkait kasus yang menjeratnya.

Akibatnya, Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal b subsider Pasal 5 Ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau pasal 12B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga: 5 Kepala Daerah yang Terjaring OTT KPK dalam 2 Bulan Terakhir

Diduga terima suap dan gratifikasi total Rp 46 miliar

Pada pertengahan Desember 2019, Nurhadi diduga menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp 46 miliar dalam kurun waktu 2011-2016.

Dalam tiga perkara yang disebutkan dan sekaligus menjadi sumber suap, Rezky diduga menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari Hiendra Soenjoto untuk mengurus perkara.

Adapun untuk membiayai pengurusan perkara tersebut, RHE menjamin delapan lembar cek dari PT MIT dan tiga lembar cek milik RHE untuk medapatkan uang senilai Rp 14 miliar.

Selanjutnya, dalam perkara sengketa saham PT MIT, Hiendra diduga menyerahkan suap senilai Rp 33,1 miliar kepada Nurhadi dan Rezky.

Baca juga: Jokowi di Antara Tekanan Terbitkan Perppu KPK dan Narasi Pemakzulan...

Kekayaan mencapai Rp 33,4 miliar

Atas dugaan suap dan gratifikasi, Nurhadi tercatat memiliki kekayaan sekitar Rp 33,4 miliar.

Hal itu disebutkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan Nurhadi pada 7 November 2012 dan diterbitkan KPK secara resmi pada April 2014.

Namun, laporan tersebut diungkapkannya saat Nurhadi masih menjabat sebagai Sekretaris MA.

Dalam LHKPN, tercatat Nurhadi memiliki 18 aset tanah dan bangunan dengan nilai total Rp 7,63 miliar.

Selain itu, Nurhadi memiliki 4 mobil dengan merek Toyota Camry dengan nilai jual Rp 600 juta; Mini Cooper dengan nilai jual Rp 700 juta; Lexus dengan nilai jual Rp 1,9 miliar; dan Jaguar dengan nilai jual Rp 805 juta.

Ia juga mempunyai aset logam mulia dengan nilai jual Rp 500 juta, baru mulia Rp 8,6 miliar, barang antik Rp 1 miliar, dan aset bergerak lain Rp 1,15 miliar.

Baca juga: MA Batalkan Kenaikan Tarif Iuran BPJS Kesehatan, Berikut Perbedaan BPJS, JKN, dan KIS

Nurhadi masuk DPO

Sempat berkelit, Nurhadi bersama dua tersangka tersebut mangkir dari penangkapan dan menjadi buronan pada Februari 2020.

Nurhadi, Rezky, dan Hiendra masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Sebelumnya, tiga tersangka tersebut telah dua kali mangkir saat dipanggil sebagai tersangka dan tiga kali mangkir saat dipanggil sebagai saksi dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi perkara di MA.

Ditangkap di kawasan Simprug

Setelah lebih dari tiga bulan menjadi DPO, Nurhadi dan Rezky berhasil ditangkap KPK di sebuah rumah di kawasan Simprug, Jakarta Selatan.

Saat ini KPK masih menyelidiki siapa pemilik rumah tempat Nurhadi dan Rezky berdiam.

Selain Nurhadi dan Rezky, KPK pun masih memburu Hiendra.

Baca juga: MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS, Apakah Akan Ada Refund?

(Sumber: Abba Gabrillin, Ardito Ramadhan, Dylan Aprialdo Rachman | Editor: Diamanty Meiliana, Icha Rastika, Krisiandi, Kristian Erdianto)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi